Hikam Zain: Jadi Santri Jangan Goblok

Beberapa kita lihat santri yang sudah berlama-lama tahun mondok, salaman dengan Kyainya masih saja seperti dengan temannya. Atau salaman yang dicium malah tangannya sendiri.
Seorang guru memang tidak pantas untuk meminta di muliakan, akan tetapi seorang murid memuliakan guru adalah wajib hukumnya.
Kadang-kadang saya tergelitik, “La sama pacarnya aja, tangan diciumi dengan begitu Ikhlasnya, hehehe… dengan para penguasa, pejabat dan sebagainya, seakan-akan kita rendah di hadapan mereka. Mengapa kepada guru yang telah mengajar sedemikian banyak, hanya cium tangan saja, gak mau?”
Ini perlu dipertanyakan. Beberapa Dalil yang saya kumpulkan dari beberapa Hadist dan Turots kitab para ulama, bagaimana sieh sebenarnya hukum mencium tangan ? Dan bagaimana para sahabat Nabi juga Ulama’ salaf dalam memperlakukan gurunya.
عَنْ صَÙْوَانَ بْن٠عَسَّالÙ
أَنَّ ÙŠÙŽÙ‡ÙودÙيَّيْن٠قَالَ Ø£ÙŽØÙŽØ¯ÙÙ‡Ùمَا Ù„ÙØµÙŽØ§ØÙبÙه٠اذْهَبْ بÙنَا Ø¥ÙÙ„ÙŽÙ‰ هَذَا النَّبÙيّ٠نَسْأَلÙÙ‡Ù Ùَقَالَ لَا تَقÙلْ نَبÙيٌّ ÙÙŽØ¥Ùنَّه٠إÙنْ Ø³ÙŽÙ…ÙØ¹ÙŽÙ‡ÙŽØ§ تَقÙول٠نَبÙيٌّ كَانَتْ لَه٠أَرْبَعَة٠أَعْيÙÙ†Ù Ùَأَتَيَا النَّبÙيَّ صَلَّى اللَّه٠عَلَيْه٠وَسَلَّمَ Ùَسَأَلَاه٠عَنْ قَوْل٠اللَّه٠عَزَّ وَجَلَّ
{ وَلَقَدْ آتَيْنَا Ù…Ùوسَى ØªÙØ³Ù’عَ آيَات٠بَيّÙنَات٠}
Ùَقَالَ رَسÙول٠اللَّه٠صَلَّى اللَّه٠عَلَيْه٠وَسَلَّمَ لَا ØªÙØ´Ù’رÙÙƒÙوا Ø¨ÙØ§Ù„لَّه٠شَيْئًا وَلَا تَزْنÙوا وَلَا تَقْتÙÙ„Ùوا النَّÙْسَ الَّتÙÙŠ ØÙŽØ±Ù‘ÙŽÙ…ÙŽ اللَّه٠إÙلَّا Ø¨ÙØ§Ù„Ù’ØÙŽÙ‚ّ٠وَلَا تَسْرÙÙ‚Ùوا وَلَا تَسْØÙŽØ±Ùوا وَلَا تَمْشÙوا Ø¨ÙØ¨ÙŽØ±Ùيء٠إÙÙ„ÙŽÙ‰ سÙلْطَان٠ÙَيَقْتÙلَه٠وَلَا تَأْكÙÙ„Ùوا Ø§Ù„Ø±Ù‘ÙØ¨ÙŽØ§ وَلَا تَقْذÙÙÙوا Ù…ÙØÙ’ØµÙŽÙ†ÙŽØ©Ù‹ وَلَا تَÙÙØ±Ù‘Ùوا Ù…Ùنْ الزَّØÙ’Ù٠شَكَّ Ø´ÙØ¹Ù’بَة٠وَعَلَيْكÙمْ يَا مَعْشَرَ الْيَهÙود٠خَاصَّةً لَا تَعْدÙوا ÙÙÙŠ السَّبْت٠Ùَقَبَّلَا ÙŠÙŽØ¯ÙŽÙŠÙ’Ù‡Ù ÙˆÙŽØ±ÙØ¬Ù’لَيْه٠وَقَالَا نَشْهَد٠أَنَّكَ نَبÙيٌّ قَالَ Ùَمَا يَمْنَعÙÙƒÙمَا أَنْ ØªÙØ³Ù’Ù„Ùمَا قَالَا Ø¥Ùنَّ Ø¯ÙŽØ§ÙˆÙØ¯ÙŽ Ø¯ÙŽØ¹ÙŽØ§ اللَّهَ أَنْ لَا يَزَالَ ÙÙÙŠ Ø°ÙØ±Ù‘ÙيَّتÙه٠نَبÙيٌّ ÙˆÙŽØ¥Ùنَّا نَخَاÙ٠إÙنْ أَسْلَمْنَا أَنْ تَقْتÙلَنَا الْيَهÙودÙ
رواه اØÙ…د
