Jangan Terjebak Dualisme (1)

Oleh: Husein Ja’far Al Hadar

Tiba-tiba saya teringat pada quote panjang yang konon datang dari Sayyidina Ali. Saya ingin membagikannya pada Anda, dengan sedikit uraian dari saya yang tentu subjektif, sesuai pemahaman dan tafsiran saya atasnya. Dan jika Anda tak setuju atau tafsiran saya tak sesuai kontekstualisasi dengan konteks Anda, minimal Anda bisa membaca quote -nya saja sembari menafsirkannya sendiri sesuai konteks yang tepat bagi Anda.

Kita sering kali terjebak dalam struktur kehidupan yang membuat kita hendak menghindari suatu ekstremisme, namun terjebak pada ekstremisme yang lain di hadapannya. Memilih tak ke kiri, tapi ternyata sampai terlampau ke kanan. Dualisme yang sama-sama mencelakakan.

Ironisnya, dualisme itu justru seolah pilihan yang harus dipilih tanpa ada alternatif jalan tengah. Itulah yang dirangkum oleh Sayyidina Ali, yang – seperti dikatakannya dalam pembukaan quote ini – benar-benar membuatnya khawatir pada zaman yang semacam itu.

Banyak orang baik tapi tak berakal
Kebaikan kadang muncul begitu saja: prematur. Tanpa pertimbangan-pertimbangan atau dasar-dasar rasional-logis. Sehingga, ia sendiri tak bisa mempertanggungjawabkan kebaikan itu sendiri. Karenanya bisa jadi tak berarti atau malah riskan. Atau, ia kadang dijalani sebagai “kecelakaan”.

Betapa sering kita mendengar orang menceritakan kebaikannya dengan diawali dengan kata “kebetulan”: “Kebetulan saya senggang, maka saya bantu saja orang itu.” Bahkan kadang kebaikan dilakukan, seperti kata Sayyidina Ali di lain waktu, dalam logika “pedagang” atau “budak”: yang pertama dengan pertimbangan pragmatis, yang kedua pertimbangan ketakutan dan keterpaksaan.

Ada yang berakal tapi tak beriman
Akal di sini tampaknya menyasar pada akal yang biasanya dikritik oleh para sufi, seperti ibn “˜Arabi dan Jalaluddin Rumi. Akal yang justru menjerumuskan. Dalam terminologi Mazhab Frankfurt, ia disebut “akal instrumental”: akal yang digunakan secara apologetik atau bahasa kita “ngakali”.

Ada lidah fasih tapi berhati lalai
Ini tampaknya adalah sindiran bagi khatib yang memiliki konten dan artikulasi khutbah yang benar dan baik, namun tak memberi keteladanan. Mereka yang disindir Al-Qur’an dalam QS. Al-Saff: 3 tentang orang-orang yang berkata-kata (baik) tapi tak melakukan apa yang dikatakannya.

Ada yang khusyuk namun sibuk dalam kesendirian
Ke-khusyuk-an sering kali memang membutuhkan kesendirian, keheningan, dst. “Tuhan bersemayam dalam hening,” kata Bunda Teresa. Nabi menyendiri ke Gua Hira untuk merenungkan Allah dan menerima wahyu. Khalwat dalam tradisi sufi pun identik dengan kesendirian. Namun, bukan lantas kita terjebak dalam kesendirian tersebut. Itu hanyalah jeda waktu untuk merenung, ber-_khalwat_, dll.

Setelahnya, kita harus tetap berada di tengah keramaian dan memberi pengaruh positif bagi umat. Quote ini semacam sindiran bagi mereka tak jarang pula sufi atau ahli ibadah yang terjebak (hanya hanyut) dalam kesendirian.

Mereka yang digambarkan oleh Muhammad Iqbal dengan perkataannya bahwa “Muhammad isra’ ke Sidratul Muntaha, bertemu dengan Tuhan dan kembali turun ke bumi. Jika aku yang melakukannya, niscaya aku takkan turun lagi ke bumi.” Namun, teladan Muhammad memperlihatkan ia kembali ke bumi setelah ke-khusyuk-annya untuk mewarnai dan mengajak manusia ke jalan ke-khusyuk-an sepertinya. (bersambung)

Husein Ja’far Al Hadar, Direktur Cultural Islamic Academy, Jakarta.

Terkait

Dirosah Lainnya

SantriNews Network