Evolusi Spiritualitas Manusia (5): Matinya Spiritualitas Mistis

Salah satu sebab kemunduran peradaban manusia adalah hilangnya kesadaran spiritualitas “mistis” yang didasarkan pada “rasa syukur” terhadap Tuhan Pemilik alam semesta. Spiritualitas yang hadir sebagai sebuah konsekwensi dari kesadaran bahwa ada kekuatan ghaib yang menguasai alam dunia yang merupakan “habitat” manusia. Alam yang harus “dijaga” keseimbangannya karena telah dan akan terus memberikan sumber kehidupan bagi seluruh penghuninya.

Model spiritualitas ini mulai tergeser oleh model spiritualitas “ontologis” dan “fungsional” yang menempatkan alam sebatas sebagai objek yang bisa dieksplorasi dan dieksploitasi untuk memenuhi “keserakahan” nafsu manusia. Sebuah spiritualitas “semu” yang menempatkan Tuhan sebatas sebagai “pelayan “manusia modern, yang menganggap agama sebagai penghambat kemajuan.

Manusia adalah makhluk ruhaniah sekaligus jasmaniyah. Sebagai makhluk ruhaniah atau spiritual, manusia memiliki kesadaran perenial akan eksistensi Ketuhanan yang hadir secara instingtif. Dalam bahasa modern bisa dikatakan bahwa kesadaran spiritual ini merupakan “software” yang sudah ditanamkan Tuhan sebagai Pencipta manusia sejak manusia diciptakan untuk pertama kalinya. Software yang kemudian berfungsi sesuai dengan kebiasaan akal masing-masing manusia dan komunitas dimana manusia sebagai individu itu hidup. Karena itulah kemudian lahir beragam ekspresi pemikiran, sikap, tingkah laku yang berbeda antar individu dan atau lahirnya ragam ekspresi budaya antar masyarakat dan bangsa.

Dari sinilah muncul kategori besar perkembangan alam pemikiran manusia. Pertama, perkembangan alam pemikiran “individual” dari bayi atau anak-anak sampai tua dan meninggal. Kedua adalah alam pemikiran “kolektif” yang mendasari pengetahuan tentang norma bersama dalam kehidupan bermasyarakat. Kesadaran “personal” sebagai individu dan kesadaran “kolektif” sebagai anggota sebuah “komunitas” tidak selamanya selaras.

Kondisi inilah yang kemudian memunculkan konflik batin dan melahirkan sikap kritis manusia terhadap lingkungannya. Seringkali dorongan pemikiran “kritis” inilah yang melahirkan tokoh-tokoh spiritual besar seperti para Nabi dan Rasul, serta orang-orang suci lainnya. Atau para tokoh pemikir yang dikenal dengan “filosuf” serta ilmuwan.

Sebagai makhluk ruhaniah sekaligus jasmaniah, manusia dibekali “perangkat” akal yang fungsi idealnya adalah untuk menyeimbangkan dorongan kepentingan yang lahir dari spirit nafsu muthmainnah dan spirit nafsu lawwamah. Spirit nafsu mutmainnah adalah spirit yang lahir dari rasa tunduk kepada hukum Allah yang melahirkan sikap tawadhu hanya kepada Allah. Spirit yang muncul karena rasa cinta pada “subtansi” atau keabadian “sorgawi”.

Ekspresi ketundukan inilah yang melahirkan pemikiran, sikap dan perilaku yang tenang, bijaksana, menghargai orang dan mahluq Allah lainnya secara terukur. Perilakunya akan sangat sederhana dan jauh dari sikap serakah, serta tidak eksploitatif terhadap lingkungannya (baik dengan sesama manusia atau dengan mahluq penghuni alam dunia lainnya) dimana dia hidup.

Sebaliknya, spirit nafsu lawwamah lahir dari rasa takabur atau sombong karena merasa lebih baik dari mahluk lainnya. Spirit ini muncul akibat rasa cinta pada status “simbolik” yakni kenikmatan duniawi atau material yang “palsu” dan menipu. Sebagaimana sikap iblis yang merasa lebih baik dari Adam (manusia) yang ditetapkan oleh Allah sebagai “wakilnya” untuk “mengatur” kehidupan di dunia.

Ekspresi ketakaburan atau kesombongan inilah yang melahirkan pemikiran, sikap dan perilaku tergesa-gesa, serakah dan selalu ingin menang sendiri, sehingga tidak mampu menahan diri untuk tidak melakukan kerusakan di muka bumi. Spirit ini juga melahirkan sikap dan perilaku berlebihan serta eksploitatif terhadap siapa dan apapun yang ia temui. Apakah itu kepada sesama manusia ataupun sumberdaya alam lainnya.

Peradaban manusia di dunia memang di disain sebagai sebuah perjalanan panjang menuju “kerusakan” atau kiamat. Bahkan ini menjadi ajaran yang harus diyakini oleh semua penganut agama samawi. Maka menjadi sangat wajar jika perkembangan evolusi spiritualitas manusia bergerak dari spiritualitas “mistis” (yang menghargai keselarasan, keseimbangan, keakuran serta menjaga kelestarian alam), menuju spiritualitas “ontologis” dan “fungsional” yang eksploitatif dan merusak lingkungan alam. Spiritualitas yang hanya mengagungkan kecanggihan olah pikir “berfilsafat” dan keterampilan melahirkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang konon diharapkan bisa membantu manusia untuk bertahan hidup dengan lebih baik.

Namun alih-alih melahirkan “kelestarian alam” kehidupan yang serba “ilmiah” ini justru menggiring manusia pada jurang kehancuran. Bukan hanya lewat peperangan yang menggunakan senjata pemusnah massal, tetapi juga dengan kerusakan alam yang massif akibat pengaruh industrialisasi yang kapitalistik yang tak mengenal batas kepuasan duniawi. (*)

Tawangsari 11 Oktober 2020

Muhammad Khodafi, Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya

Terkait

Dirosah Lainnya

SantriNews Network