Manusia, Antara Khalifah dan Hamba

Disadari atau tidak manusia memiliki kecenderungan-kecenderungan substansial. Kecenderungan intelektual, pengetahuan dan keluhuran berpikir, kecenderungan egois, prinsipil dan kepentingan personal, kecenderungan menarik diri dari keramaian kehidupan sosial, dan kecenderungan mengendapkan diri dari berbagai hiruk pikuk keduniawian.
Dalam konteks jawa bisa dikenal dengan sedulur papat limo pancer. Dari pancer “aku” kepada jasad bersifat lawwamah dan ammarah, sedangkan dari pancer “aku” kepada batiniah-uluhiah bersifat muthma’innah dan sufiah.
Pertanyaannya adalah, bagaimana semua itu bisa disadari oleh kita? Khususnya saya. Menukil dari apa yang disampaikan oleh Ibnu Atthailah Al Askandary bahwa “Terkadang manusia cenderung berlarut-larut dalam keadaan susah, atau ketika apa yang terjadi tidak sesuai dengan apa yang diharapkan.”
Dengan kata lain manusia cenderung merasa menjadi hamba ketika berderet-deret kesusahannya, dan akan melupakan kondisi kehambaannya ketika sedang bahagia.
Menumbuhkan kesadaran dari hati adalah keniscayaan. Di mana manusia memiliki sikap untuk mengendalikan diri. Dengan pengetahuan pastinya. Jika hewan saja mampu membedakan berbagai makanan, menikmati sebagian dan tidak berharap lainnya, maka manusia makhluk yang paling mulia ini niscaya juga bisa. (Aristoteles, Kitab Suci Etika).
Tuhan menciptakan manusia di antara malaikat dan setan. Sebagai khalifah di muka bumi manunias memiliki pertentangan kutub positif dan kutub negatif. Dirangkum dalam QS: 02: 30-32, ketika Tuhan berfirman kepada malaikat untuk menciptakan khalifah di muka bumi, kemudian malaikat menjawab dengan ketakutan-ketakutan akan kerusakan yang akan dilakukan oleh manusia dan Tuhan menjawab “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”
Adam dan manusia dibekali dengan berbagai kecerdasan atau potensi yang luar biasa oleh Tuhan. Dan ketika manusia menghamba kepada Tuhan, dengan kesadaran dari berbagai pengetahuannya maka manusia memiliki gelar manusia purna, atau Insan Kamil.
Manusia memiliki dua predikat sekaligus, sebagai khalifah, pun sebagai hamba. Ruang dan kondisinya pun berbeda. Namun di sisi lain memiliki keterkaitan yang sama. Ia memiliki sikap untuk memutuskan apa yang berada di luar dirinya, pun di dalam dirinya.
Sebagai khalifah manusia memiliki tugas yang tegas. Pemimpin adalah tanggung jawab yang diemban manusia. Sebagai pemimpin ia memiliki ruang untuk memutuskan segala persoalan. Baik yang bersifat personal maupun khalayak luas. Pertanyaan sederhananya adalah untuk apa Tuhan menciptakan manusia sebagai khalifah di bumi? Di satu sisi manusia memiliki kewajiban untuk bertakwa dan berbudi luhur, yakni sebagai hamba.
Khalifah sering dikaitkan dengan konteks pengganti atau wakil. Pegelolaan menjadi substansi dari kata khalifah. Di mana manusia menempati wilayah pengelolaan atas tempat yang dipijaki dan atas diri atau jiwa yang berada dalam tubuh manusia itu sendiri. Jika tempat yang dipijaki saja memiliki dimensi yang amat luas, begitu juga dengan tubuh dan jiwa.
Jika boleh saya simpulkan maka manusia memiliki kewenangan atas dirinya sendiri tetapi terikat oleh kekuatan yang amat luar biasa besar di luar dirinya sendiri. Innallaha fi dzanni abdi bi, bahwa Tuhan melingkupi atas apa yang menjadi prasangka atau kemauan hamba-Nya. Tetapi di satu sisi manusia dituntut untuk mengabdikan diri kepada Tuhan dengan tanpa memalingkan hatinya kepada selain Tuhan.
Sangkan paraning dumadi, adalah satu epistimologi bahwa manusia memiliki tujuan akhir. Manusia memiliki batas atas dirinya sendiri, pun atas dimensi di luar dirinya. Wama khalaqtu al jinna wa al insan illa liya’buduun. Manusia diciptakan hanya untuk menghamba kepada Tuhan. Mengabdikan diri kepada-Nya. Sepenuh hatinya. Lantas bagaimana dengan khalifah fi al ard, pemimpin di muka bumi?.
