Muktamar Ke-34 NU 2021

Dialektika Muktamar NU

Kalimat “Hidup itu perubahan” adalah pepatah bijak yang sering kita dengar. Menjelang Muktamar ke-34 NU di Lampung 22-24 Desember 2021 ini, proposisi perubahan dan regenerasi menjadi topik yang sering dikemukakan ketika membicarakan tentang ide perubahan sebuah kepemimpinan dalam muktamar.

Dinamika hiruk pikuk kegaduhan dan kekhawatiran timbulnya ekses negatif pasca muktamar menjadi landasan proses sebuah hukum dialektika sebagaimana ditulis oleh sahabat saya Kang Kiai Imam Jazuli Lc, MA di Tribunnews, 19 Desember 2021, dengan judul “Kiai Said vs Gus Yahya di Muktamar NU, Inilah Solusi Menghindari Konflik di Level Tanfidziyah”.

Istilah dialektika pertama kali diperkenalkan oleh Heraklitus, filsuf Yunani kuno, yang menyatakan bahwa hidup ini selalu berkembang dan tidak statis. Ia menganalogikannya dengan seorang manusia yang menyeberangi sungai, ia akan terkena aliran air yang melaluinya. Aliran air yang mengenai kaki si manusia, bukanlah air yang sama.

Filsuf lain yang mempopulerkan dialektika adalah G.W.F Hegel. Hegel membuat logika dialektika dengan tiga triadik, yaitu tesis, anti tesis dan sintesis. Menurut Hegel, sejarah perkembangan manusia adalah sejarah perkembangan ide. Ide ini saling bertentangan melalui tesis yang dipertentangkan dengan anti tesis, kemudian muncul sintesis sebagai sebuah jalan tengah. Sintesis ini kemudian menjadi tesis dan kemudian muncul lagi anti tesis sebagai kontradiksi. Proses ini akan terus berulang.

Menuju Muktamar ke 34 NU di Lampung yang kian dekat, saya melihat mulai ada kecemasan sebagian tokoh atas kegaduhan yang terjadi saat ini menjelang muktamar, seperti diungkapkan oleh sahabat saya Kang Imam Jazuli. Kiai muda energik pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia Cirebon dan kolega saya di kepengurusan PP RMI PBNU periode 2010-2015 ini mengajak kita berfikir untuk mencegah konflik dengan mengelola dialektika antara tesis (Kiai Sa’id) dan anti-tesis (Gus Yahya) menuju harmoni dengan sintesis menjadikan Kiai Said Aqil Siroj sebagai Rais Aam dan Gus Yahya sebagai ketua umumnya, demi menghindari benturan keras di gelanggang Tanfidziyah.

Kang Imam Jazuli khawatir, bila medan pertarungan kubu Kiai Said dan Gus Yahya berada di level Tanfidziyah mengeras, maka pihak yang kalah di kemudian hari akan memiliki celah dan kesempatan untuk membangun argumentasi rasional yang kuat, untuk membalas kekecewaan mereka. Sehingga Muktamar berakhir, tapi konflik berlanjut sebagaimana munculnya NU GL, NU Khittah dan lainnya pasca muktamar NU di Jombang 2015.

Untuk itulah menurut Kang Imam, perlu kiranya melapangkan jalan bagi Gus Yahya menjadi Ketua Umum. Dan pada saat yang sama, mengangkat Kiai Sa’id jadi Rais ‘Aam. Menurut Kang Imam ini adalah strategi yang perlu dicoba dan dipertimbangkan oleh para kiai sepuh.

Sementara itu juga ada solusi yang ditawarkan pihak lain dengan mengajukan calon Ketua Umum PBNU alternatif seorang tokoh senior intelijen Indonesia yang pernah menduduki jabatan Wakil Ketua BIN era Presiden Gus Dur hingga SBY, yaitu DR H As’ad Said Ali. Dia adalah Wakil Ketua Umum PBNU periode 2010-2015 dan telah 30 tahun malang melintang sebagai intelijen karir di berbagai negara.

Ide mendukung Pak As’ad sebagai kandidat Ketum PBNU ini ramai digulirkan oleh KH Asep Saifuddin dan kelompok kiai NU Khittah 1926 sebagai poros tengah yang mengklaim sebagai calon ketua umum netral dari kelompok Yahudi dan China Beijing.

