Jangan Terjebak Dualisme (2)

Oleh: Husein Ja’far Al Hadar

Ada ahli ibadah tapi mewarisi kesombongan iblis
Sebagaimana disabdakan Nabi bahwa kita takkan masuk surga karena amal kita, melainkan rahmat Allah. Bahkan, termasuk Nabi sendiri. Namun, sering kali kita lupa bahwa ibadah adalah bagian dari penghambaan kita agar Dia rela menurunkan rahmat-Nya pada kita. Sehingga, kita yang taat beribadah menjadi sombong, merasa paling benar, paling suci, sehingga menyombongkan diri dengan menuding, menuduh, dan menghakimi orang lain. Kita merasa diri kita mulia dan orang lain hina. Berapa banyak hikmah kisah ulama ahli ibadah yang di ujung hidupnya justru jauh dari keridhaan-Nya karena kesombongannya.

Ada ahli maksiat tapi rendah hati bagaikan sufi
Sebaliknya, berapa banyak kisah orang-orang yang sepanjang hidupnya “kotor”, tapi ber-muamalah dengan baik. Ada yang muamalah itu tak didasari ketulusan, namun sebagai kedok kemaksiatannya yang dilakukan diam-diam. Namun, ada pula yang bisa jadi tulus, sehingga kadang di akhir hidupnya mereka husnul khotimah karena bertobat secara tulus dan diterima-Nya, meski belum sempat beribadah.

Ada yang banyak tertawa hingga hatinya berkarat
Tak ada larangan untuk bahagia, termasuk tertawa sebagai salah satu ekspresi fisik atas kebahagiaan tersebut. Seperti dikisahkan Gus Mus dalam salah satu karyanya berjudul Canda Nabi dan Tawa Sufi, Rasul pun diriwayatkan pernah bercanda dan tersenyum. Namun, menjadi masalah ketika tawa itu tak bersandar pada sesuatu yang layak ditertawakan atau tertawa secara terus menerus, hingga hatinya berkarat. Tak ada ruang empati di hatinya.

Ada yang banyak menangis karena kufur nikmat
Seorang yang bergelimang harta, kadang ia mendadak ingin mendekatkan diri pada Allah. Namun, ia hanya fokus pada ibadah. Ia menangis di malam hari di atas sajadahnya. Namun, miskin muamalah. “Tak mendengar” tangisan saudara atau tetangganya yang kelaparan. Mulutnya berdzikir, diikuti oleh tangis di matanya. Namun, tidak pada tangannya: artinya ia tak berbagi harta pada sesama.

Ada yang murah senyum tapi hatinya selalu mengumpat
Inilah tipe seorang yang gemar pencitraan. Tak ada kejujuran dalam ekspresi wajahnya. Seseorang yang sebenarnya sangat tersiksa, namun tetap menjalaninya untuk kepentingan-kepentingan yang sebenarnya semu: pencitraan politik, dll.

Ada yang berhati tulus tapi wajahnya selalu cemberut
Ia seorang yang baik, namun tak memiliki kemampuan interaksi sosial yang baik. Padahal ekspresi itu juga perlu karena begitu banyak orang yang menilai seseorang di awal-awal dari ekspresi fisik dan banyak pula yang bisa jadi tersinggung karena ekspresi fisik. Sehingga, betapapun, kita harus melatih beretiket (sopan santun) secara fisik. Sebab, etika yang baik saja tak cukup, tapi juga harus dibarengi etiket (sopan santun). Bisa pula quote ini membawa kita pada perenungan bahwa niat yang tulus di hati harus dibarengi dengan praktek yang juga baik dan sopan.

Ada yang berlisan bijak tapi tak memberi teladan
Rasul diutus ke muka bumi untuk memberi teladan. Hadis itu bukan hanya perkataan Rasul, tapi juga tindakan. Perkataan dan tindakan baik harus beriringan, agar kita tak tergolong orang-orang munafik. Inilah yang kadang absen pada da’i. Padahal Allah telah mengingatkan dalam firman-Nya dengan menyindir: “Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan?” (QS. Ash-Shaff: 2. (bersambung)

Husein Ja’far Al Hadar, Direktur Cultural Islamic Academy, Jakarta.

Terkait

Dirosah Lainnya

SantriNews Network