Evolusi Spiritualitas Manusia (4): Homo Ludens dan Spiritualitas Rasa Syukur
Orang-orang Nusantara adalah pendukung budaya waktu senggang yang sangat kreatif. Clifford Geertz pernah menuliskan dalam salah satu karyanya berjudul “Negara Teater”. Yakni tentang masyarakat Bali yang kehidupan kesehariannya penuh dengan “spiritualitas alamiah” yang diekspresikan dalam beragam upacara “keagamaan”, mulai bangun pagi sampai menjelang tidur malam.
Orang Bali memang terkenal sangat “treatikal” dalam kesehariannya. Semua ini dalam kacamata Sosio-Antropologi tidak lepas dari pandangan masyarakat budaya setempat terhadap konsep waktu senggangnya. Sebuah ekspresi budaya yang bahkan tidak banyak dijumpai di benua Amerika dan Australia pada zamannya, atau bahkan ketika dunia sudah bergerak sedemikian modem di sana.
Di Eropa sendiri tradisi mengisi “waktu senggang” mereka dilakukan dengan menikmati hiburan berupa pementasan teater meskipun didominasi kalangan elit. Di masyarakat Jepang, China dan Korea tradisi ini muncul dalam kebiasaan ritual “kuliner” seperti minum teh yang ikonik.
Sementara di Nusantara tradisi memanfaatkan waktu luang ini selalu melibatkan semua lapisan masyarakat dan memiliki latar spiritual yang khas. Tradisi pementasan “kesenian” baik yang dilakukan di keraton atau di panggung rakyat selalu memiliki “kedekatan” dengan unsur keagamaan dan spiritualitas masyarakat.
Kondisi alam yang begitu subur dan kaya, menjadikan penduduk Nusantara banyak memiliki “waktu luang” dan menikmatinya dengan beragam ekspresi kebudayaan yang saling berkelindan antara sebuah permainan yang menghibur, ritual kegamaan dan juga semacam penandaan dan pendoktrinan nilai-nilai kebudayaan yang mereka jalankan selama ini. Mulai tradisi melantunkan tembang yang berisi ajaran spiritual, tarian yang sangat bernuansa mistis, pementasan wayang, dan juga aktivitas rakyat semacam “sabung binatang”, seperti adu ayam, kambing sampai kerapan sapi.
Semua aktivitas atau ritual tersebut merupakan konsekwensi dari banyaknya waktu luang yang ada di masyarakat Nusantara. Jadi sejak zaman dahulu nenek moyang kita hidup dalam kebiasaan-kebiasaan yang hanya bisa dilakukan oleh orang kaya zaman klasik hingga modern di Eropa.
Maka kita tidak perlu kaget jika sekarang kita dihadapkan pada bentuk-bentuk “kemalasan” yang dikemas dalam tradisi modern “hiburan di waktu senggang”. Bangsa kita yang sedang dihadapkan pada problem kemiskinan ternyata juga harus menghadapi nilai-nilai budaya “waktu senggang” yang sudah mendarah daging dalam tradisi kehidupan masyarakat Nusantara. Salah satu contohnya adalah kegiatan memancing sekarang ini. Kalau di Eropa kegiatan ini umumnya hanya dilakukan oleh orang-orang kaya. Di masyarakat kita hampir semua lapisan melakukannya.
Juga “ritual” bersepeda yang di beberapa negara seperti Belanda dan di China “bersepeda” adalah tradisi “kaum bawah” untuk menghemat biaya transportasi. Di sini malah menjadi semacam hiburan “rakyat” yang dilakukan oleh hampir semua lapisan masyarakat dari yang paling miskin sampai yang paling “elit”, disetiap waktu senggang mereka.
Latar sejarah dan kebudayaan masyarakat Nusantara yang dipenuhi dengan ekspresi “homo Ludens” (manusia yang suka bermain dalam memanfatkan waktu senggangnya), memang sangat erat terkait dengan kondisi alam kita yang sangat subur dan kaya. Sehingga tidak membutuhkan “kerja” yang terlalu keras untuk memenuhi kebutuhan dasar atau pokoknya.
Begitu banyaknya waktu senggang itulah yang menjadikan bangsa kita begitu kaya dengan beragam ekspresi budaya, baik yang bersifat material ataupun spiritual. Bahkan begitu kayanya kita, sampai-sampai setiap daerah memiliki ditail kebudayaan harian yang berbeda-beda, mulai dari bahasa, pakaian adat, rumah adat, perabotan, bentuk senjata, serta upacara-upacara atau ritual keagamaan yang unik dan spesifik di hampir semua daerah. Namun sayang, sekarang khazanah kebudayaan ini sudah mulai ditinggalkan dengan datangnya “modernisme” yang masuk bersama datangnya kolonialisme.
Hancurnya peradaban “spiritual” Nusantara memang terjadi begitu massif ketika kerajaan di Nusantara “berjatuhan” menghadapi “kekejaman” kolonialisme Portugis, Spanyol, Inggris dan Belanda. Meskipun dalam tradisi peperangan lokal ada kebiasaan “pemusnahan” mereka yang “kalah”, tetapi kebanyakan pemusnahan itu hanya menyentuh aspek material. Aspek budaya dan spiritual yang memiliki akar kesamaan tetap bisa bertahan dan masih bisa kita lihat, bahkan tetap kita jalankan hingga saat ini. Salah satunya adalah ritual “selamatan” yang hampir ada di semua tradisi masyarakat Indonesia. Walaupun dengan eskpresi simbolik yang sangat beragam. Tetapi substansi nilai spiritualitasnya hampir semuanya sama.
Kita masih bisa melihat tradisi pementasan wayang kulit, reog, tarian saman, tari Kecak, dan ekspresi kebudayaan lokal lainnya yang masih sangat banyak di masyarakat Nusantara.
Semua itu merupakan jejak kultural yang mengisahkan tentang peradaban bangsa Indonesia. Jejak yang juga menjadi tanda bahwa bangsa ini adalah bangsa yang berperadaban tinggi dan bahkan bisa dikatakan “sejajar” dengan peradaban-peradaban besar dunia lainnya, seperti peradaban Persia, China, Mesir dan Eropa. Sebuah peradaban yang lahir dari spiritualitas yang berkarakter alamiah atau natural. Lahir dari sebuah spririt rasa syukur terhadap Tuhan dan alam semesta yang telah menjamin kehidupan mereka selama ini dengan “sempurna”. Sebuah spririt yang bukan saja membuat manusia menjadi arif dan bijak dalam menjalani kehidupannya. Tetapi juga melahirkan konsep “spiritualitas” yang menyatu dengan alam dan Tuhan. Meskipun sekarang apirit ini mulai hilang dan digantikan dengan spirit “pembangunan” yang hakekatnya adalah “keserakahan” yang eksploitatif dan merusak.
Sudah saatnya kita kembali pada jati diri bangsa Nusantara yang dipenuhi nilai-nilai spiritualitas yang terbuka, menghargai dan menghormati alam, penuh dengan welas asih pada sesama penghuni semesta dunia.
Di saat dunia semakin terpuruk akibat ideologi developmentalisme dan modernism yang terus disembah dan diagungkan, kita seharusnya mulai “melawan” dengan menghidupkan kembali kearifan spiritualitas lokal agar bisa saling melengkapi dan menyempurnakan bentuk spiritualitas yang melampaui simbol agama ataupun ideologi yang sekarang sedang mendominasi kehidupan manusia di muka bumi ini. (*)
Tawangsari, 10 Oktober 2020
Muhammad Khodafi, Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya.