Ya Rasulullah, Saya Kecup Istriku: Kontekstualisasi 3 Hal yang Batalkan Puasa

Al-Qur’an memang menyebut hanya tiga hal yang membatalkan puasa, yaitu al-aklu (makan), asy-syurbu (minum), wa ar-rafatsu (dan senggama). Itu kalau dibaca secara tekstual-harfiyah.
Namun jika dibaca dengan pendekatan kontekstual- maqhashidiyah, ruh dan spirit dilarangnya ketiga hal diatas, maka bisa diperluas kepada hal-hal yang senafas dan semakna dengan ketiga hal itu.
Tujuan utama makan bukan supaya keyang, tetapi untuk mendapatkan energi yang optimal dan nutrisi yang dibutuhkan tubuh. Maka setiap sesuatu (infus misalnya) yang masuk dalam tubuh untuk tujuan mendapat energi dan nutrisi adalah semakna dengan makan yang membatalkan puasa.
Minum, bertujuan untuk menggantikan cairan tubuh yang hilang akibat aktifitas tubuh dan juga berfungsi membawa nutrisi kedalam sel tubuh untuk menjaga sistem tubuh. Maka setiap hal yang sama dan semakna dengan fungsi dan tujuan minum, bisa membatalkan puasa.
Nah kalau senggama, jimak atau ar-rafats apa tujuannya? Ya tujuannya setidaknya dua hal, prokreasi (melanjutkan generasi umat manusia) dan rekreasi (untuk memperoleh kesenangan dan kenikmatan seksual. Namun tujuan ini sangat subyektif dan tidak definitif. Maka ulama berbeda-beda ketika mengidentifikasi apa saja yang semakna dan senafas dengan senggama atau jimak.
Adakah berciuman suami istri (qublah), berpelukan dan berguling-guling (mubasyarah), onani-masturbasi (istimna’) adalah hal-hal yang sama dengan senggama (jima’-rafast), sehingga membatalkan puasa dan berkewajiban membayar kaffarah seperti senggama? Bahasa ushul fiqih -nya, apa illah (rasio legisnya) yang menyatukan antara qublah, mubasyarah, istimna’ dan jima’? Sehingga memiliki hukum yang sama?.
Tafsir al-Qurtubi membahas panjang lebar perbedaan ulama dalam hal ini. Sebagian ulama, seperti Imam Malik, menyatakan berciuman dan mubasyarah dilarang, dan “bisa” membatalkan puasa.
Siapapun yang mencium istrinya atau berpelukan lalu ejakulasi, maka batallah puasanya dan wajib qada’ (mengganti). Inilah pendapat Imam Syafi’i, Imam Hanafi, as-Tsauri, dll. Sedang menurut Hasan Bashri, Atha’, Ishaq, Abu Tsaur, disamping wajib qada’ ia wajib bayar kaffarah. Berarti semakna dengan senggama.
Sedang menurut ulama yang lain, mencium dan memeluk istrinya tidak dilaranng, dan tidak membatalkan, kecuali berdampak ejakulasi.
Sebagian ulama lain, memerinci. Jika ciumana dan pelukan itu kemungkinan besar menyebabkan dan akan merembet ke hal-hal lain yang lebih serius, maka tidak boleh. Namun jika aman dari itu, maka boleh. Maka dibedakan antara pengantin baru dan pengantin tua, antara anak muda dan kakek nenek.
Nabi pernah ditanya anak muda, bolehkan saya mencium istri, tanyanya. Nabi menjawab tidak boleh. Beberapa saat kemudian seorang kakek tanya dengan pertanyaan yang sama. Nabi menjawab, boleh.
Mengapa beda, karena ciuman muda mudi berpotensi besar merembet pada yang lebih serius. Sedang ciuman kakek nenek, pasti susahlah merembet kemana mana. Ciuman kakek nenek lebih sebagai cerminan kasih sayang, sedang ciuman muda mudi adalah nafsu.
Bagaimana kalau ciuman dan pelukan muda mudi sebagai bentuk kasih sayang, sementara ciuman dan pelukan kakek nenek sebagai nafsu. Saya menjawab; ah kalian jangan mengada-ada. He he. Wallahu A’lam. (*)
Situbondo, 30 April 2020