NU Melampaui Hubbul Wathan Minal Iman

Nahdlatul Ulama (NU) sudah menapaki usia 91 tahun. Telah banyak tinta emas yang ditulis dalam lembaran sejarah. Mulai dari menggerakkan bangsa untuk mencapai kemerdekaan, membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan hingga merawatnya hingga kini.
Dalam cerita Kiai Maimun Zubair, setiap mau memulai masuk madrasah, murid-murid NU menyanyikan lagu Syubbanul Wathan yang dikarang oleh Kiai Wahab Chasbullah.
Dalam nyanyian itu, terdapat bahasa hubbul wathan minal iman. Cinta tanah air sebagian dari Iman. Nyanyian ini menjadi bukti bahwa dari sejak dini anak-anak NU diajarkan mencintai NU dan Tanah Air sejak kecil.
Bagi saya, latihan sejak kecil untuk cinta tanah air telah menjadi salah satu bibit penting untuk tumbuh dan kuatnya cinta kader NU terhadap Indonesia.
Lahir-Batin untuk NKRI
Kecintaan itu telah teruji oleh sejarah. Saat Soekarno meminta Kiai Wahid Hasyim untuk bertanya kepada Kiai Hasyim Asy’ari tentang sosok yang cocok untuk menjadi presiden, dengan tegas, Kiai Hayim menyatakan yang cocok adalah Soekarno.
Dalam catatan Andree Fierlad, Soekarno adalah sosok yang mengidolakan Kamal At Tatturk dari Turki. Gagasannya kenegaraannya yang cenderung sekuler.
Saat mulai ada yang meragukan Soekarno sebagai presiden pertama Indonesia, sikap NU tegas. Menjadikan Soekarno sebagai walliyul amri addaruri bissyaukah. Presiden yang terligitimete di tengah situasi darurat. Bagi NU kala itu menjaga persatuan lebih utama. Daripada pikiran sempit merebut kekusaan yang sedang labil.
Saat Bung Hatta memberikan kebijakan terhadap tentara yang harus memiliki ijazah pendidikan formal, kala itu yang menjadi korbannya adalah warga NU. Tetapi NU tetap cinta NKRI. Tidak makar, apalagi ingin merebut kekuasaan.
Ketika PKI ingin merebut kedaulatan NKRI, NU berada di garis perang untuk mempertahankan NKRI. Masa itu, PMII dengan tegas juga menyuarakn sikap terhadap PKI.
NU sudah teruji sejarah. Walau di masa depan juga akan mendapatkan ujian yang lebih berat lagi. Dengan bentuk tantangan yang mirip dengan masa lalunya. Yakni – meminjam bahasanya Bogel – berupa fundamentalisme pasar dan fundamentalisme agama.
Nur Kholik Ridwan dalam bukunya, NU dan Tantangan Neoliberalisme, menarasikan bahwa neoliberlisme telah menyusup ke dalam tubuh NU. Ini tidak bisa dinafikan.
Fundamentalisme agama yang berwujud radikalisme agama juga sudah mulai masuk di NU. Madura yang dikenal sebagai basis dari “agama NU” ternyata menjadi salah satu penyumbang massa dalam beberapa aksi beberapa bulan ini.
Dari realitas itu, jika tantangannya berada di luar, NU selalu mampu menghadapinya. Tetapi saat sudah masuk ke dalam internal, akan tambah berat pekerjaan NU.
Kondisi kekinian juga menampilkan medan perang asimetris. Tak berbentuk. Tak berpola dan sulit bisa dikendalikan. Bisa jadi amalannya tetap NU, tetapi pemikirannya radikal. Bisa jadi organisasinya NU, tapi bangga dengan gerakan “organisasi sebelah”.
Kondisi ini harus disikapi oleh dua kerangka. Pertama, berupa kesadaran untuk melakukan tabayyun atau refleksi ke dalam diri bahwa NU telah dianggap gagal melakukan gerakan progresif. Kedua, berupa “organisasi sebelah” telah menjadi jawaban dari segala jawaban atas kegelisahan warga NU. Sehingga warga nahdiyyin lebih tertarik untuk ikut gerakan “organisasi sebelah”.
Tetap Jadi Penyeimbang
Sebagai kader PMII, saya hanya khawatir, nasib NU menyerupai Sarekat Islamnya (SI) Cokroaminoto. Dimana sudah menjadi organisasi kuat, tetapi keropos akhirnya. Apalagi saat sudah menjadi PSI. Dalam analisa Kuntowijoyo, mundurnya SI dikarenakan tokoh-tokohnya yang terlalu politis dan masuk ke partai politik.
Dinamika yang terjadi kekinian tersebut tetap menjadi perhatian PMII. Walau bagaimanapun, PMII lahir dari NU. Yang tujuan dibentuknya menurut Kiai Nuril Huda, salah seorang pendiri dan deklarator PMII, adalah dalam upaya untuk mencetak kader muda intelektual di NU. Sehingga melihat kondisi NU di era kekinian menjadi tanggung jawab kader PMII untuk juga memberikan solusi yang tepat guna.
Bahwa kondisi politik yang terjadi harus menempatkan NU sebagai penyeimbang. Bukan larut dalam konflik kepentingan. Baru baru ini, saat Kiai Ma’ruf Amin dicerca oleh Ahok dan pengacaranya, tokoh tokoh NU mulai tampil dengan agak emosional. Saya kira kurang tepat dalam kondisi politik.
NU bagi saya harus terus menjadi penyejuk dan penyelamat di NKRI. NU itu lebih besar daripada kasus di Jakarta. Kebesaran NU tidak bisa disempitkan oleh Pilkada di Jakarta.
PMII Pengawal NU
Menyongsong satu abad NU, maka bagi saya yang harus dimaksimalkan oleh NU adalah kaderisasi dan penguatan ideologisasi. Agar neoliberalisasi tidak menyusup ke internal. Agar nahdliyin tidak ikut ke organisasi radikal.
Tentang kederisasi dan ideologisasi yang berkaitan dengan nilai ke-NU-an, PMII di Jawa Timur telah memulai lebih dulu dan intens sepanjang berdirinya. PMII akan menyumbangkan kadernya yang ideologis ke tubuh NU.
Meski PMII tidak perlu berada di dalam garis struktural NU, tetapi kaderisasinya tetap kuat dan cinta terhadap nilai-nilai NU. Atas nama PKC PMII Jawa Timur, saya menyampaikan, Selamat atas usia 91 NU. PMII akan terus menjadi NU secara batin. Walau tanpa lahirnya. (*)
Zainuddin, Ketua Umum PKC PMII Jawa Timur 2016-2018.