Agama untuk Manusia (2)

Al-Qur’an bukan hanya mengantarkan kepada setiap orang untuk mampu menjaga dan memperisai dirinya dengan cara yg tepat dan tujuan yang tepat (muttaqin), melainkan juga mengantarkannya menjadi mukminin.

Al-Qur’an tidak hanya menunjukkan arah (irsyad), tetapi mengantarkan hingga sampai ke tempat tujuan (taqwa dan iman), dengan bukan hanya memperbaiki prilaku melainkan juga memperbaiki nalar pikirnya.

Itulah rahasia Allah mengapa menggunakan kata “hudan-hidayah” (Hudan lil muttaqin, hudan lil mukminin), bahkan dalam surat sakti yang tanpanya shalat tidak sah, yaitu surat al Fatihah, ihdina ash-shirath al mustaqim, yang berarti “antarkanlah kami hingga sampai ke jalan yang lurus itu”.

Dalam kitab al-Furuq al-Lughawiyyah karya Abu Hilal al-Askari, dibedakan antara “al huda” dan “al irsyad” yang dalam bahasa Indonesia sama-sama diartikan “petunjuk”.

Pertama: al-rusydu adalah kebalikan al-ghayyu. Ar-Rusydu adalah keajegan dalam prilaku (istiqamah fil amal), dan al-ghayyu adalah sesat prilaku, sedang al-huda adalah kebalikan ad-dhalal. Al-huda ajeg dalam pikiran-pengetahuan dan ad-dhalal adalah sesat pikir dan pengetahuan.

Kedua: Al-Irsyad bermakna menunjukkan jalan, sedang al-huda atau al-hidayah adalah menujukkan hingga sampai tujuan.

Jadi ketika membaca ayat ihdinash shirathal mustaqim, maka banyangkan makna dimana Allah mengantarkan kita hingga sampai pada jalan yang lurus (lurus tindakan dan lurus pikiran).

Dalam Tafsir Al-Jalalain (bukan tafsir jalan lain) dikatakan bahwa kata hudan lil muttaqin dan hudan lil mukminin adalah lafad majaz (metaforis), maksudnya mengantar manusia yang belum takwa dan iman menuju takwa dan mukmin. Karena orang yang telah muttaqin dan mukminin tidak lagi perlu hidayah, sebab ia telah sampai puncak tujuannya.

Siapa mukminin? Kata mukmin berasal dari kata أأمن ikut wazan أفعل yang antara lain bermakna “mengamankan, mempercayai”. Isim fail-nya “mukmin” yang berarti orang yang mengamankan-mempercayai”. Mukmin adalah orang yang beriman yang dengan iman-nya itu ia menciptakan rasa aman pada lingkungannya. Tidaklah sempurna iman seseorang sehingga ia mencintai saudaranya seperti ia mencintai dirinya sendiri, begitulah salah satu sabda Rasulullah.

Kata mukmin senada dengan kata muhsin (orang yang berbuat baik), mushlih (orang yang memperbaiki-mendamaikan), muslim (orang yang menyelamatkan), yang semuanya menggunakan wazan أفعل yang bermakna bahwa prilakunya harus juga dinikmati dan menular kepada orang lain.

Muslim lebih penting dari salim, muslih lebih penting dari shalih, muhsin lebih penting dari hasan, mukmin lebih penting dari amin. Salim orang yang hanya dirinya yang selamat, sementara muslim adalah orang yang bisa menyelamatkan orang lain. Begitu seterusnya. Semoga kita menjadi “mukminin, muslimin, mushlihin, muhsinin” kepada orang lain, lingkungan, dan dunia. Amin!. (*)

Situbondo, 28 April 2020

KH Imam Nakha’i, Dosen Fikih-Ushul Fikih di Ma’had Aly Salafiyah-Syafi’iyah Sukorejo, Situbondo.

Terkait

Opini Lainnya

SantriNews Network