Dikatakan bahwa jiwa kita melayani Tuhan sepenuhnya. “Meskipun hati kita pernah melayani Tuhan, tetapi kita masih mengharapkan penghargaan resmi. Karena bentuk luar (tubuh) terpisah dari isi (hati)” (Aforisme-aforisme Jalalluddin Rumi: 56) bisa jadi apa yang diungkapkan di atas adalah interpretasi dari Qs:07:172 di mana kata Tuhan Alastu birabbikum? Qaaluu balaa syahidnaa! Dan bukankah Aku Tuhanmu? Kemudian roh atau jiwa itu berkata “Ya kami bersaksi bahwa Engkau adalah Tuhan kami.”
Lantas di manakah posisi manusia sebagai Khalifah? Atau sebagai hamba? Hal inilah yang menjadi bagian pembelajaran bagi saya khususnya bahwa memahami diri kemudian mengenali diri agar tahu diri, istilah jawa mengatakan ndeleh awak.
Jika manusia kerap memalingkan diri dari Tuhan, maka menjadi PR yang sangat berarti bagi setiap manusia untuk tidak memalingkan diri dari Tuhan. Konteks nikmat atau kebahagiaan misalnya. Hal yang sulit untuk diungkapkan dengan beragam logika atau akal adalah salah satunya nikmat dan kebahagiaan. Maka, jika mensyukuri nikmat akan ditambah nikmatnya dan jika memalingkan nikmat itu maka sebaliknya.
Kalimat Khalifah sendiri dalam al Quran beriringan dengan kalimat-kalimat peringatan. Di dalam Qs: 02: 30, Qs: 06: 165, Qs: 10: 73, Qs: 27: 62, Qs: 35: 39, Qs: 38: 26, Qs: 07: 69,74,129. Di mana kesemuanya beriringan dengan kalimat agar tidak menjadi kafir, agar tidak melupakan Tuhan, bahwa Dia yang menjadikannya khalifah, agar tidak membuat kerusakan di muka bumi, dan lain sebagainya.
Sedangkan porsi hamba memiliki kedekatan dengan hamba sebagai budak di masa sebelum Islam, dan sebagai hamba yang mengabdikan diri kepada Tuhan. Dengan kata lain manusia sebagai khalifah pun memiliki tujuan mengabdi kepada Tuhan.
Pertanyaannya adalah kapan manusia memposisikan diri sebagai khalifah dan kapan sebagai hamba? Atau keduanya adalah kesatuan proses untuk mengabdi kepada Tuhan? Menempatkan diri pada porsi khalifah, sepatutnya menjadi proses tarik ulur untuk berintrospeksi diri. Hal ini yang menjadi pelajaran penting bagi kita yaitu mawas diri.
Ujaran jawa mengatakan “Isovo rumongso ojo rumongso iso!” Maka pandai-pandailah untuk mawas diri bukan merasa sudah bisa. Semoga hal ini selalu menjadi pengingat bagi kita, khususnya saya.
Maka khalifah adalah ruang dan waktu untuk mengendalikan diri, mengenali dan memahami diri, sedangkan hamba adalah proses untuk menuju kepada Tuhan, sangkan paraning dumadi, proses untuk menyadari bahwa Tuhan membawa manusia dari ketiadaan menjadi makhluk yang berada, dari makhluk menjadi sekumpulan mineral, dari mineral menjadi serumpun binatang, dari serumpun binatang menjadi segudang kemanusiaan, dan dari kemanusiaan menjadi ejawantah sikap kemalaikatan.
“Karena manusia memiliki pembimbing untuk setiap usaha kerasnya. Tidak ada satupun yang mampu diusahakan sampai luka – kerinduan dan cinta pada satu hal – dibangunkan dalam diri manusia. Tanpa luka dan rasa sakit, usaha seseorang tidak akan menjadi mudah.”(Aforisme Jalaluddin Rumi: 57)
Semoga tulisan ini senantiasa menjadi pengingat bagi kita, saya, agar menyadari porsi kita sebagai manusia, khalifah dan hamba. Dengan tujuan untuk selalu mawas diri. (*)
Ahmad Dahri, santri di Pesantren Luhur Bait Al Hikmah Kepanjen, dan Pesantren Luhur Baitul Karim Gondanglegi, ia juga mahasiswa di STF Al Farabi Kepanjen Malang. Beberapa buku karyanya sudah diterbitkan. Diantaranya “Multikulturalisme Kontekstual Gus Dur”, “Dialektika Pesantren”, “Kumpus Orang-Orang Pagi”, dan “Monolog Hitamkah Putih Itu”.
__________
Bagi sahabat-sahabat penulis yang ingin berkontribusi karya tulis baik berupa opini, esai, resensi buku, puisi, cerpen, serta profil tokoh, lembaga pesantren dan madrasah, dapat dikirim langsung via email ke: redaksi@santrinews.com. Terima kasih.