ISIS dan Khilafah: Tipu Umat Berkedok Agama
Perempuan dan anak-anak asal Indonesia pengikut ISIS, di kamp pengungsian di Al-Hol, Suriah Timur (santrinews.com/bbc)
Namanya Mariam Abdullah. Perempuan asal Bandung Jawa Barat ini memiliki empat orang anak, satu remaja putri yang masih polos bernama Nabila, dan tiga anak lainnya masih kecil-kecil.
Saat saya menulis ini, dia tengah berada di Kamp Al Hol, Provinsi Al Hasakeh, Suriah. Dia berada di sana, setelah keluar dari pertahanan terakhir ISIS di Baghouz, setelah berhasil dipojokkan pasukan Suriah dan milisi Kurdi.
Suaminya bernama Saifuddin, yang saat ini entah dimana, tidak diketahui keberadaannya. Masih hidup atau mati.
Di pengungsian yang berjarak 60-70 jam jalan kaki dari Baghouz itu, mereka bersama ribuan keluarga ISIS lainnya, berasal dari berbagai negara.
Di kamp yang hanya menampung 10 ribu orang itu, terdapat 60-70 ribu orang pengungsi. Di pengungsian yang melebihi kapasitas itu, sanitasi dan cuaca musim dingin pun menjadi ancaman. Penyakit hipotermia dan penyakit menular lainnya kini tengah menghantui.
Entah sejak kapan Mariam dan anak-anaknya, diajak sang kepala keluarga, Saifuddin berangkat ke Suriah, bergabung dengan ISIS. Entah apa janji ISIS kepada mereka, sehingga satu keluarga rela meninggalkan NKRI demi bergabung dengan ISIS.
Janji Manis Khilafah
Sejak mendeklarasikan diri, ISIS gencar menipu orang-orang yang sangat mencintai Islam tapi minim pengetahuan agama di berbagai negara, termasuk Indonesia.
Medio 2015, puluhan keluarga Indonesia berhasil dirayu untuk pindah menjadi warga negara ISIS.
Nurshadrina Khaira Dhania adalah salah satunya. Kecintaannya kepada agama berhasil ditipu, dimanipulasi ISIS. Saat berusia 16 tahun, dia mengenal ISIS dari pamannya, Imam Santoso. Dia pun mulai mengagumi ISIS dengan membaca berbagai propaganda manis tentang negara Islam dengan kepemimpinan Khilafah. Baginya saat itu, ISIS seperti wilayah yang mempraktekkan ajaran agama Islam yang sesungguhnya seperti di zaman Rasulullah SAW.
Dijanjikan hutang keluarga dilunasi, diberi uang tiap bulan, diberikan rumah gratis, pengobatan, sekolah dll gratis, dia pun berhasil meyakinkan keluarganya untuk berangkat ke Suriah melalui Turki.
Setibanya di sana, apa yang dijumpainya sangat berbeda dari janji-janji manis ISIS. Tidak ada praktek seperti di zaman Rasulullah SAW. Yang ditemui hanyalah asrama yang kotor, perkelahian, dan hal buruk lainnya. Dia pun dua kali terancam akan dinikahi militan ISIS, beruntung dia berhasil menolak. Hingga akhirnya, dia berhasil kabur dan kembali ke Indonesia di tahun 2017.
Cerita di atas adalah fakta bahwa banyak sekali janji-janji manis perubahan kehidupan dengan mengatasnamakan agama, padahal semuanya adalah palsu. Demi kepentingan nafsu serakah meraih kekuasaan, sentimen agama digunakan untuk menarik simpati dan dukungan.
Tapi, semua itu berujung pada penyesalan yang tiada akhir.
NKRI saat ini memang belum mencapai yang dicita-citakan pendiri bangsa ini. Semuanya, masih dalam tahap proses, penuh tantangan, dan perjuangan.
Tidak ada kata mudah dalam mencapai keadilan dan kemakmuran, jika ada yang bilang itu bisa dicapai dalam lima tahun, sudah pasti itu hanya propaganda dan janji kampanye yang tidak akan dia wujudkan setelah berkuasa. Apalagi jika tidak ada pengalaman kerja membangun bangsa ini dengan di masa lalunya atau bahasa kerennya tidak punya track record.
32 tahun dipimpin rezim diktator Orde Baru membuat Indonesia saat ini banyak tertinggal. Di tengah saat ini Indonesia mengejar revolusi 4.0, negara lain justru tengah mewujudkan 5.0.
Kita disibukkan dengan isu agama yang tidak berkesudahan. Negara lain sibuk dengan teknologi ke bulan, motor terbang, artificial intelegence, sementara kita masih sibuk meng-Kafir-kan orang lain dari bulan ke bulan.
Perubahan sebenarnya ada di depan mata, tetapi terkadang mata benci kita lebih terbuka dibanding mata batin (nurani) yang kita miliki. Segala yang baik dibenci, dicaci maki, hanya karena hasutan, fitnah, hoax, yang dilancarkan setiap pagi hingga pagi lagi.
Kita hanya butuh kerja keras untuk menuju kesejahteraan dan kemakmuran. Dan kerja keras itu bukan untuk membenci, tapi membangun.
Kini, Indonesia berada di persimpangan. Apakah kembali ke masa lalu, atau meloncat jauh ke masa depan. Jangan sampai nasib Indonesia seperti Mariam Abdullah, yang ditipu, dikibuli sedemikian rupa, sehingga dia harus memulai kehidupan dari awal lagi, yang belum tentu bisa ia mulai.
Untuk meloncat jauh, Indonesia butuh pemimpin yang bisa membaca masa depan, bukan yang ingin mengembalikan masa lalu. (*)