Ironi Premanisme Politik di Kota Santri
Oleh: Mushafi Miftah
MENJELANG pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak suhu politik di beberapa daerah yang akan melaksnakan Pilkada pada 9 Desemeber mendatang semakin memanas, tak terkecuali di Kabupaten Situbondo, Jawa Timur.
Bahkan, di Kabupaten yang terkenal dengan sebutan “Bumi Shalawat Nariyah” tersebut sudah dua kali terjadi aksi premanisme politik. Yang pertama, adalah penganiayaan terhadap Sukirman Warga Kabupaten Situbondo yang diduga mencabut Stiker salah satu pasangan Calon Bupati Situbondo. Aksi pelemparan bondet oleh orang tak dikenal. Kejadian tersebut menimpa majelis dzikir Barokatul Qodiri, di Dusun Moncel Desa Juglangan Kecamatan Panji.
Peristiwa tersebut patut disayangkan terjadi di era keterbukaan informasi. Parahnya, aksi kekerasan dan penganiayaan tersebut terjadi yang masyarakatnya mayoritas santri. Dalam prespektif demokrasi, tidak sepantasnya praktek politik yang tidak beretika tersebut terjadi. Praktek-praktek politik yang tidak beretika dan tidak beradab itu sudah tidak dikenal lagi di Indonesia sejak tumbangnya rezim orde baru. Politik etis, santun merupakan rekomendasi reformasi yang harus dijalankan oleh elemen masyarakat.
Masyarakat Situbondo selama ini dikenal sebagai masyarakat yang sangat religius. Ia begitu menghormati tokoh-tokoh agama yang diyakini mempunyai keahlian dalam bidang agama yakni Kiai. Tingginya suhu politik di Kabupaten Situbondo telah membuat para pendukung pasangan calon Bupati yang melakukan premanisme politik tersebut lupa identitasnya sebagai masyarakat pesantren. Parahnya, aksi premanisme politik ini dilakukan dilingkungan pesantren. Tapi itulah politik, gesekan dan perbedaan pilihan adalah fitrah demokrasi. Oleh karenanya, perbedaan harus disikapi dengan arif dan bijaksana.
Pilkada merupakan sebuah arena untuk bersaing bagi para calon Bupati dan wakil Bupati dalam mencapai apa yang di inginkannya. Karenanya, wajar jika segala daya dan upaya dikerahkan untuk memenangkan persaingan. Namun ironisnya, untuk memenuhi libido politiknya seringkali kekerasan dan intimidasi menjadi pilihannya. Jika demikian apa bedanya politisi dengan “preman”.
Fakta sejarah pemilu di Indonesia, prilaku elit politik saat ini tidak dapat terpisahkan dari konteks Indonesia secara umum. Apalagi selama 32 tahun Soeharto berkuasa banyak memberi contoh yang tidak baik terhadap para politisi di daerah. Salah satunya adalah intimidasi, kekerasan dan KKN. Meminjam pemikiran Revrison Baswir, pada masa itu bangsa Indonesia adalah bangsa yang birokrasinya terkenal gemar berkolusi. Mungkin juga dengan birokrasi sekarang.
William Liddle menegaskan bahwa pemilu dimasa orde Baru bukanlah satu-satunya alat yang memadai untuk mengukur suara rakyat. Karena pemilu dimasa itu dilakukan melalui sebuah proses yang tersentralisasi pada tangan birokrasi dan elit politik. Artinya elit politik dan birokrasi mengatur proses pemilu, dan merekayasa kemenangan bagi para birokrasi.
Dengan demikian, pemilu di Indonesia beberapa tahun terakhir ini selalu diwarnai dengan kecurangan, kepongahan penguasa, arogansi kelompok penguasa yang selalu memposisikan ketidakberdayaan rakyat menghadapi libido penguasa yang mencengkrang ketidakberdayaan rakyat. Oleh karenanya dalam menghadapi pilkada serentak ini premanisme politik harus sudah lenyap khususnya di Kota santri ini. Jangan ada lagi intimadasi dan kekerasan baik secara simbolik ataupun sejenisnya.
Etika Politik
Secara umum, wacana premanisme politik dimunculkan sebagai gambaran bahwa etika politik di kita sangat lemah, hal ini terbukti dengan masih banyaknya kekerasan politik yang menjadi pilihan dalam mencari dan mempertahankan kekuasaan. Padahal sejatinya etika politik harus dimaknai sebagai hakikat dalam berpolitik, dimana berpolitik memiliki tujuan mulia yakni bertindak dan berjuang demi kesejahteraan bersama bukan dominasi hak-hak pribadi atau kelompok.
Dalam konteks itu, intimidasi, dan kekerasan yang bermuara pada kecurangan dalam pemilu diposisikan sebagai premanisme politik. Ungkapan ini sebagai sebuah gambaran dan penegasan terhadap politisi ataupun pendukunganya yang mengabaikan nilai dan etika politik. Premanisme politik yang jelas-jelas menabrak nilai kesusilaan harus diwaspadai karena akan menjadi virus menular dalam berbagai tatanan politik kita. Terlebih dapat mempengaruhi dan mendorong masyarakat patron seperti di Situbondo untuk bertindak menjadi preman-preman politik dalam kerangka mengikuti doktrin tokoh panutannya.
Karenanya, agar premanisme politik tidak merajalela tidak ada cara lain kecuali merevitalisasi etika politik yang merupakan dasar fundamental dalam konstalasi politik Situbondo. Etika politik secara substantif sangat berkaitan erat dengan pembahasan moral dan kesusilaan. Hal ini berdasarkan realitas bahwa pengertian moral senantiasa menunjuk kepada manusia sebagai subjek etika.
Dengan demikian etika politik mempunyai tiga dimensi praksis untuk mengalokasi dan mengontrol kinerja politik yaitu; pertama etika politik menuntut agar kekuasaan atau kewenangan harus berdasarkan legitimasi yang berprinsip “asas legalitas”. Artinya politisi, dan siapapun yang terlibat dalam dunia politik wajib mentaati (legalitas hukum).
Kedua, etika politik menuntut untuk dilaksanakannya pemerintahan yang demokratis (legalitas demokratis). Artinya birokrasi dan politisi yang terlibat dalam penyelenggaraan pilkada harus selalu sadar bahwa jabatan dan kekuasaan perebutkan itu berasal dari rakyat. Maka sepantasnya mereka dalam mempraktekkan aktifitas politik senantiasa dilakukan dalam koridor-koridor etik sebagai pijakan dalam menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Jelasnya, politisi dalam mengambil langkah politik harus memiliki legitimasi demokrasi.
Dan yang ketiga etika politik menuntut para politisi dan para penyelenggara Pilkada harus berdasarkan prinsip-prinsip moral ( legitimasi moral) meminjam pemikiran Hatta dalam menyelengarakan event demokrasi harus berlandaskan moral ketuhanan dan moral kemanusiaan agar daerah sekaliber Situbondo tidak terjerumus dalam sistem otoriter dan diktator. Prinsip-prinsip dasar etika politik dalam realisasi praksis harus linier dalam kehidupan yang senantaisa dilaksanakan secara korealitif antara ketiganya. Wallahu A’lam. (*)
Mushafi Miftah, Pemerhati Politik dan Hukum di BEDUG Institute Jawa Timur.