Dari Shafwan bin Assal, ada dua orang Yahudi, salah satunya berkata kepada temannya: Ikutlah bersamaku menghadap Nabi Saw ini, lalu kita tanyakan (sesuatu) padanya! ia menyahut: Jangan katakan Nabi, karena ia memiliki empat mata dan ia mendengar saat engkau mengatakan Nabi. Keduanya datang kepada Nabi Saw dan menanyakan fiman Allah subhanahu wata’ala: “Dan sesungguhnya Kami telah memberikan kepada Musa sembilan buah mu’jizat yang nyata.” (Al Israa`: 101)
Rasululah menjawab: “Janganlah kalian mempersekutukan Allah dengan sesuatu pun, janganlah kalian berzina, membunuh jiwa yang Allah haramkan kecuali dengan hak, mencuri, mempelajari sihir, dan janganlah kamu membawa orang tak mempunyai kesalahan kepada penguasa dengan maksud agar si penguasa membunuhnya, mamakan riba, menuduh wanita baik-baik melakukan perzinahan, dan janganlah kalian lari dari peperangan – Syu’bah ragu – dan wajib atasmu untukmu wahai orang yahudi, janganlah melanggar hari sabtu.” lalu keduanya mencium kedua tangan dan kakinya dan berikrar: Kami bersaksi bahwa engkau adalah seorang Nabi.
Beliau bertanya: “Apa yang menghalangi kalian untuk masuk Islam?” mereka menjawab: Sesungguhnya Dawud pernah berdo’a keada Allah agar Allah senantiasa mengutus seorang Nabi dari keturunannya, dan kami takut jika kami masuk Islam kami akan dibunuh orang Yahudi.
٠أَنَّ عَبْدَ اللَّه٠بْنَ عÙمَرَ ØÙŽØ¯Ù‘َثَه٠أَنَّه٠كَانَ ÙÙÙŠ سَرÙيَّة٠مÙنْ سَرَايَا رَسÙول٠اللَّه٠صَلَّى اللَّه٠عَلَيْه٠وَسَلَّمَ قَالَ ÙÙŽØÙŽØ§ØµÙŽ Ø§Ù„Ù†Ù‘ÙŽØ§Ø³Ù ØÙŽÙŠÙ’صَةً ÙÙŽÙƒÙنْت٠ÙÙيمَنْ ØÙŽØ§ØµÙŽ Ù‚ÙŽØ§Ù„ÙŽ Ùَلَمَّا بَرَزْنَا Ù‚Ùلْنَا كَيْÙÙŽ نَصْنَع٠وَقَدْ Ùَرَرْنَا Ù…Ùنْ الزَّØÙ’ÙÙ ÙˆÙŽØ¨ÙØ¤Ù’نَا Ø¨ÙØ§Ù„ْغَضَب٠ÙÙŽÙ‚Ùلْنَا نَدْخÙل٠الْمَدÙينَةَ Ùَنَتَثَبَّت٠ÙÙيهَا وَنَذْهَب٠وَلَا يَرَانَا Ø£ÙŽØÙŽØ¯ÙŒ قَالَ Ùَدَخَلْنَا ÙÙŽÙ‚Ùلْنَا لَوْ عَرَضْنَا أَنْÙÙØ³ÙŽÙ†ÙŽØ§ عَلَى رَسÙول٠اللَّه٠صَلَّى اللَّه٠عَلَيْه٠وَسَلَّمَ ÙÙŽØ¥Ùنْ كَانَتْ لَنَا تَوْبَةٌ أَقَمْنَا ÙˆÙŽØ¥Ùنْ كَانَ غَيْرَ ذَلÙÙƒÙŽ ذَهَبْنَا قَالَ Ùَجَلَسْنَا Ù„ÙØ±ÙŽØ³Ùول٠اللَّه٠صَلَّى اللَّه٠عَلَيْه٠وَسَلَّمَ قَبْلَ صَلَاة٠الْÙَجْر٠Ùَلَمَّا خَرَجَ Ù‚Ùمْنَا Ø¥Ùلَيْه٠ÙÙŽÙ‚Ùلْنَا Ù†ÙŽØÙ’ن٠الْÙَرَّارÙونَ Ùَأَقْبَلَ Ø¥Ùلَيْنَا Ùَقَالَ لَا بَلْ أَنْتÙمْ الْعَكَّارÙونَ قَالَ Ùَدَنَوْنَا Ùَقَبَّلْنَا يَدَه٠Ùَقَالَ Ø¥Ùنَّا ÙÙØ¦ÙŽØ©Ù Ø§Ù„Ù’Ù…ÙØ³Ù’Ù„ÙÙ…Ùينَ
اخرØÙ‡ البخاري ÙÙŠ الادب Ø§Ù„Ù…ÙØ±Ø¯ØŒ الترمذي ØŒ اØÙ…د
Abdullah bin Umar telah menceritakan kepadanya bahwa ia pernah berada dalam kesatuan militer diantara kesatuan-kesatuan militer Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Ia berkata; kemudian orang-orang melarikan diri, dan aku termasuk orang-orang yang melarikan diri. Kemudian tatkala kami nampak, maka kami mengatakan; apa yang akan kita lakukan? Sungguh kita telah lari dari peperangan dan kita kembali dengan kemurkaan. Lalu kami katakan; kita akan masuk Madinah kemudian kita tinggal padanya dan pergi sementara tidak ada seorangpun yang melihat kita.
Kemudian kami masuk Madinah, lalu kami katakan; seandainya kita menyerahkan diri kepada Rasulullah Saw apabila kita mendapatkan taubat maka kita tinggal di Madinah dan seandainya tidak demikian maka kita akan pergi. Ibnu Umar berkata; kemudian kami duduk menunggu Rasulullah Saw sebelum Shalat Subuh. Kemudian tatkala beliau keluar maka kami berdiri menuju kepadanya dan kami katakan; kami adalah orang-orang yang melarikan diri. Lalu beliau menghadap kepada kami dan berkata: “Tidak, melainkan kalian adalah orang-orang yang kembali berperang.” Ibnu Umar berkata; kemudian kami mendekat dan mencium tangan beliau. Lalu beliau berkata: “Kami adalah kelompok orang-orang muslimin.”
عن Ø£Ùمّ٠أَبَانَ بÙÙ†Ù’ØªÙ Ø§Ù„Ù’ÙˆÙŽØ§Ø²ÙØ¹Ù Ø¨Ù’Ù†Ù Ø²ÙŽØ§Ø±ÙØ¹Ù عَنْ Ø¬ÙØ¯Ù‘Ùهَا Ø²ÙŽØ§Ø±ÙØ¹Ù وَكَانَ ÙÙÙŠ ÙˆÙŽÙْد٠عَبْد٠الْقَيْس٠قَالَ
لَمَّا قَدÙمْنَا الْمَدÙينَةَ Ùَجَعَلْنَا نَتَبَادَر٠مÙنْ رَوَاØÙÙ„Ùنَا ÙÙŽÙ†ÙقَبّÙل٠يَدَ النَّبÙيّ٠صَلَّى اللَّه٠عَلَيْه٠وَسَلَّمَ ÙˆÙŽØ±ÙØ¬Ù’Ù„ÙŽÙ‡
رواه ابو داود
Dari Ummu Aban bintil Wazi’ bin Zari’ dari kakeknya Zari’ saat itu ia sedang bersama rombongan utusan Abdu Qais, ia berkata, “Ketika kami tiba di Madinah, kami saling berlomba memacu kendaraan kami, lalu kami mencium tangan dan kaki beliau.”
