Tragedi di Balik Makam
Makam tua sederhana di kota Nawa, Suriah, itu kini tiada. Sebuah pohon tua dan besar di makam itu tumbang bersama reruntuhan bangunan tak berkubah. Sekelompok orang menyerang makam Imam al-Nawawi, ulama terkemuka abad ke-13, itu dan menghancurkannya. Sebelum terjadi krisis politik di Suriah, saya sering mengunjungi makam itu. Sekadar membacakan doa dan membaca beberapa halaman karya penghuni makam. Komunitas santri menyebutnya tabbarrukan.
Rabu, 7 Januari 2015, di saat media lokal dan internasional heboh memberitakan penyerangan kantor Charlie Hebdo, sebuah majalah mingguan di Prancis yang pernah menerbitkan karikatur Nabi Muhammad bernada sinis dan melecehkan, sejumlah media di Timur Tengah melansir berita pengeboman makam bersejarah di Suriah bagian selatan itu, 45 kilometer sebelah barat daya Dar`a, kota yang dikuasai pasukan anti-rezim Assad.
Perusakan makam bersejarah para nabi, ulama, dan awliya (wali) di sebuah wilayah konflik di Timur-Tengah bukan kali ini saja terjadi. Tidak lama sebelum itu, makam Nabi Ayyub AS, di Desa Syaikh Said kota Dar`a, tidak jauh dari makam Nawawi, juga dihancurkan. Sebelumnya, pada 2013, sekelompok orang menggali makam salah seorang sahabat Nabi, Hajar Ibn Addiy, di Damaskus, dan memindahkannya ke tempat yang tidak diketahui. Di Mosul, Irak, yang dikuasai Islamic State (ISIS), mereka menghancurkan makam Nabi Yunus dan sejumlah makam awliya dan ulama, baik dari kalangan Sunni maupun Syiah.
Berkat letaknya yang dekat dengan tempat-tempat suci di Hijaz dan posisinya sebagai salah satu pusat dunia Islam, kawasan Timur Tengah, terutama Bilad al-Sham (Yordania, Lebanon, Palestina, serta Suriah) dan wilayah Irak memiliki ciri khas, yaitu banyaknya tokoh masa awal Islam yang dimakamkan di kawasan ini. Pada 1690 ulama tersohor, Abd al-Gani al-Nabulsi, melakukan perjalanan dari Damaskus ke Al-Khalil (Hebron). Selama 45 hari berjalan itu dia mengunjungi tidak kurang dari 128 makam wali atau nabi. Rata-rata satu makam setiap dua kilometer. Bilad al-Sham adalah tanah yang diberkati (QS. Al-Isra (17): 1), antara lain dengan keberadaan para nabi di wilayah itu dan Nabi Muhammad selalu mendoakan keberkahan untuknya (HR. Al-Bukhari).
Berbagai kejadian di atas menunjukkan bahwa konflik kemanusiaan, apa pun sebab dan latar belakangnya, termasuk yang bernuansa keagamaan, akan menghancurkan hasil-hasil pembangunan dan sejarah kemanusiaan. Penghancuran situs-situs keagamaan, termasuk makam para nabi, ulama, dan awliya, merupakan bentuk teror terhadap sejarah kemanusiaan yang tidak dapat dibenarkan oleh akal dan agama mana pun. Apalagi, bila tindakan tersebut dilakukan dengan mengatasnamakan agama, itu berarti telah mencoreng agama dan menampakkan diri sebagai umat beragama yang primitif dan barbarian, yang tidak menghargai warisan sejarah peradaban manusia.
Muhyiddin, Abu Zakaria, Yahya bin Syaraf al-Nawawi (631-676 H), nama lengkap Imam Nawawi, adalah seorang ulama yang berjasa besar kepada umat melalui karya-karya ilmiah yang masih abadi sampai saat ini. Di antaranya, kitab Riyadush Shalihin, al-Tibyan fi adab Hamalatil Qur’an, penjelasan (syarh) kitab Shahih Muslim, Rawdhatu al-Thalibin, dan masih banyak lainnya.
Ia juga dikenal sebagai salah seorang peletak dasar pengembangan mazhab Syafi’i, yang bersama Imam Rafi`i mendapat julukan al-Syaikhani dalam ilmu fikih. Popularitas dan reputasi ulama asal kota Nawa, Suriah ini tidak diragukan lagi. Banyak orang memberi nama anaknya dengan Nawawi, termasuk ulama besar Indonesia awal abad ke-20 yang cukup masyhur di negeri Hijaz, Syeikh Nawawi al-Bantaniy, dari Tanara, Banten.
Imam al-Nawawi dikenal bijak menyikapi persoalan umat dan sangat menekankan pentingnya menjaga persatuan, memelihara stabilitas negara, dan mencegah pertumpahan darah. Meski dikenal tegas dalam amar makruf nahi mungkar, ia pernah berfatwa, penguasa yang fasik dan zalim tidak boleh (haram) digulingkan, dijatuhkan atau diserang, tetapi harus dinasihati dan diingatkan.
Alasannya, menurut al-Nawawi, agar tidak timbul kekacauan (fitnah), pertumpahan darah, hubungan silaturahim yang terganggu, sehingga kerusakan yang ditimbulkan akibat upaya penggulingan melebihi kerusakan yang timbul bila ia dibiarkan berkuasa (Syarh Shahih Muslim, 12/229). Kini ia telah tiada. Sayang, makamnya menjadi korban konflik berkepanjangan dan kekacauan yang dikhawatirkannya terjadi karena upaya menggulingkan penguasa yang sah.
