Santri: Ruang Sadar dan Ruang Rasa

Karakter santri adalah karakter salik salah satunya. Pejalan, mengarungi ragam proses kehidupan dengan menyandarkan diri kepada Allah.
Salik sendiri memiliki arti orang yang berjalan, orang yang mengarungi, orang yang melewati. Artinya ada sebuah konsekwensi yang dipilih sebelum ia menyadari konsekwensi tersebut.
Pendek kata, santri mencari ilmu lika-liku perjalanan mencari ilmu itulah yang disadari sejak awal. Tetapi dengan menyandarkan diri kepada Tuhan, orang tua dan guru. Hal ini tidak bisa dipisahkan. Santri memiliki ruang perenungan yang dituntut atau tidak pasti luas dan mendalam.
Santri akan menemukan relasi diri dengan apa yang ada di luar diri melalui tahapan permenungan yang mendalam kepada Tuhan.
Ada aspek-aspek dominasi yang disadari, ada aspek-aspek intuisi yang diyakini. Tentu hal ini keluar dari penyandaran dan kemauan yang kuat. Penyandaran itu sifatnya hablun minallah dan hormat orang tua pun guru. Sedang kemauan yang kuat adalah olah rasa dalam mangun cipta karsanya.
Maka wajar ketika santri tirakat dengan beragam cara; puasa, wirid, ngrowot, patigeni, samadi atau uzlah, dan lain sebagainya. Hal ini dilakukan semata untuk matur suwun kepada Tuhan dan melayani-Nya. Pun matursuwun kepada orang tua dan guru.
Dan sampai akhirnya santri berdikari dalam ragam pengetahuan. Ada dialog pengetahuan antara Islam dan sains. Mengabaikan sinisme ketika apa yang diutamakan adalah kemaslahatan. Kemaslahatan memiliki ruang yang lebih luas.
Santri dididik untuk saling menghargai perbedaan. Perbedaan sebagai anugerah dari Tuhan. Sehingga apa yang ada di sekitar santri bukan sesuatu yang seragam, melainkan beragam. Keberagaman dan keberagamaan menjadi suluk bagi santri. Suluk social, pun suluk intelektual.
Wali Sanga memiliki pesan yang sangat besar dalam tradisi salik ini. Santri adalah bagian dari pendidikan spiritual pun pendidikan inteletual. Santri memiliki keniscayaan berkembang secara manusia, dan berperadaban manusiawi. Keniscayaan ini bukan karena kebiasaan semata, tetapi juga peran guru dan orang tua. Doa dan supporting moril menjadi kiat membangun rasa. Cipta karsa sebagai ummatan wasathan.
Ketika Wali Sanga mampu berbaur dengan tradisi kultul yang ada, maka islam muncul dan lahir sebagai rahmatan lil ‘alamin. Jawa, Kalimantan, Sumatera, Nusantara dalam hal ini memiliki keberagaman kultur yang kaya. Maka akulturasi, pembauran antara Islam, baik sebagai agama ataupun nilai dengan kehidupan adalah sebuah keniscayaan.
Oleh karena itu, kita tidak bisa menghilangkan sejarah Wali Sanga dalam perkembangan pesantren, dalam hal ini santri. Santri menapaki tahapan-tahapan perkembangan dalam hidupnya melalui pendekatan penyerahan diri kepada Tuhan. Di samping pendampingan dari kiai dan orang tua.
Paling tidak, santri menjadi ruang untuk proses penapakan kehidupan dan pengembangan diri. Baik secara substansi pun epistimologi. Substansi santri sebagai salik pengembangan diri. Epistimologinya, santri sebagai salik menuju kepada Tuhan dan kemandirian hidup. Baik di dunia pun di akhirat kelak.
Hal inilah yang kemudian menjadikan santri siap dalam kondisi apapun. Santri mampu berdikari, mampu memahami dirinya. Santri mengenal lebih dalam apa yang seharusnya dilakukan dan apa yang dibutuhkan. Karena santri adalah salik, salik ilal Allah, wa saliku li intisari an nawaafi’.
Maka dari itu, selamat hari santri. Semoga santri semakin mandiri, mandiri hidup, mandiri laku dan mandiri suluknya. Selamat hari santri 2020.[]
Ahmad Dahri, santri di Pesantren Luhur Bait Al Hikmah Kepanjen, dan Pesantren Luhur Baitul Karim Gondanglegi, ia juga mahasiswa di STF Al Farabi Kepanjen Malang.