Evolusi Spiritualitas Manusia (3): Spirit Perlawanan Politik di Jawa
Ilustrasi perang Jawa
Di era kerajaan sebelum kolonial datang “demo” menentang kebijakan raja yang memberatkan rakyat sudah ada. Dalam catatan manuskrip kuno memang tidak disebutkan bahwa demo mereka dilakukan dengan cara pengerahan massa dengan diiringi teriakan dan caci maki.
Sebaliknya yang ada justru sebaliknya, mereka diam dan pergi keluar dari wilayah kerajaannya dan akan kembali jika sudah aman. Terkadang mereka datang ke lapangan untuk diam berjemur di bawah terik matahari. Berharap raja mengerti dan meluluhkan hati sehingga lahirlah nurani untuk memperbaiki kondisi. Meski tak jarang aksi ini justru melahirkan tragedi, jika sang Raja ternyata berhati besi dan hanya berpikir tentang keselamatan dan kesenangan pribadi. Bagaimanakah spirit dan ekspresi rakyat ketika “berdemo” di masa lalu?
Dalam kesadaran spiritualitas Jawa kuno (Nusantara), Raja adalah wakil rakyat, bukan wakil Tuhan. Karena itulah jika ketidakadilan melanda kehidupan di masyarakat bawah, segeralah sang Raja “dipaksa” memperbaiki dengan sangat mudah, tanpa menimbulkan guncangan politik yang berarti.
Nusantara pada itu hanya memiliki kerajaan-kerajaan kecil yang hidup damai berdampingan dan saling memenuhi kebutuhan. Kerajaan lokal Jawa tidak memiliki watak dan hasrat untuk melakukan invasi ke daerah lain secara militer. Karena bangsa asli Nusantara belum mengenal tradisi perang. Justru yang berkembang adalah tradisi ekonomi lewat pasar “barter” dengan sesama anak bangsa (antar kerajaan lokal) ataupun dengan bangsa-bangsa lain yang melakukan persaudagaran di pesisir Nusantara.
Nusantara adalah bangsa yang dimanjakan oleh Tuhan lewat alamnya yang sangat subur dan kaya sumber daya alam. Maka sedikit saja ada ketidakadilan yang dilakukan para raja sebagai wakil rakyat, mereka segera protes dengan diam tidak memberikan “apresiasi” sedikit pun pada raja. Meskipun awalnya mereka diam, tetapi ketika ada kesempatan rakyat segera bertindak di luar perkiraan nalar pihak kerajaan. Mereka melawan dengan cara melakukan “migrasi” ke wilayah yang tak terjangkau kekuasaan sang Raja, atau pindah ke wilayah kerajaan yang dianggap lebih adil.
Pada era Nusantara kuno, rakyat adalah aset utama kerajaan di samping budak (yang muncul setelah era kerajaan Hindu-Buddha). Jika rakyat bermigrasi bisa dipastikan kerajaan itu semakin lemah dan hilang dengan sendirinya. Namun jika sang Raja dikenal adil, rakyat akan memberikan kesetiaan mereka sepenuh hati tanpa syarat. Rakyat akan membangun kemakmuran mereka sendiri dan kerajaan. Kondisi ini berubah drastis ketika ajaran Hindu dan Buddha masuk dan mempengaruhi tatanan norma kerajaan.
Dalam kesadaran spiritual agama Hindu raja bukan lagi ditahbiskan sebagai wakil rakyat, tetapi sebagai wakil Tuhan. Norma ini kemudian berpengaruh dalam tradisi politik kerajaan di Nusantara. Kemudian terus berkembang dan dilanjutkan dengan legitimasi ajaran Islam ketika agama paling muda ini datang ke Nusantara.
Pada era inilah mulai munculnya watak invasi pada diri para penguasa kerajaan-kerajaan Nusantara. Namun demikian tradisi “migrasi” menghindari konflik kerajaan tetap berlanjut di kalangan rakyat. Kita bisa menemukan jejak kultural di hampir semua wilayah di Asia Tenggara akan fenomena ini. Salah satunya adalah lewat jejak budaya Panji (Vickers, 2009).
Berkembangnya ajaran Raja adalah wakil Tuhan, kemudian melahirkan wajah politik yang lebih invasif dan “kejam”. Akhirnya juga mulai merubah ekspresi rakyat dalam “melawan” ketidakadilan raja. Rakyat memang tetap melawan dengan diam. Tetapi diam dalam gerakan massa di alun-alun kerajaan dengan cara mepe/pepe (gerakan rakyat menjemurkan diri di bawah terik matahari) di hadapan sang raja.
Gerakan ini bukan tanpa resiko, seringkali justru rakyat harus mati di bawah titah raja dengan cara yang sadis. Tetapi rakyat menyadari sepenuhnya jika mereka melarikan diri atau migrasi ancaman mereka jauh lebih mengerikan lagi, yakni mereka akan dihabisi dengan seluruh anak keturunan mereka. Era inilah yang menandai lahirnya tradisi perang saling memusnahkan (Reid, 1988). Dimana menyebabkan hilangnya jejak kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha di Nusantara.
Bahkan Sriwijaya, Mataram (Hindu) dan Majapahit yang sangat terkenal pun tidak menyisakan banyak artefak, kecuali sebatas prasasti dan candi-candi tempat pemujaan yang berada di luar area kota kerajaan. Tradisi protes lewat “mepe” ini terus berlanjut ketika Islam datang dan masuk ke pusat kekuasaan di istana raja. Bahkan di era Sultan Agung juga sempat terjadi peristiwa tragis akibat protes rakyat.
Di era Hindu-Buddha dan Islam inilah mulai muncul pemberontakan bersenjata yang bukan diinisiasi oleh rakyat, tetapi oleh para pangeran dan pengawal serta pengikutnya yang setia. Jadi dalam sejarah Nusantara, tradisi “kudeta” sama sekali tidak pernah lahir dari perlawanan rakyat. Tetapi oleh para kesatria yang didukung prajurit setianya. Rakyat selalu dijadikan sebagai tameng dan tumbal atas kepentingan kaum elit. Kondisi ini terus terjadi sampai era kolonial Belanda.
Baru di akhir abad 19 dan awal abad 20, ketika kesadaran nasionalisme/berbangsa muncul, rakyat Indonesia mulai terlibat dalam revolusi kemerdekaan. Tetapi fenomena revolusi ini bukan sebuah “pemberontakan” terhadap pemerintahan yang sah secara kultural. Karena itu bisa dipahami jika semua elemen rakyat dan bangsa Indonesia terlibat di dalamnya.
Di era pasca kemerdekaan ketika partai politik mulai dikenalkan sebagai wadah penampung aspirasi rakyat, wajah “perlawanan” politik rakyat terhadap ketidakadilan semakin terpecah dan lebih merepresentasikan kepentingan kelompok politik mereka semata. Karena itulah di sepajang era Orde Lama tidak pernah muncul kestabilan politik, hingga puncaknya melahirkan tragedi paling mengerikan di dalam sejarah bangsa ini yakni peristiwa G 30 S.
Di era Orda Baaru yang represif dan militeristik, protes rakyat adalah tabu dan harus dimusnahkan. Maka rakyat semakin memendam kepedihan penderita dengan terpaksa diam. Diam bukan lagi menjadi pilihan mereka untuk protes, tetapi jadi sebuah keterpaksaan yang menyakitkan. Hingga akhirnya penderitaan itu “meledak” jadi aksi anarkhis di akhir era rezim Orba.
Memasuki era reformasi rakyat kembali dihadapkan pada kehadiran pertai politik yang sengaja ingin membajak misi reformasi. Hebatnya mereka berhasil dan rakyat kembali dihadapkan pada kekuatan oligarkhi yang menggurita di seluruh sektor kehidupan politik, budaya dan ekonomi. Protes rakyat pun berwajah “pelangi”, banyak kepentingan yang tersembunyi yang kadang tidak disadari oleh rakyat itu sendiri. Alih-alih mendatangkan kebaikan bagi nasib anak negeri, demo-demo tersebut sering ditunggangi kepentingan elit pejabat, aparat dan partai politik yang “berkolaborasi” dengan para cukong perampok kekayaan negri.
Pertanyaan berikutnya adalah kenapa setiap muncul protes rakyat di era pasca kemerdekaan hingga pasca reformasi sering diwarnai kericuhan? Jawabannya bukan karena rakyat tidak mau belajar dan memahami perkembangan zaman. Atau karena rakyat belum dewasa dalam berpolitik. Tetapi dikarenakan sejak zaman kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha sampai sekarang, rakyat belum pernah merasakan keadilan sejati sebagaimana yang pernah mereka rasakan di zaman “Ratu Boko”. (*)
Tawangsari, 9 Oktober 2020
Muhammad Khodafi, Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya.