Ya Rasulullah, Saya Saling Menindih: Solusi Nabi Bahagiakan Umatnya

Ilustrasi - Orang Badui

Judul Ya Rasulullah, Saya Saling Menindih ini adalah ungkapan seorang Baduwi yang lugu (al A’rabiy) kepada Rasulullah. Ia mengadu kepada Rasulullah karena telah melakukan hubungan suami istri di siang hari bulan Ramadhan.

Mendengar pengakuan lugu itu, Rasulullah bersabda “merdekakanlah seorang budak”. Si Badui menjawab; tidak punya, ya Rasul. “Apakah engkau mampu puasa dua bulan berturut-turut?,” tanya Rasul. Tidak, ya Rasul, jawabnya. “Apakah engkau memiliki makanan yang cukup untuk 60 orang miskin?,” tanya Rasul kembali. Tidak, ya Rasul.

Mendengar jawaban itu Rasulullah akhirnya duduk sejenak, dan kemudian masuk dan membawakan sekerenjang kecil kurma. “Sedekahkanlah kurma ini,” perintah Rasul. Apakah kepada orang terfakir diantara kami, ya Rasul? Tanya si badui. Ya Rasul sungguh di daerahku tidak ada yang lebih fakir dari padaku.

Sambil tertawa, Rasulullah kemudian bersabda, “ya sudah makan kurma itu bersama keluargamu.”

Hadist ini diriwayatkan oleh tujuh tokoh utama ahli hadist.

Hadis ini menggambarkan bahwa Hukum Islam itu sangatlah lentur dan memudahkan dengan memberikan pilihan yang mungkin dilakukan umatnya. Rasulullah telah mencontohkan dengan indah bahwa hukum Islam haruslah memberikan solusi yang membahagiakan umatnya, membuat umatnya tersenyum, bukan tambah cemberut setelah mendengar nasehatnya. Inilah pesan utama hadist ini.

Di sisi lain Ulama kemudian berbeda pendapat dalam beberapa hal. Antara lain; 1. Apakah kewajiban membayar kaffarat itu hanya menjadi kewajiban suami ataukah juga istri?, 2. Apakah kewajiban kaffarat itu karena “hubungan seksualnya” ataukah karena unsur “kesengajaan” melakukannya.

Pertama, sebagian ulama menyatakan bahwa kewajiban kaffarah itu hanya menjadi kewajiban suami, istri tidak. Karena istri telah terbatalkan puasanya dengan semata masuknya barang kedalam vaginanya. Sama dengan masuknya barang-barang lain ke bagian dalam tubuhnya.

Sebagian ulama lain menyatakan sebaliknya, ya wajib bagi keduanya, karena sama-sama melakukan dan menikmatinya. Lalu pilih yang mana? ya jangan pilih kedua-duanya, dengan tidak melakukan senggama.

Kedua, kewajiban kaffarah itu karena jima’/wiqa’ nya? Atau karena ada “unsur kesengajaan”-nya. Menurut Syafi’iyah, kewajiban kaffarah itu karena jimaknya itu. Sehingga jika seseorang membatalkan puasanya bukan dengan jimak, maka tidak wajib kaffarah. Pandangan Syafi’iyah ini bisa dijadikan alat untuk “merekayasa hukum” (khilah).

Jika seorang suami istri tidak mampu menahan hasratnya di siang hari, karena kemanten baru misalnya, tapi tidak ingin membayar kaffarat (memerdekakan budak, puasa 2 bulan, memberi makan 60 rang miskin), maka batalkanlah puasanya dengan yang lain dulu, minum misalnya, baru kemudian melakukan hubungan suami istri. Maka ia terbebas dari kaffarat.

Sedang menurut Ulama Hanafiyah, kewajiban bayar kaffarat itu bukan karena senggamanya (jima’/wiqa’), tetapi karena unsur kesengajaannya itu. Jadi menurut Hanafiyah kewajibah kaffarah wajib dilakukan oleh setiap orang yang “sengaja” membatalkan puasanya dengan cara apapun, baik sengaja minum, sengaja makan, maupun sengaja senggama. Jika kita ingin ikut pendapat yang berat, maka ikutilah pendapat ini.

Hukum Islam sangatlah luas dan penuh dengan keragaman pandangan-pandangan ulama. Semuanya digali dari Luatan Syariah yang maha luas. Dan disitulah letak kerahmatan hukum Islam. Jadi, jangan seragamkan semua orang harus dengan satu pandangan fikih, karena itu justu menimbulkan kesulitan dan kepicikan pada umat. Wallahu a’lam. (*)

Situbondo, 26 April 2020

KH Imam Nakha’i, Dosen Fikih-Ushul Fikih di Ma’had Aly Salafiyah-Syafi’iyah Sukorejo, Situbondo.

Terkait

SYARIAH Lainnya

SantriNews Network