Zakat Fitrah: Zakat untuk Fakir Miskin yang Jadi Rebutan

Zakat Fitrah adalah bagian dari kewajiban Zakat secara umum. Disamping zakat Fitrah ada zakat Mal, zakat perdagangan, zakat pertambangan, zakat penghasilan, zakat perhotelan dan perindustrian.
Zakat fitrah adalah zakat khusus yang paling menyita perhatian umat Islam karena ia dikaitkan dengan kewajiban puasa Ramadan. Sehingga ia memiliki daya tekan dibanding kewajiban zakat yang lain. Jika tidak bayar zakat Fitrah, maka puasa Ramadhannya dikhawatirkan kosong dari pahala. Begitu nalar sebagian umat Islam.
Ukuran kewajiban zakat fitrah sangat sangat kecil dibanding zakat yang lain yang bisa mencapai jutaan rupiah. Zakat fitrah, hanya 2,5 kilo gram, yang jika dihargai dengan beras yang paling mahal ya sekitar 35.000.
Namun, yaitu anehnya, zakat ini selalu menjadi “rebutan”. Sampai saat ini, banyak yang bertanya: Bolehkah masjid menerima zakat fitrah, bolehkah madrasah, bolehkah gaji guru, bolehkah guru ngaji dari zakat fitrah, bolehkah zakat fitrah untuk bangun jembatan, dll. Pokoknya jadi rebutan.
Zakat Fitrah Hanya untuk Fakir Miskin
Setidaknya ada dua hadist Nabi yang secara tegas menyatakan bahwa zakat fitrah itu khusus untuk fakir miskin:
فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنْ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلاةِ فَهِيَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلاةِ فَهِيَ صَدَقَةٌ مِنْ الصَّدَقَاتِ
Sabda “thu’matan lil masakiin” menunjukkan secara tegas bahwa zakat fitrah itu “untuk orang miskin”.
((أغنوهم عن السؤال في هذا اليوم)، وهذا الحديث وإن كان ضعيفًا، لكن يقويه حديث ابن عباس رضي الله عنه: (فرضها – أي زكاة الفطر – طهرة للصائم من اللغو والرفث وطعمة للمساكين)
Cukupilah orang-orang miskin itu di hari fitri ini, jangan biarkan mereka masih mengemis-ngemis. Demikian Sabda Nabi.
Berdasar hadist ini, juga maqhashidus syari’ah, banyak ulama berpendapat, termasuk Ibnu Taimiyyah, bahwa zakat fitrah khusus untuk fakir miskin. Kayakan mereka, jangan rebut kembali hak mereka.
Waktu Zakat Fitrah
Banyak yang memahami bahwa waktu wajib zakat fitrah dimulai sejak malam lebaran sampai usai penyelenggaraan shalat Iedul Fitri. Kalau dibayarkan setelah shalat Iedul Fitri maka seperti sedekah biasa. Begitu ungkapnya. Sesungguhnya tidak demikian.
Zakat fitrah boleh dibayarkan sebelum waktu wajibnya (malam lebaran). Zakat yang dibayarkan sebelum waktu wajib ini disebut ta’jil zakat. Waktu zakat fitrah itu berakhir dengan tenggelamnya matahari di hari lebaran itu, yakni tanggal 1 Syawal.
Memang yang paling utama diberikan sebelum shalat Iedul Fitri (ini disebut waktu fadhilah), tetapi juga masih diberi waktu sampai sehari penuh. Bahkan jika menunggu penerima zakat yang masih kerabat, atau menunggu orang yang lebih membutuhkan, maka sunnah diakhirkan sampai setelah shalat Iedul Fitri. Jika sampai masuk tanggal dua maka haram hukumnya, tetapi tetap harus dibayarkan. (baca: I’anah, Juz II).
Lo kan ada hadist, kalau diakhirkan dari shalat maka ia adalah “sedekah biasa”. Benar itu. Sedekah itu artinya Zakat. Jadi arti hadist, jika dibayarkan setelah shalat ied, maka pahalanya seperti zakat zakat yang lain. Kalau sebelumnya maka pahalanya lebih afdhal. Begitu.
Niat Zakat Fitrah
Zakat fitrah adalah kewajiban, sehingga membutuhkan “niat” untuk membedakan dengan pemberian lain yang tidak wajib. Niat zakat fitrah sebaiknya dibersamakan dengan ketika menyerahkannya ke yang berhak atau ketika diserahkan kepada amil sebagai wakil zakat.
Niat zakat juga bisa diserahkan kepada wakil. Bahkan jika yang dizakati anak-anak, atau orang yang tidak cakap hukum, maka wali yang berniat atas nama mereka.
Bagaimana dengan istri? Bukankah suami yang membayarkannya?
Pada dasarnya istri juga berkewajiban membayar zakat fitrah sebagaimana suami dan anak-anak, hanya saja harta yang akan dibayarkan zakat berasal dari suami, sebagaimana nafkah. Jadi yang membayar zakat hakikatnya adalah istri. Bahkan banyak ulama yang berpendapat istri wajib membayar zakat dari hartanya sendiri. Oleh karena hakaikatnya yang membayar zakat adalah istri, maka “niat zakat fitrahnya” juga dari istri. Istrilah yang berniat mengeluarkan zakat. Namun sebagaimana suami, istri juga bisa mewakilkan niatnya kepada wakil.
Jadi, salah pandangan yang menyataka bahwa suami yang berniat karena dialah yang membayarkannya. Sebab istri juga berkewajiban membayar zakat, baik dari harta suami atau hartanya sendiri. Apalagi jika suaminya berjarak jauh, dan harus pulang ke kampunng hanya hanya kebutuhan meniatkan istrinya berzakat. Itu tidak perlu, dan keliru.
Tiga itu dulu yang penting, sebab banyak yang salah paham dalam 3 hal di atas (tentang yang berhak menerima zakat fitrah, waktu dan niatnya). Wallahu A’lam. (*)
Situbondo, 9 Mei 2020
KH Imam Nakha’i, Dosen Fikih-Ushul Fikih di Ma’had Aly Salafiyah-Syafi’iyah Sukorejo, Situbondo.