Evolusi Spiritualitas Manusia (2): Spiritualitas dan Rasionalisme

Kejumudan beragama yang telah “menstruktur” semakin menjadi beban manusia. Alih-alih semakin dekat dengan Tuhan, manusia justru dibuat semakin sulit “bertemu” Tuhan. Birokrasi agama yang dibuat oleh para pendeta atau ulama menjadi sarana pembentukan klas sosial baru bagi para pemuka agama sebagai kaum elit baru di samping para raja dan bangsawan.

Agama yang awalnya universal dikerdilkan menjadi sebatas alat politik bagi sekelompok elit penguasa yang berkolaborasi dengan elit agama. Pada puncaknya hal ini melahirkan proses reflektif yang melahirkan gerakan pemikiran yang lebih kritis dan rasional.

Berkembangnya nalar rasional inilah yang kemudian memunculkan kesadaran subjektif manusia dalam relasinya dengan alam. Alam pikiran manusia tidak lagi dalam “penguasaan” kekuatan ghaib alam. Tetapi sudah keluar dan berjarak dengan alam, meskipun tetap meyakini bahwa ada kekuatan “ghaib” yang menentukan “takdir” kehidupan mereka. Di fase inilah lahir spiritualitas baru dengan istilah “filsafat”. Konsep Tuhan mulai “dipertanyakan” keidealannya.

Pertanyaan-pertanyaan yang menggugat eksistensi Tuhan semakin berani dilontarkan. Bahkan dengan semakin rusaknya perilaku “para pendeta atau ulama” di abad “kegelapan”, juga muncul gugatan dimana peran Tuhan yang maha adil dalam realitas yang dipenuhi ketidakadilan?

Inilah awal lahirnya abad “pencerahan” yang dikemudian hari melahirkan beragam ilmu pengetahuan ilmiah. Munculnya kesadaran subjektif dengan semakin lebarnya jarak manusia dengan lingkungannya, memaksa manusia melahirkan argumen-argumen baru tentang hubungan mereka dengan kekuatan ghaib yang mengatur alam semesta. Mulai muncul dan terjadi penolakan terhadap mitos-mitos yang dibungkus dengan selimut kesucian agama.

Bukan hanya itu, relasi mereka dengan para tokoh agama yang “eksploitatif” juga mereka gugat. Proses ini terus berlanjut dengan gugatan terhadap sistem politik “monarkhi” yang menempatkan raja sebagai wakil Tuhan. Status raja yang memiliki previlage layaknya Dewa tersebut juga mulai dipertanyakan. Sebuah revolusi pemikiran yang menghadirkan gelombang spiritualitas yang lebih rasional telah hadir dan mengubah banyak sekali ekspresi keber-agama-an.

Di Eropa lahir “protestanism” yang lebih menghargai nilai-nilai rasional yang kemudian dikenal dengan “etika protestan”. Dimana Weber menilai “spirit protestan” inilah yang menjadi salah satu motor lahirnya modernisme di Eropa. “Jika kalian ingin sukses! Kalian harus belajar dan bekerja keras untuk meraihnya”. Doa dan kepasrahan yang dihadirkan dalam ritual keagamaan tidak cukup untuk meraih kesuksesan. Bahkan hal itu justru menjadi “penghambat” kemajuan. Tuhan tidak lagi dihadirkan tidak dalam simbol-simbol yang berupa mitos, gambar dan patung-patung yang misterius. Tetapi sudah dipahami dalam spirit substansi. Inilah yang kemudian melahirkan “substansialisme”.

Dorongan kesadaran subjektif ternyata tidak berhenti begitu saja di fase substantif. Proses refleksi terus berkembang, bahkan manusia mulai merasa lebih superior dibandingkan kekuatan-kekuatan ghaib yang “menguasai” alam. Pandangan bahwa manusialah yang sebenarnya “menguasai” alam, karena hakekatnya alam diciptakan atau tercipta untuk manusia. Inilah fase “modern”.

