Perempuan, Rokok, dan Budaya Patriarki

Saya dibesarkan di keluarga patriarkal, keluarga dengan dominasi kaum laki-laki dalam fungsi-fungsi sosialnya. Saya dididik dalam nuansa Islam yang juga patriarkal. Islam memang tidak membeda-bedakan laki-laki dan perempuan, tapi cara para guru memperlakukan perempuan sangat patriarkal sekali.

Saya juga hidup dalam kalangan kawan-kawan laki-laki patriarkal, mereka adalah orang-orang yang dididik dalam setting keluarga patriarkal dan didikan yang patriarkal sama seperti saya.

Di keluarga saya, di lembaga pendidikan dimana saya belajar, dan di kawan-kawan dimana saya berteman, mereka punya seperangkat ide tentang perempuan baik-baik. Perempuan baik-baik biasanya dkategorikan dengan pakaiannya yang sopan, sikapnya yang lemah lembut, dan tidak merokok.

Ya, merokok adalah hak prerogatif laki-laki. Laki-laki merokok yang dalam konsep kami tidak masalah. Seakan-akan laki-laki dan rokok itu adalah teman sejati. Banyak laki-laki terhormat di tempat kami itu merokok dan banyak laki-laki yang merokok di tempat kami tapi tetap terhormat. Rokok di tempat kami adalah bahasa pergaulan para laki-laki.

Untuk mengetahui berbagai jenis obrolan yang tak ada di forum-forum resmi, bisa kita dapatkan di tempat di mana para lelaki merokok. Kira-kira watak asli lelaki akan kelihatan pada saat dia merokok.

Nah, lucunya mereka semua rata-rata mengamini, baik mereka yang sudah jadi dosen ataupun sekedar tukang becak bahwa perempuan merokok itu tidak baik. Makanya para istri mereka tidak ada yang merokok. Bisa jadi memang mereka memilih perempuan yang tidak merokok atau para perempuan itu juga sudah terkonstruk bahwa merokok itu tidak baik bagi wanita baik-baik.

Semasa saya kuliah strata satu, karena alasan ekonomi, saya menjadi pengantar seorang model. Saya saat itu menggunakan sepeda motor yang digadaikan orang padaku. Model ini tentu cantik. Akan tetapi sekali lagi karena kebutuhan uang, walau sempat si model ini menawarkan saya adi pacarnya, saya tidak mau. Karena dalam pikiran saya, jika saya jadi pacarnya mungkin saya dapat benefit sebagai pacar tapi tidak uang. Saya saat itu tidak butuh benefit lain-lain itu. Yang saya butuhkan adalah benefit uang bagi kelanjutan kuliah saya.

Nah, si model ini merokok. Dan mungkin inilah saya berkawan secara intens dengan perempuan perokok. Celakanya, anggapan kawan-kawan para lelaki saat itu sepertinya benar karena si model ini memang “nakal”. Dia bisa kencan dengan siapa saja baik untuk alasan cinta atau alasan ekonomi.

Orangnya sebenarnya baik, sangat baik malah. Omongannya bisa saya pegang. Janjinya selalu ia tepati. Cuma ya itu karena dia sering terlibat dalam dunia gemerlap malam. Jadilah cap nakal itu seakan membenarkan bahwa perempuan yang merokok itu memang nakal. Ditambah lagi saya lihat kawan-kawannya sesama perempuan juga merokok, jadilah itu seakan-akan sebagai pembenar bahwa perempuan yang merokok itu adalah perempuan nakal.

Tesa saya yang saat itu mulai saya yakini, ambruk saat saya pergi ke komunitas Islam di kota Bangkok Thailand. Saat itu pada malam hari selepas makan di dekat masjid saya memutuskan keluar restoran sendirian meninggalkan handai taulan yang saat itu masih menikmati makanan Thailand. Samar-samar, saya lihat cahaya lampu dari pedagang kaki lima di dekat masjid, seorang ibu setengah baya, ia memakai kerudung yang diikatkan ke belakang layaknya para ibu-ibu jaman dahulu di Indonesia mengikatkan kerudung ke belakang kepalanya. Ibu itu berjualan kacang rebus, sambil menunggui dagangannya kulihat di tangan kirinya terselip satu batang rokok yang sedang menyala.