٠عَنْ Ø§Ø¨Ù’Ù†Ù Ø¬ÙØ¯Ù’عَانَ قَالَ قَالَ Ø«ÙŽØ§Ø¨ÙØªÙŒ Ù„ÙØ£ÙŽÙ†ÙŽØ³Ù
يَا Ø£ÙŽÙ†ÙŽØ³Ù Ù…ÙŽØ³ÙØ³Ù’تَ يَدَ رَسÙول٠اللَّه٠صَلَّى اللَّه٠عَلَيْه٠وَسَلَّمَ بÙيَدÙÙƒÙŽ قَالَ نَعَمْ قَالَ أَرÙÙ†ÙÙŠ Ø£ÙقَبّÙÙ„Ùهَا.
رواه اØÙ…د١١٥١.
Dari Ibnu Jud’an ia berkata; Tsabit bertanya kepada Anas; “Wahai Anas, pernahkah engkau menyentuh tangan Rasulullah Saw dengan tanganmu?” ia menjawab; “Ya.” Maka ia berkata; “Berikanlah tanganmu kepadaku hingga aku dapat menciumnya.”
وجاء ÙÙŠ ÙØªØ الباري للعسقلاني : ان ابا لبابة وكعب بن مالك ÙˆØµØ§ØØ¨ÙŠÙ‡ رضي الله عنهم، قبلوا يداالنبي صلى الله عليه وسلم ØÙŠÙ† تاب الله عليهم.
Bahwasanya Abu Lubabah dan Ka’ab bin Malik beserta rekannya RodhiAllahu Anhum, mencium tangan Nabi SAW, setelah diterimanya pertaubatannya. [Fathul Bari 11/47]
قال العلامة العسقلاني ÙÙŠ كتابه ÙØªØ الباري قال الامام النووي وَأَمَّا تَقْبÙيل٠الْيَد٠، ÙÙŽØ¥Ùنْ كَانَ Ù„ÙØ²Ùهْد٠صَاØÙب٠الْيَد٠وَصَلَاØÙÙ‡Ù ØŒ أَوْ عÙلْمÙه٠أَوْ شَرَÙÙه٠وَصÙيَانَتÙÙ‡Ù ÙˆÙŽÙ†ÙŽØÙ’ÙˆÙه٠مÙÙ†ÙŽ الْأÙÙ…ÙورÙ الدÙّينÙيَّة٠، ÙÙŽÙ…ÙØ³Ù’تَØÙŽØ¨ÙŒÙ‘ ØŒ ÙˆÙŽØ¥Ùنْ كَانَ Ù„ÙØ¯Ùنْيَاه٠وَثَرْوَتÙه٠وَشَوْكَتÙه٠وَوَجَاهَتÙÙ‡Ù ÙˆÙŽÙ†ÙŽØÙ’و٠ذَلÙÙƒÙŽ ØŒ ÙَمَكْرÙوهٌ شَدÙيد٠الْكَرَاهَةÙ
Berkata Imam Ibnu Hajar al Asqolani dalam kitabnya Fathul Bari telah berkata Imam Nawawi; Adapun mencium tangan, jika karena kezuhudan dan kesalehan orangnya, atau karena ilmunya, atau mulianya, atau karena dia menjaga perkara keagamaan, maka hukumnya Mustahab (disunnahkan) Dan apabila karena dunianya, kekayaannya dan kepangkatannya dan sebagainya, maka hukumnya sangatlah Makruh.