Beberapa sumber menyebut Jabhat (Front) Nushrah, sayap militer Al-Qaeda di Suriah, yang beraliran salafi-takfri-jihadis berada di balik perusakan makam Imam Nawawi. Terlepas dari siapa pelakunya, dengan mencermati fenomena yang sama di negara-negara lain, seperti di Irak, Mali, Mesir dan lainnya, tindakan perusakan makam dilatarbelakangi oleh paham keagamaan ekstrem yang beranggapan kuburan para wali dan ulama yang dikeramatkan menjadi sumber kemusyrikan. Di Mosul, misalnya, ISIS yang menyatakan bertanggung jawab atas penghancuran makam Nabi Yunus, menanggapi protes terhadapnya dengan mengatakan, mereka melakukan itu atas perintah Allah SWT.
Bahkan, sebanyak 23 orang yang memprotes tindakan tersebut, mendapat hukuman cambuk di muka umum, karena dianggap menentang perintah Allah untuk memurnikan akidah dan tidak mempersekutukan Allah dengan lainnya. Praktek ziarah kubur dicurigai sebagai jalan menuju syirik dan bidah tercela yang menjurus kepada kesesatan. Pelakunya dicap sebagai quburiyyun (penyembah kuburan) yang musyrik. Karena itu, beberapa masjid yang di dalamnya terdapat makam para ulama dan awliya di Irak menjadi target serangan kelompok ekstrem-radikal.
Ziarah kubur, terutama makam orang-orang saleh, adalah tradisi berakar panjang dalam sejarah perkembangan Islam, bahkan dalam tradisi agama-agama sebelumnya. Perdebatan tentang tradisi ini pun bergaung jauh dalam sejarah, mulai dari Ibn al-Jauzi dan Ibn Taymiyah (abad ke 12-13), sampai dengan Muhammad Ibn Abd Wahhab dan Rasyid Ridha (abad ke-19-20). Fenomena ini bukan saja soal ibadah dan perilaku agama, melainkan juga berkaitan erat dengan aspek sosial, ekonomi, dan politik. Tradisi ini berangkat dari keyakinan sebagian muslim bahwa kehidupan orang-orang saleh (para anbiya, awliya, dan ulama) dan segala yang berkaitan dengan mereka memiliki keberkahan, sehingga mereka ber- tabarruk (mengharap berkah) dengan menziarahinya.
Sejarawan Al-Khatib al-Bagdadi, dalam Tarikh Bagdad menceritakan kebiasaan Imam Syafi`i yang selalu berziarah ke makam Abu Hanifah. Ketika berada di Irak, setiap hari ia selalu mendatanginya. Jika ada suatu masalah ia melakukan salat dua rakaat lalu mendatangi makam Abu Hanifah dan berdoa kepada Allah di sisi makam. Setelah itu, ia merasa semua keinginannya terkabul. Kebiasaan membawa kitab karya Imam Nawawi setiap kali berziarah ke makamnya dan membacanya sepanjang perjalanan dan saat berada di makam memberikan kesan mendalam pada diri saya. Ungkapan penulis dalam karya yang saya baca terus teringat dalam benak dan pikiran.
Tabarruk, baik kepada segala sesuatu yang berhubungan dengan Nabi maupun orang-orang saleh, tidak berarti mengultuskan mereka atau berbuat syirik dengan meminta sesuatu kepada orang yang sudah meninggal dunia dan benda-benda tersebut. Tidak seorang pun ulama membolehkan itu, sebab manfaat dan mudarat itu hanya Allah SWT yang kuasa menentukannya.
Konsep berkah dan tabarruk merupakan bagian ajaran Islam yang landasannya kuat dalam Al-Quran dan sunnah, bahkan perilaku para ulama Islam, mulai dari masa Sahabat sampai saat ini. Prakteknya, konsep ini ada yang memahaminya secara berlebihan (ekstrem) sehingga terjadi penyimpangan dengan meminta sesuatu kepada yang dianggap memiliki keberkahan, dan ada pula yang terlalu ketat sehingga menutup rapat segala celah yang memungkinkan terjadinya penyimpangan dalam bentuk perbuatan bidah dan syirik. Dengan dalih menjaga akidah umat Islam agar tidak terjerumus pada perbuatan bidah dan syirik, berbagai situs sejarah, termasuk yang terkait dengan Rasulullah dan para sahabatnya, dihancurkan.
Sikap arif dan moderat diperlukan, yaitu dengan tetap menjaga dan melestarikan situs-situs peninggalan para nabi dan orang-orang saleh yang telah menorehkan sejarah emas di masa lalu, sebab itu bagian identitas dan sejarah umat. Pada saat yang sama dilakukan edukasi kepada masyarakat untuk ber- tabarruk secara benar berdasarkan tuntunan Al-Quran dan sunnah. Perbedaan pandangan keagamaan hendaknya tetap diberi ruang agar tercipta keharmonisan dan kedamaian.
Tindakan memberantas kemungkaran tidak boleh melahirkan kemungkaran yang lebih besar. Memberantas tikus di lumbung padi tentu tidak dengan menghancurkan lumbung tersebut. Bila itu terjadi, kita akan kehilangan semuanya. Situs keagamaan, termasuk pusara para nabi dan tokoh ulama adalah bagian sejarah kemanusiaan yang harus lestari sebagai simbol spiritualitas di tengah hegemoni materi. (*)
Muchlis M Hanafi, Dewan Pakar Pusat Studi Al-Qur`an (PSQ) Jakarta, PhD dari Universitas Al-Azhar Kairo.
**Tulisan ini dimuat dan dikutip dari Majalah GATRA, edisi 21 Januari 2015.