Owh, ternyata ibu yang memakai kerudung itu merokok. Saat itu saya berpikir, ibu-ibu pakai kerudung, jualan di depan masjid, dia merokok dan orang-orang tidak masalah, termasuk para takmir dan imam masjid tidak mempermasalahkan, wow!.

Perjumpaan kedua dengan perempuan baik-baik yang merokok terjadi di Kanada saat saya mengambil short course di Coady Internasional Institute, saat itu ketika saya merokok di luar gedung dengan seorang kiai dari Kediri yang juga ikut short course itu tiba-tiba kedatangan kawan-kawan kami para perempuaan dari Nepal dan Bangladesh. Mereka berdua adalah tokoh di masyarakatnya, dan aneh bin ajaib, mereka duduk di samping kami dengan biasa saja dan menyulut rokok yang mereka bawa.

Karena kami berteman, akhirnya kami tanya-tanya bagaimana pandangan masyarakat di tempatmu tentang perempuan merokok. Mereka menjawab, biasa-biasa saja. Malah akhirnya kami sering berbagi rokok atau hanya sekedar korek (kami di Indonesia seringkali tidak punya korek dibanding tidak punya rokok).

Perjumpaan ketiga dengan wanita perokok adalah di Kuningan Jakarta saat saya itu di kelas IALF. Saat itu karena saya perokok saya sering keluar saat jam istirahat untuk sekedar makan dan merokok. Saya kaget, karena kawan-kawan saya merokok kali ini bukan para pria, tapi mbak-mbak cantik dengan pakaian rapi dan seksi di samping kiri dan kananku.

Mereka adalah wanita-wanita karir di Jakarta. Tak sedikit dari mereka yang ternyata punya posisi yang tinggi di kantornya. Tapi aat itu di Kuningan, para perempuan tadi tetap saja tak berani merokok di dekat masjid, beda dengan perempuan berkerudung yang saya temui di Bangkok.

Perjumpaan keempat di Lakemba, Sydney Australia, saat itu saya salat Idul Adha di Masjid Lakemba Sydney. Konon ini adalah masjid terbesar di Sydney. Para jamaahnya banyak dari Lebanon, Asia Tengah lainnya, dan Asia selatan.

Selesai salat, karena kami para lelaki harus menunggu ibu-ibu yang salatnya lama, kami pun berdiri di pojok jalan. Saat itu saya benar-benar terpana oleh wanita cantik berkerudung yang di jari manisnya kulihat sebatang rokok sedang menyala. Bukan terpana oleh rupa cantiknya karena hampir semua gadis Lebanon memang terkenal dengan kecantikannya. Tapi terpana oleh sebatang rokok yang dia hisab dengan santai selepas dia salat.

Sampailah saya pada kesimpulan besar, seharusnya memang masyarakat Islam memperlakukan lelaki perokok dan wanita perokok dalam posisi yang sama. Jika lelaki perokok dianggap oke-oke saja dalam jalinan relasi sosial maka begitupun juga perempuan, mereka tak boleh dipandang hina atau nakal hanya karena sekedr habitnya yang perokok.

Seingat saya dulu, jaman rokok masih belum terlalu populer, kakek dan nenek biasa berbagi tembakau. Mereka biasa nyirih dan saya pun beruntung bisa mencicipi sirih nenek yang bagi sata saat itu tidak enak sama sekali sehingga membuat nenek tertawa. Fine-fine saja. Lalu kenapa sekarang harus ada dikotomi bahwa rokok itu hanya hak prerogatif kaum lelaki. (*)

Ihsan Kamil Sahri, Staff Pengajar di STAI Al Fitrah Surabaya, kini studi di Australian National University, Australia.

Terkait

Opini Lainnya

SantriNews Network