70 Tahun Muslimat NU: Perempuan dan Kebangkitan Umat
Tertanggal 26 Maret 2016, puncak peringatan Harlah Muslimat Nahdlatul Ulama ke-70 resmi digelar. Ribuan ibu-ibu Muslimat dari berbagai penjuru daerah berbondong-bondong memenuhi Stadion Gajayana, Malang. Sebagai badan otonom Nahdlatul Ulama, Muslimat telah membuktikan diri dengan benar-benar hadir di tengah umat.
Dalam sejarahnya, posisi perempuan acapkali ditempatkan pada posisi kelas dua. Stigma negatif tak bisa dilepaskan begitu saja dari kaum perempuan. Istilah “˜konco wingking’ (teman belakang) juga sering digunakan untuk mencerminkan hal negatif dari perempuan.
Namun, kini harus diakui sikap menomorduakan kaum hawa berangsur mulai berubah. Nahdlatul Ulama sebagai organisasi keagamaan terbesar di Indonesia telah memberikan ruang kepada kaum perempuan. Melalui Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU), Fatayat, dan Muslimat membuktikan bahwa Nahdlatul Ulama, secara nyata, telah memberikan perhatian besar atas hak-hak perempuan.
Muslimat, walau dalam proses berdirinya diwarnai perdebatan alot, namun dalam kiprahnya Muslimat telah membuktikan bahwa berdirinya tidaklah mengecewakan. Muslimat hadir dengan serangkaian program kegiatan untuk turut membangun bangsa.
Hal ini pun diakui Presiden Joko Widodo. Pada puncak Harlah Muslimat NU, Sabtu, 26 Maret 2016, kemarin, Presiden Jokowi menyampaikan apresiasi kepada Muslimat. Presiden menilai, selama 70 tahun berdiri, Muslimat telah memainkan peran yang sangat besar bagi bangsa dan negara. Muslimat berperan mulai dari kegiatan sosial, pendidikan, kesehatan hingga penangkalan radikalisme. Tentu apa yang disampaikan oleh presiden bukanlah hal yang berlebihan.
Perempuan dalam Sejarah
Sejarah mencatat, baik dalam konteks keislaman maupun kenegaraan, perempuan telah memainkan peran penting. Terdapat tokoh-tokoh perempuan yang menjadi pemimpin, ulama, perawi hadis, dan peran lain yang tidak bisa dianggap sebelah mata.
Pada masa Nabi Muhammad, tercatat ada 1.232 perempuan yang menerima dan meriwayatkan hadis. Ummul Mukminin, Sayyidah Aisyah, bahkan tercatat sebagai bendaharawan hadis, dengan 2.210 hadis. Asy-Syifa’, seorang perempuan yang pernah ditunjuk Khalifah Umar sebagai manajer pasar di Madinah.
Tak berhenti di situ, Nusaibah binti Ka’ab tercatat dalam sejarah sebagai perempuan yang memanggul senjata melindungi Nabi Muhammad ketika perang uhud. Ada lagi Ar-Rabi’ binti Al-Mu’awwidz, Ummu Sinan, Ummu Sulaim, dan Ummu Athiyah yang beberapa kali ikut turun ke medan laga. Belum lagi Khadijah, istri pertama Rasulullah, seorang pebisnis sukses, yang berperan penting dalam kesuksesan dakwah Nabi Muhammad SAW (Siradj, 2012: 245).
Dalam bidang keilmuan bisa pula dihadirkan contoh manaqib Imam Syafi’i yang menyebutkan bahwa tokoh yang wafat pada 204 hijriah ini pernah berguru pada 16 ulama perempuan. Sementara kepemimpinan, di tanah Mesir pernah muncul Ratu Syajaratuddur, seorang penguasa putri dari Dinasti Mamalik. Di tanah Aceh Darussalam pula, sejumlah putri istana pernah menjadi raja atau sultan (Siradj, 2012: 248-250).
