Muktamar Ke-34 NU 2021

Muktamar dan Dualisme Kepemimpinan NU

Menyongsong usia satu abad Nahdlatul Ulama (NU) dan kegaduhan pra Muktamar Ke 34 NU di Lampung akhir tahun ini kepemimpinan PBNU benar-benar diuji. Tugas pemimpin di saat krisis adalah menjaga dan mengamankan organisasi yang ia pimpin agar tidak terkena bahaya, sekaligus memanfaatkan berbagai peluang untuk keluar, lalu membalik situasi krisis menjadi kesempatan yang menguntungkan.

Telah terdengar kabar rapat pucuk pimpinan NU terdiri dari Rais Aam, Katib Aam, Ketua UmuM dan Sekjen PBNU di Jakarta minggu kemarin menemui jalan buntu sehingga Rais Aam menentukan sendiri jadwal muktamar dipercepat.

Kabar terakhir pertemuan yang difasilitasi oleh KH Mustofa Bisri (Gus Mus) di Semarang, Ahad, 5 Desember 2021 kemarin, juga belum menemukan titik temu kesepakatan bersama antara Ketum PBNU dan Rais Am tentang penetapan jadwal muktamar.

Struktur kepengurusan di NU bisa dibilang memang agak berbeda dengan organisasi lainnya. Jika diartikan secara harfiah, NU memiliki dua ‘Ketua Umum’ dengan adanya posisi Rais ‘Aam dan Ketua Umum itu sendiri. Bagaimana bisa?

Rais ‘Aam (atau kadang ditulis Rais Am,) diambil dari bahasa Arab yang berarti Ketua Umum, sementara itu NU memiliki Ketua Umum Tanfidziyah (pelaksana) yang beranggotakan pengurus harian seperti organisasi lainnya, tetapi dalam tradisi NU, sesungguhnya Rais Am adalah jabatan pemimpin tertinggi NU sebagaimana disebutkan dalam Anggaran Dasar NU Bab VII pasal 14 ayat 3 bahwa; Syuriyah adalah pemimpin tertinggi NU. Selanjutnya dalam Pasal 58 ART ayat 1 A disebutkan bahwa kewenangan Rais Am adalah: Mengendalikan kebijakan secara umum.

Dalam struktur kepengurusan NU, syuriyah menempati posisi paling utama. Pada awal berdiri, yang justru dikenal publik adalah para syuriyah itu hingga Muktamar NU kedelapan di Jakarta, 1933, tidak ada rapat khusus tanfidziyah meski saat itu telah ada kepengurusannya. Barulah di Muktamar NU setahun kemudian, diadakan rapat tanfidziyah secara khusus dan jabatan ketua Tanfidziyah diangkat oleh Rais Am.

Menurut Presiden Hoopd Bestuur Nahdlatoel Oelama (sekarang istilahnya Ketua Umum PBNU) KH Mahfud Shiddiq, syuriyah berarti ruh, sedangkan tanfidziyah jasad atau jasmani. Kedua kelompok ini tidak boleh terpisah dari NU. Tanfidziyah tidak bisa melakukan pergerakan organisasi tanpa sepengatahuan syuriyah.

Ajaran Islam sejak awal melarang keberadaan dua pemimpin sederajat bagai dua matahari kembar karena jelas akan menyebabkan kekacauan. Dualisme kepemimpinan oleh dua orang pemimpin yang memiliki kewenangan dan otoritas yang sama dan dalam periode kepemimpinan yang sama dalam sebuah organisasi pasti menimbulkan dampak negatif.

Tidak boleh ada matahari kembar atau bahkan lebih dari dua matahari secara syariat sebagaimana dijelaskan dalam keterangan Imam Al-Mawardi:

فأما إقامة إمامين أو ثلاثة في عصر واحد ، وبلد واحد فلا يجوز إجماعا

“Adapun pengangkatan dua atau tiga pemimpin pada periode pemerintahan yang sama dan untuk wilayah teritorial yang sama tidak boleh menurut ijmak ulama,” (Lihat Imam Al-Mawardi, Adabud Dunia wad Din, [Beirut, Darul Fikr: 1992 M/1412 H], halaman 97).

Rasulullah SAW mengisyaratkan bahaya dualisme kepemimpinan dengan mengingatkan agar menciptakan kondisi kepemimpinan tunggal dengan cara mematuhi seorang pemimpin yang sah di zamannya.

“Diriwayatkan dari Nabi Muhammad SAW bahwa ia bersabda: ‘Jika kalian mengangkat Abu Bakar RA, niscaya kalian akan menemukan pemimpin yang kuat dalam agama Allah SWT dan lemah fisiknya. Tetapi jika kalian mengangkat Umar RA, niscaya kalian mendapati orang yang kuat agamanya dan kuat fisiknya. Sedangkan jika kalian mengangkat Ali RA, niscaya kalian menemukan pemimpin yang dapat memberi petunjuk dan pemimpin yang mendapat petunjuk (dari Allah),’” (Lihat Imam Al-Mawardi, Adabud Dunia wad Din, [Beirut, Darul Fikr: 1992 M/1412 H], halaman 97).

Sejarah telah membuktikan bahwa dualisme kepemimpinan berujung pada perebutan pengaruh dengan segala cara, chaos atau kacau-balau. Pasalnya, dalam dualisme kepemimpin tentu terdapat konflik kepentingan yang hampir tidak mungkin didamaikan.

Mungkin di arena Muktamar ke-34 NU di Lampung mendatang perlu dilakukan penegasan kembali pola kerja dan wewenang lembaga Syuriyah dan Tanfidziyah agar tidak terjadi dualisme kepemimpinan dalam pucuk pimpinan NU.

Penulis berpendapat sekiranya dapat dilakukan peninjauan kembali AD/ART pemilihan Ketua Tanfidziyah agar dikembalikan kepada sistem pengangkatan ketua umum PBNU oleh Rais Aam dan jajaran di bawahnya, agar kinerja Syuriyah dan Tanfidziyah sepenuhnya dapat terkoordinasi dengan baik dan tidak terdapat dualisme kepemimpinan di tubuh Nahdlatul Ulama. (*)

Malang, 6 Desember 2021

Dr KH Ahmad Fahrur Rozi, Wakil Ketua PWNU Jawa Timur, Wakil Sekjend MUI pusat, Ketua RMI PBNU 2004-215, Pengasuh Pondok Pesantren An-Nur 1 Bululawang Malang.

Terkait

Fikrah Lainnya

SantriNews Network