Agama untuk Manusia vs Manusia untuk Agama (1)

Berkali kali al-Qur’an menyatakan bahwa ia sebagai Hudan Li an-nas —petunjuk bagi manusia, Hudan lil muttaqien —petunjuk bagi manusia menuju takwa, Hudan li mukminin —petunjuk menjadi mukmin. Beberapa ayat ini jelas menegaskan bahwa al-Qur’an dan al-Kitab itu untuk manusia. Tegasnya untuk menunjukkan umat manusia agar menjadi muttaqin dan mukminin.

Muttaqin seringkali dimaknai orang yang bertakwa yaitu orang yang menjalankan seluruh perintah Allah dan menjahui seluruh larangan-Nya. Makna ini tidak salah, tapi mustahil, mana ada orang bisa menjahui seluruh larangan Allah dan melaksanakan seluruh perintah-Nya?. Bisa jadi pemaknaan seperti itu adalah makna basa-basi.

Taqwa berasala dari kata وقي – يقي – وقيا – و وقاية – yang berarti menjaga, melindungi, memperbaiki, menjauhi, mewaspadai, dan takut. Jadi takwa bermakna melindungi diri atau sesuatu dari hal yang bisa menyakiti dan membahayakannya. Setiap orang yang melindungi dirinya dari apapun yang membahayakannya baik di dunia ini maupun di kehidupan abadi nanti, disebut sebagai muttaqin.

Melindungi dan menjaga diri dari yang membahayakan haruslah dengan “cara” yang tepat. Jika yang cara yang digunakan tidak tepat maka bukan “ketaqwaan-keterjagaan” yang diperoleh, melainkan sebaliknya.

Baca juga: Pesan Kitab Alfiyah Ibnu Malik untuk Para Perusak Bumi

Jika ingin terlindungi dari kebodohan maka belajarlah. Jika ingin terlindungi dari kemiskinan maka bekerja dan berusahalah. Jika ingin penguasa yang adil, maka pilihlah pemimpin karena integritasnya, jika ingin punya anak biologis maka menikahlah. Jika ingin sembuh dan sehat, maka berobatlah dan menghindarlah dari penyakit dengan puasa misalnya, serta biasakan hidup bersih.

Menggunakan cara cara yang tepat untuk tujuan yang tepat inilah yang disebut takwa. Demikianlah petunjuk al-Qur’an.

Contoh cara yang tidak tepat, misalnya hanya “cara berdoa” untuk melindungi dari kebodohan, kemiskinan, kedhaliman, penyakit, dan segala macam masalah. Pokoknya segala macam masalah obatnya adalah doa. Jadi doa belum tentu tepat sebagai cara menyelesaikan segala masalah. Karena Allah telah menunjukkan cara-cara yang tepat untuk melindungi dan menjaga diri dari hal yang bisa membahayakan diri.

Kita sering menggunakan bahasa yang seakan akan religius, padahal bertentangan dengan panduan al-Qur’an. Misalnya kita serahkan semua kepada Allah, padahal ia belum melakukan apapun. Lha bagaiamana kita menyerahkan lagi kepada Allah sesuatu yang oleh Allah sudah diserahkan pada kita. Itu namanya melepaskan tanggung jawab.

Sebab itulah Allah “marah” kepada orang kafir ketika membawa-bawa “Kehendak Allah” pada tempat yang tidak tepat. Dalam surat Yasiin, Allah berfirman:

وَإِذَا قِیلَ لَهُمۡ أَنفِقُوا۟ مِمَّا رَزَقَكُمُ ٱللَّهُ قَالَ ٱلَّذِینَ كَفَرُوا۟ لِلَّذِینَ ءَامَنُوۤا۟ أَنُطۡعِمُ مَن لَّوۡ یَشَاۤءُ ٱللَّهُ أَطۡعَمَهُۥۤ إِنۡ أَنتُمۡ إِلَّا فِی ضَلَـٰلࣲ مُّبِینࣲ

Memberi makan orang miskin adalah tugas yang diberikan Allah kepada umat manusia. Jangan kembalikan lagi kepada Allah dengan mengatakan “apakah kami akan memberi makan orang yang jika Allah kehendaki pastilah ia dikasih makan?”. Allah menyebut sikap seperti ini itu sebagai kesesatan yang nyata, walaupun membawa-bawa “nama-kehendak Allah”. (*)

Situbondo, 28 April 2020

KH Imam Nakha’i, Dosen Fikih-Ushul Fikih di Ma’had Aly Salafiyah-Syafi’iyah Sukorejo, Situbondo.

Terkait

Opini Lainnya

SantriNews Network