Evolusi Spiritualitas Manusia (1): Melampaui Agama

Sering kita mendengar di kalangan “spiritualis” bahwa spiritualitas yang mereka pelajari telah melampaui agama-agama. Pandangan ini seolah menempatkan ajaran agama berada di bawah ajaran yang diyakini mereka.

Padahal alih-alih menunjukkan level yang tinggi, pandangan semacam ini justru menandakan rendahnya pemahaman mereka terhadap spiritualitas. Karena dengan gamblang mereka menunjukkan ketidaktahuan mereka tentang agama itu sendiri.

Kenapa hal ini begitu banyak dan mudah dialami masyarakat akhir-akhir ini? Kita akan mencoba mencermati fenomena ini dari berbagai sudut pandang dalam serial tulisan mengenai evolusi spiritualitas manusia.

Secara historis spiritualitas manusia itu hadir sebagai konsekwensi dari “ketergantungan” manusia pada alam. Di awal peradaban manusia yang sangat sederhana, alam begitu memanjakan manusia dengan menyediakan segala kebutuhan hidup mereka. Mulai dari rumah di goa, makanan di hutan yang bisa diambil dan diburu dengan cara yang sangat sederhana.

Pengalaman semacam ini memunculkan “refleksi” bahwa ada kekuatan besar yang mengatur alam dan kehidupan mereka. Alam adalah manifestasi dari kekuatan ghaib yang menentukan nasib manusia hari ini dan masa depan.

Manusia pada masa awal ini menyadari bahwa dirinya adalah “objek” semata. Mereka sekedar menjalani kehidupan dengan mengikuti “takdir” dari kekuatan ghaib yang mengatur alam. Karena itulah untuk menghindari “masalah” dengan alam, mereka melakukan ritual pengorbanan. Ritual pengorbanan ini merupakan ritual pertama yang menandai munculnya “peradaban” manusia.

Dalam narasi agama samawi khususnya Islam, ritual pertama Nabi Adam adalah ritual “pertaubatan”. Yaitu setelah Adam melanggar perintah Tuhan (untuk tidak mendekati buah khuldi) ketika masih di sorga. Pertaubatan nabi pertama ini diikuti dengan “mengorbankan” kehidupan abadinya di Sorga.

Apa yang dialami Adam adalah bentuk ritual “pengorbanan” paling besar dalam sejarah manusia sebagai makhluk spiritual. Pengorbanan sebagai bentuk pertaubatan inilah yang menjadi ekspresi spritualitas “awal” yang paling puritan.

Cerita kehidupan sorgawi yang begitu suci, penuh kenikmatan, dan abadi, telah ditinggalkan Adam yang harus menjalani hukuman “pengusiran”. Kini Adam hidup di dunia yang fana dan penuh “masalah” atau kesengsaraan.

Sejak saat itu manusia (Adam dan keturunannya), setiap kali menghadapi “masalah” yang tak terselesaikan (setelah menyentuh batas maksimal ikhtiar/kemampuan akal manusia), selalu dikembalikan kepada Sang Ghaib dengan cara melakukan ritual “pengorbanan”.

Hal ini pula yang dilakukan Nabi Adam yang “gagal” dalam mengatasi konflik Habil dan Qobil ketika mereka “berebut” pasangan hidupnya. Adam memerintahkan kedua anaknya itu untuk melakukan ritual pengorbanan kepada Allah (Tuhan yang dikenal secara instan oleh Adam ketika dia diciptakan dan dikenalkan dengan setiap nama-nama objek yang ada di alam sorga). Sehingga Allah-lah yang akan secara langsung “menyelesaikan” persoalan mereka. Meskipun “hasilnya” alih-alih “selesai”, justru konfliknya semakin dalam, sehingga memuncak menjadi aksi pembunuhan pertama dalam sejarah manusia. Inilah ironi kehidupan dunia.

Spiritualitas manusia dihadapkan pada tantangan pengendalian diri terhadap “egoisme” penguasaan objek lain di luar dirinya. Konsep Tuhan kemudian mengalami “pendangkalan” secara bertahap dan bahkan mulai tidak “dikenal” lagi ketika manusia lebih disibukkan dengan hidup mereka yang semakin kompleks.

Pengingkaran (kekafiran) inilah yang membuat Nabi Nuh berdoa agar dunia dibersihkan dari manusia kafir yang zalim. Sehingga muncul air bah yang konon menenggelamkan dunia dan seisinya, kecuali yang ikut dalam bahtera Nabi Nuh.

Setelah era Nabi Nuh, manusia hidup dalam ketergantungan pada alam yang penuh ketidakpastian dan resiko kecelakaan. Manusia mulai membangun kembali pengetahuan “agama” mereka dengan lebih komplek. Mereka tidak semata-mata melakukan ritual pengorbanan agar bisa selamat, tetapi mereka mulai membangun tempat ibadah khusus untuk melakukan pemujaan dan pengorbanan tersebut.

Awalnya manusia cukup melakukannya di alam bebas, entah di bawah pohon besar, si puncak atau kawah gunung, di aliran sungai besar atau pun di pantai lautan lepas. Manusia sudah mulai kembali mengkonsepsikan kembali “Tuhan” sebagai pemilik kekuatan ghaib yang mengatur alam semesta. Inilah tahap spiritualitas “baru” yang kemudian melahirkan mitos-mitos keagamaan yang seringkali “dianggap” tidak masuk akal. Terutama ketika “peradaban” manusia mulai memasuki tahap “modern”.

Berkembangnya mitos tentang dewa-dewa penguasa alam menjadikan ruang refleksi manusia semakin sempit dan terbatas pada alam “duniawi” atau material semata. Tuhan yang ketika di masa Adam dan Nabi Nuh belum dihadirkan secara “material”, mulai dibuatkan wadah materialnya berupa patung dewa-dewa yang sebenarnya merepresentasikan sifat-sifat Tuhan.

Pada masa inilah “penyimpangan” spiritualitas mulai terjadi. Sebab alih-alih patung-patung dewa itu dipahami sebagai bagian dari keutuhan “Tuhan”, justru dipahami sebagai tuhan itu sendiri. Inilah yang kemudian dikenal sebagai bentuk kesyirikan di era Nabi Ibrahim, dimana kemudian “dihancurkan” dan dikembalikan ke arah pemahaman atau spiritualitas “monoteis”.

Untuk menjaga spiritualitas monoteis tersebut, Nabi Ibrahim diminta membangun ulang “Ka’bah” yang konon menjadi tempat manusia pertama (Adam) melakukan ritual ibadah “pertaubatan” setelah diturunkan ke dunia.

Proses evolusi agama ini terus berulang di masa nabi-nabi berikutnya. Bahkan hingga saat ini bentuk-bentuk spiritualitas tersebut masih bertahan dengan ragam ekspresi yang berbeda. (*)

Tawangsari, 7 Oktober 2020

Muhammad Khodafi, Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya.

Terkait

Dirosah Lainnya

SantriNews Network