وقال العلامة الباجوري ÙÙŠ ØØ§Ø´ÙŠØªÙ‡ : ويسن تقبيل اليد Ù„ØµÙ„Ø§Ø ÙˆÙ†ØÙˆÙ‡ من الامور الدينية كعلم وزهد، ويكره ذالك لغناه ونØÙˆÙ‡ من الامور الدنيوية كشوكة ووجاهة
Berkata Imama Al Bajuri dalam Hasyiahnya: Disunnahkan mencium tangan orang Sholih, semisal orang alim, orang zuhud dan semisalnya. Dan dimakruhkan mencium tangan seseorang sebab kekayaannya dan semisalnya seperti kekuasaanya atau lebih unggul derajatnya dalam hal duniawi.
المذهب الØÙ†ÙÙŠ : قال العلامة ابن عابدين ÙÙŠ ØØ§Ø´ÙŠØªÙ‡ : ولابأس بتقبيل يد الرجل العالم المتورع على سبيل التبرك، وقيل سنة قال الشرنبلالي وعلمت ان Ù…ÙØ§Ø¯Ø§Ù„Ø§ØØ§Ø¯ÙŠØ« سنية اوندبه
Dalam Mahdzab Hanafi Berkata Imam Abidien dalam Hasyiahnya: Tidak mengapa mencium tangan orang alim wara’ untuk bertabarruk. Ada yang memgatakan Hukumnya adalah Sunnah. Berkata Imam As Syaronbalali: Dan saya telah mengambil faidah dari beberapa hadist bahwa hukum mencium tangan adalah Sunnah.
[ Hasyiah Ibnu Abidien. 5/254]
المذهب الØÙ†Ø¨Ù„ÙŠ : قال العلامة Ø§Ù„Ø³ÙØ§Ø±ÙŠÙ†ÙŠ ÙÙŠ كتابه غداء الاباب قال المورزي : سألت ابا عبد الله الامام اØÙ…د بن ØÙ†Ø¨Ù„ رØÙ…Ù‡ الله عن قبلة اليد Ùقال : ان كان على طريق التدين Ùلابأس وان كان على طريق الدنيا Ùلا.
Dalam Mahdzab Hambali.
Imam Mawarzi bertanya pada Abu Abdillah Imam Ahmad bin Hambal, tentang hukum mencium tangan.
Beliau menjawab : kalau dalam urusan agama maka diperbolehkan, kalau dalam hal pangkat dan keduniawian hukumnya tidak boleh. [Ghidaul Albab. 1/287 ]
المذهب المالكي : قال العلامة العسقلاني ÙÙŠ كتابه ÙØªØ الباري : قال الامام مالك : ان كانت على وجه التكبر والتعظيم Ùمكروهة، وان كانت على وجه القربة الى الله لدينه اولعلمه اولشرÙÙ‡ ÙØ§Ù† ذالك جائز
Dalam Mahdzab Maliki pun mempunyai pendapat yang sama.
Semoga menambah pencerahan agar perilaku kita berubah.
Bahkan kami diajari oleh Al Habib Umar bin Hafidz Yaman,saat nyantri dulu di tahun 2009, mencium tangan orang yang lebih sepuh dari pada kita. Dan beliau ajarkan bukan hanya sekedar teori tapi juga mempraktek-kan.
ÙˆÙ†ÙØ¹Ø§Ø§Ù„له بعلومه وببركاته ÙÙŠ الدارين
Sungkem meskipun terlihat remeh, mempunyai efek yang kuar biasa.
Wallahul Musta’an.
Referensi :
Adabul Mufrod
Musnad Ahmad
Sunan At Tirmidzi
Sunan Abi Daud
Fathul Bari Syarah Shahih Bukhari
Hasyiah Al Baijuri.
Hasyiah Ibnu Abidien.
Ghidaul Albab.
Salam Takdzim
Ahmad Zain Bad
AnNur II Bululawang Malang.