Surat Pembaca
NU Jangan Mau Diatur Partai Politik
NU dan partai politik bukanlah hal baru. Tahun 1952, setelah keluar dari Masyumi menjadi partai politik dan langsung ikut pemilihan umum pertama tahun 1955. Meski waktu yang dimiliki NU untuk bertarung dalam Pemilu 1955 relatif pendek, NU berhasil meraih 18,4 persen suara (45 kursi) di bawah Partai Nasional Indonesia (PNI) yang mendapatkan 22,3 persen suara (57 kursi) dan Masyumi yang memperoleh 20,9 suara (57 kursi). Dengan demikian, NU dalam dinamika politik dapat dibilang kental dan sinergis. Baru pada tahun 1984, pada muktamar ke-27 di Situbondo, NU kembali ke khittah 1926. Khittah ini memiliki arti NU tidak lagi terlibat dengan politik praktis. NU kembali kepada jatidirinya sebagai organisasi kemasyrakatan dan keagamaan.
Konsistensi NU untuk tidak berpolitik, lambat-laun memberikan harga tawar pada NU. NU selalu menjadi raut yang dibayangkan oleh partai politik. Hal itu mengingat, NU merupakan organisasi dengan jumlah anggota yang diperkirakan mencapai 50 persen lebih dari jumlah penduduk Indonesia. Kenyataan ini, dalam kalkulasi politik menjadikan NU memegang peranan strategis dalam mendulang perolehan suara.
Di era Orde Baru Partai Politik Pembangunan (PPP) selalu diidentikkan sebagai wadah untuk menyuarakan aspirasi jamaah NU. Pada era Soeharto ini, PPP dengan legimitasi ke-NU-annya tidak hanya menjadi rival serius bagi partai penguasa (baca Golkar). Akan tetapi, PPP selalu menjadi suara sumbang terhadap kesewenang-wenangan elite beringin.
Pasaca reformasi, dengan dimotori Gus Dur dan para kiai lainnya, NU mendeklarasikan berdirinya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Partai yang diidentikkan dengan visi-misi konservatisnya, tak urung langsung mendapat suara yang cukup signifikan pada pemilu 1999, yaitu partai suara terbanyak ketiga di bawah PDI Perjuangan dan Golkar.
Secara konstitusi, NU dan PKB bukanlah dua mata koin yang berhubungan dan bersisian. Artinya, jamaah NU bukanlah pemilik sah PKB. Pun sebaliknya, PKB bukanlah pemegang otoritas suara NU. Hubungan ini membuka dialog yang sinergis antara NU dan PKB dan partai lainnya. NU pun mampu kembali memerankan visi-misi kemasyarakatan dan keagamaannya dalam partai politik. Tanpa harus menjadi partai politik.
Memasuki hari pertama muktamar 33 NU di Jombang yang akan berlangsung selama lima hari (1-5 Agustus 2015) NU dan politik kembali mengemuka. Kalau di awal reformasi NU sebagai ibu yang melahirkan partai politik, kini partai politik mulai belajar menjadi anak kurang ajar bagi NU. Partai politik yang dulunya dilahirkan, dibesarkan dan dididik oleh NU, kini mulai ambil ancang-ancang untuk mengatur, membonsai dan menekuk tengkuk NU di bawah ketiak ambisi kekuasaannya.
Birahi partai politik untuk mengangkangi NU kian menunjukkan sinyal kuat tatkala Gus Solah panggilan akrab K.H. Solahuddin Wahid pada Minggu (2/8/2015) mengungkapkan kerisauannya atas kisruh yang terjadi dalam muktamar. Menurutnya, kekisruhan pada Muktamar kali ini dikarenakan ulah sejumlah pihak yang berusaha menghancurkan NU dengan berbagai ulah yang tidak terpuji. Bahkan, beliuan juga mengutarakan keheranan kiai atas penyelenggaraan muktamar kali ini. Para kiai itu mengajukan keheranan dengan raut gelisah, ini muktamar NU atau kongres PKB?
Keheranan para kiai itu bukan sekadar pepesan kosong. Keterlibatan para politisi PKB dalam kepanitiaan muktamar kali ini, seolah menjadi indikasi tentang ambisi partai besutan Muhaimin Iskandar itu “menguasai” NU.
Terlepas dari kebenaran data-fakta, sinyal birahi PKB ingin menguasai NU akan menjadi preseden miring bagi perjalanan NU ke depan. Artinya, kalau sampai itu benar-benar terjadi, NU akan kehilangan “magisnya” untuk menjadi organisasi kemasyarakatan yang mampu menaungi setiap golongan. Kader-kader NU pun yang tersebar di berbagai partai pun, siap-siap kehilangan tajinya untuk menjadi calon pemimpin di negeri ini.
Kalau ini dibiarkan, ini sungguh ironi. NU sebagai organisasi kemasyarakatan terbesar seharusnya mampu menjadi kiblat proses demokrasi di negeri ini. NU, dengan segala kebijakan dan karakternya yang khas, harus mampu menampilkan sosok yang tetap moderat, terbuka dan rahmatan lil-alamin. Bukan sebagai underbouw partai politik tertentu.
Karena itu, berbagai insiden di arena muktamar seharusnya menjadi renungan bagi setiap muktamirin, bahwa muktamar ke-33 ini, tidak sekadar merumuskan beberapa agenda keumatan dan kebangsaan plus pemilihan ketua umum dan rais am. Akan tetapi muktamar di tanah kelahiran pada pendiri NU ini, harus menjadi momentum untuk menyelamatkan NU dari birahi para elite politik yang hanya menunggangi dan memanfaat NU. Tabik! (*)
Mohammad Wafi