Awal Desember 2021, sekelompok anak muda yang menamakan dirinya sebagai Gawagis Penjaga NU atau GPNU juga mendeklarasikan dukungan kepada Kiai Marzuqi Mustamar, Ketua PWNU Jatim yang sebelumnya telah menandatangani kesepakatan dukungan PWNU Jatim untuk mendukung pasangan KH Miftachul Akhyar dan Gus Yahya Staquf, dengan alasan yang sama yaitu sebagai poros tengah, meskipun mereka tidak punya hak suara namun mereka mengklaim dukungan dari beberapa cabang diluar pulau Jawa yang belum tampak terbukti di permukaan.

Secara dialektis penulis melihat pertentangan saat ini sesungguhnya masih dalam tataran wajar. Pertentangan yang ada tidak sepenuhnya harus disikapi secara negatif. Hukum dialektika yang menghendaki perubahan, mensyaratkan adanya kontradiksi. Kontradiksi menjadi penggerak menuju kualitas yang lebih baik.

Kegaduhan pra muktamar ini harus dilihat dari berbagai sudut, mulai sudut yang lebih panjang yaitu ekses penundaan muktamar NU akibat pandemi Covid-19 yang gagal dilaksanakan oleh PBNU setelah lewat masa tunda setahun dari semula Oktober 2020 ke Oktober 2021 hingga diperpanjang lagi oleh Munas ke akhir Desember 2021.

Sudut pandang selanjutnya adalah ketidakjelasan sikap Ketua Umum PBNU petahana yang sebelumnya secara jelas terbuka di depan Presiden dalam pertemuan Muslimat NU di Istora Senayan beberapa tahun lalu menyatakan tidak akan maju lagi dalam Muktamar NU di Lampung dan memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada seluruh kader untuk mempersiapkan diri menggantikan posisi dirinya sebagai ketua umum PBNU. Namun pada saat berikutnya menyatakan siap maju kembali sebagai kandidat Ketum PBNU atas alasan didorong para kiai sepuh.

Jika saja Ketua Umum PBNU petahana konsisten dengan sikapnya untuk tidak maju kembali, penulis yakin muktamar akan berlangsung tepat waktu, meriah dan riang gembira karena bermunculan kader muda hebat dalam kontestasi Muktamar NU di Lampung, mereka akan mempersiapkan diri lebih baik dan mengambil keputusan tepat untuk maju sesuai rencana dan perhitungan matang yang telah dibangun dalam waktu lima tahun masa jabatannya secara rasional.

Dialektika itu dapat menjadi alat analisa kita untuk memahami akar masalah kegaduhan pra muktamar saat ini, disamping fakta bahwa dalam tiga Muktamar NU sebelumnya juga telah terjadi kegaduhan yang jauh lebih serius dan semua berakhir dengan aman. Kecemasan pra muktamar memang seringkali jauh lebih besar daripada apa yang sebetulnya akan terjadi terutama saat pra muktamar. 

Setiap momen muktamar sejatinya telah memberi kita kesempatan untuk merasa lebih nyaman di muktamar berikutnya. Tugas kita adalah mencoba menemukan hal-hal menyenangkan atau membuat semua merasa nyaman di setiap muktamar. Membaca fakta muktamar sebelumnya melatih kembali otak kita agar tidak terlalu sensitif terhadap faktor-faktor yang memicu kecemasan antisipatif ketika akan muktamar.

Kesimpulan yang dapat dicapai adalah dengan memahami dinamika dan dialektika muktamar yang sebelumnya akan meyakinkan kita bahwa muktamar yang akan datang akan juga berjalan tertib dan aman.

Berhentilah memikirkan hal-hal buruk akan terjadi saat muktamar nanti. Kita harus belajar mengelola kecemasan yang mungkin muncul ketika muktamar dengan mempelajari aturan organisasi yang berlaku dan bagaimana AD/ART telah dirancang untuk menangani jika terjadi perbedaan pandangan dalam muktamar.

Kita harus mampu membuktikan bahwa NU telah dewasa dalam mengelola perbedaan dan mempunyai tradisi unik mengubah gegeran menjadi ger-geran.

Selamat bermuktamar dengan tertib dan hati tenang. (*)

Malang, 20 Desember 2021.

Dr KH Ahmad Fahrur Rozi, Wakil Ketua PWNU Jawa Timur, Pengasuh PP Annur 1 Bululawang Malang, Wakil Sekjend DP MUI Bidang Fatwa.

Terkait

Fikrah Lainnya

SantriNews Network