Selain yang telah disebut di atas, bagaimana peran kaum perempuan yang lain? Dalam kaitannya dengan sejarah Indonesia, selain kepemimpinan putri istana di Aceh Darussalam, Nyai Solichah Wahid Hasyim dan Ibunda Kiai Saifuddin Zuhri bisa menjadi contoh lainnya (Baso, 2015: 194-200).
Ada tiga peristiwa, yang paling tidak dapat mewakili bagaimana peran Nyai Solichah Wahid Hasyim. Pertama, Nyai Solichah Wahid Hasyim mengambil inisiatif untuk mengumpulkan tokoh-tokoh Nahdlatul Ulama, baik laki-laki atau perempuan, untuk menyikapi situasi genting pasca Gerakan 30 September 1965.
Kedua, ketika program Keluarga Berencana digulirkan pemerintah, Nyai Hj Solichah Wahid Hasyim turut menyosialisasikan dan melakukan pendekatan terhadap Nahdliyyin, guna turut andil dalam mengendalikan laju penduduk.
Ketiga, ketika terjadi konflik di internal Nahdlatul Ulama, kelompok Cipete dan kelompok Situbondo, Nyai Solichah tampil mendekati, menjembatani dan mengarahkan pertemuan diantara dua kelompok yang berkonflik.
Sementara Ibunda Kiai Saifuddin, ia berperan penting dalam penyelamatan salah satu ruh pergerakan, buku Mencapai Indonesia Merdeka, karya Soekarno. Saat itu, polisi kolonial Belanda terjun ke desa-desa yang disinyalir menjadi sarang aktifis nasionalis. Para polisi ini menggeledah rumah warga untuk mencari buku Soekarno tersebut, sebab isinya dianggap berbahaya. Ibunda Kiai Saifuddin, yang kala itu didatangi dua orang untuk diberi amanah mengamankan buku penting tersebut, tampil dengan menyimpan buku Soekarno itu dalam periuk nasi.
Hal yang tak terduga (baca: menyimpan buku dalam periuk nasi) akhirnya menyelamatkan buah pemikiran Soekarno. Langkah cerdas perempuan ini dapat menyelamatkan buku Mencapai Indonesia Merdeka, sehingga gagasan-gagasan sang proklamator (masih) dapat dikonsumsi publik.
Sekali lagi, dalam konteks sejarah, peran perempuan tidaklah mungkin diabaikan. Kini, di era modern dengan segenap derap langkahnya wanita bergerak, membangun, berkontribusi di wilayahnya masing-masing.
Pun bagi Muslimat. Program kegiatan yang dicanangkan harus senantiasa memberikan kemanfaatan. Dan deklarasi anti narkoba yang digelorakan pada puncak harlah ke 70 kemarin, telah menunjukkan hal itu. Muslimat bergandengan tangan dengan pemerintah untuk memeberantas narkoba; perusak generasi bangsa.
Di umur yang tak lagi muda ini, Muslimat harus konsisten berpihak kepada umat. Muslimat tidak boleh terombang-ambing oleh arus politik dan kesenangan sesaat. Hal ini penting, sebab tak lama lagi Pilkada serentak jilid dua akan digelar. Dalam hal ini, suara Muslimat pasti menjadi rebutan.
Muslimat harus menjadi panutan. Muslimat harus berperan aktif dalam dakwah keagamaan yang santun dan eksklusif. Mandiri dengan ekonomi kreatif. Cerdas dengan pendidikan yang inovatif. Perempuan-perempuan Nahdlatul Ulama tak boleh ragu untuk menjadi pelopor kebangkitan umat. Selamat Harlah, Muslimat NU! (*)
Robbah MA, Mahasiswa Filsafat Politik Islam, UIN Sunan Ampel. Koordinator Lembaga Pers IPNU UIN Sunan Ampel periode 2013-2014.