Jika pada fase rasional manusia masih beranggapan alam dan dirinya bersifat saling “melengkapi”, maka di fase modern ini jarak antara manusia dan alam semakin “jauh”, karena alam bukan lagi sebagai “subjek” yang menguasai manusia lagi. Tetapi sebaliknya manusia adalah satu-satunya “subjek” di semesta alam ini. Tuhan adalah sisa-sisa dari narasi mitos yang “membodohi” manusia.

Jika pada fase substantif Tuhan dihadirkan sebagai spirit “perjuangan” untuk mewujudkan peradaban yang lebih rasional, maka di era modern Tuhan mulai ditinggalkan dan bahkan hanya dijadikan sebagai bagian dari “cerita” pengantar tidur. Gereja-gereja semakin sepi dan bahkan mulai beralih fungsi. Para pendeta tidak lagi menjadi “profesi” yang menjanjikan dan diidamkan anak muda.

Agama dalam wajah “ritual simboliknya” mulai “hilang” dan berganti sebatas sebagai “wisata spiritual”. Sebatas sebagai tanda bahwa manusia dulu pernah hidup dalam kungkungan “mitos” yang tidak masuk akal. Spiritualitas manusia bergerak ke arah “materialisme”. Pusat-pusat hiburan dengan segala macam variasinya berkembang pesat untuk “melayani” elit baru para pemilik modal yang sedang menikmati waktu luang.

Manusia memasuki alam peradaban “fungsional”. Lahirnya ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi “mitos” yang diharapkan bisa menggantikan fungsi Tuhan untuk menjaga keseimbangan kehidupan manusia di alam ini. Kesejahteraan manusia kemudian diukur dengan seberapa banyak “materi” yang bisa mereka kuasai.

Alhasil manusia saling berkompetisi untuk saling menguasai demi meraih posisi yang tertinggi dalam strata sosial baru yang dibangun oleh masyarakat industri. Para pengusaha dan pemilik modal menjadi elit baru setara dengan para pejabat dan tokoh agama. Bahkan lebih dari itu para pemilik modal ini bisa “mengendalikan” para pejabat dan agamawan untuk menyelamatkan penguasaan mereka terhadap alam dan manusia lainnya. Segera saja muncul korporasi besar yang melahirkan (bangsa penjajah) yang sekarang bermetamorfosis menjadi para konglomerat yang menguasai hampir seluruh Sumber Daya Alam di dunia ini.

Posisi para “Agamawan”, yang dahulu sangat menentukan “nasib” orang banyak, semakin terpinggirkan. Bahkan sebatas menjadi “tukang stempel” untuk kepentingan pengusaha dan penguasa. Kaum buruh sebagai klas bawah baru yang hadir di era industri, menjadi kelompok paling rentan untuk dieksploitasi atau diperbudak oleh sistem kapitalisme industri yang tidak lagi mengenal Tuhan.

Puncak dari fase alam pemikiran fungsional inilah adalah lahirnya kesadaran untuk kembali ke alam. Hidup secara natural, saling menjaga dengan alam, mejadi semacam impian baru manusia yang sudah mulai jenuh dengan “materialisme”.

Manusia kembali merindukan Tuhan yang tak bisa dirasionalkan. Tuhan yang Abadi dimana alam yang ada ini tak akan cukup ditempati sebagai tahta-Nya. Tuhan yang Maha Adil dengan segala bentuk takdir-Nya. Tuhan yang senang bertahta pada hati manusia yang bersih dari segala prasangka buruk terhadap Diri-Nya, terhadap takdir yang Dia ekspresikan dalam setiap bentuk dan laku mahluk ciptaan-Nya. Inilah spiritualitas yang sedang dan akan terus berkembang di masa depan. (*)

Tawangsari, 8 Oktober 2020

Muhammad Khodafi, Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya.

Terkait

Dirosah Lainnya

SantriNews Network