Ilmu, Mazhab, Ideologi, Pancasila, dan Khilafah

Ilustrasi muslimah khilafah
Mazhab itu kira-kira bisa dipersamakan dengan ideologi, meskipun tidak persis sama. Karena dalam bahasa Inggris dan bahasa Arab antara mazhab dan ideologi adalah istilah yang berbeda. Tapi, izinkan saya menjelaskan secara runtut dulu dimana letak persamannya.
Untuk memahami mengapa ada mazhab, saya harus mulai dari apa itu ilmu. Seperti kita mafhum bersama bahwa genus ilmu adalah pengetahuan plus sistematis dan metodologis sebagai differensia. Adapun pengetahuan adalah penyatuan (unity/ittihad) mental antara subjek (yang tahu) dengan objek (yang ditahui).
Pengertian ini membawa kita pada suatu keniscayaan bahwa ilmu, yang merupakan bagian dari pengetahuan, bisa dilihat dari dua aspek sekaligus, subjek dan objek.
Dari sudut subjek, tabiat ilmu itu bervariasi, beragam, dan tidak tunggal. Karena, setiap kepala pasti memiliki persepsi berbeda terhadap suatu objek yang sama sekalipun. Ini juga sama dengan mengatakan bahwa mustahil ada kebenaran tunggal dalam ilmu.
Dan dari sudut objek, tidak pernah ada kata final dalam ilmu, selalu dinamis, bergerak dalam dialektika antara tesis, antitesis, sintesis, kemudian menjadi tesis lagi. Ini artinya, bahwa sejauh menyangkut ilmu, tidak pernah ada kata final. Muncul tenggelam dalam iklim kritik dan otokritik.
Menyatakan bahwa ilmu ini atau ilmu itu sudah final dan mengklaim bahwa ilmu ini paling benar dan sempurna, tidak bisa dikritik lagi, adalah sama saja mengeluarkan ilmu dari tabiat dan karakternya yang alamiah. Klaim semacam ini menjadikan pihak si pengklaim sebagai anti ilmu pengetahuan. Kenapa? Karena sejatinya watak ilmu itu memang bervariasi dan tidak pernah final.
Memaksa ilmu itu sebagai suatu yang tunggal dan final, berarti telah membunuh dan menguburkan ilmu pengetahuan. Dan ketika ilmu telah menemui ajal, menjadi mayat, lalu dikuburkan pada saat itulah ilmu menjelma menjadi ideologi. Jadi ideologi sesungguhnya adalah ilmu yang kehilangan daya dinamis, dan daya tumbuhnya yang alami. Menjadi anti kritik, menjadi haram diteliti kembali. Itulah ideologi.
Ketika dikaitkan dengan mazhab, mazhab Syafi’iyah misalnya, mungkin imam Syafi’i tidak pernah berniat mendirikan mazhab seperti kita lihat saat ini. Imam Syafi’i adalah seorang pemikir, seorang intelektual yang terbiasa menerima perbedaan. Bahkan dengan beberapa gurunya pun beliau berani berbeda. Kata-kata yang masyhur disampaikan oleh beliau adalah “Mazhab saya benar, tapi tidak menutup kemungkinan salah. Sebaliknya, mazhab selain saya salah, meski terbuka kemungkinan untuk benar”.
Lalu bagaimana pemikiran ilmiah imam Syafi’i yang terbuka menjadi mazhab atau kira-kira menjadi ideologi yang tertutup?
Kita bisa melacak dari sejarah tasyri’ dan perkembangan fikih awal dalam kaitannya dengan kekuasaan. Sebab, kekuasaanlah yang kerap mematenkan pemikiran ilmiah seseorang untuk kepentingan politik atau apapun. Pemikiran imam Syafi’i yang awalnya terbuka terhadap kritik menjadi sakral dan haram untuk dilintasi batas-batasnya.
Kondisi ini berlanjut lebih jauh dalam bentuk afiliasi sang pemikir dengan kekuasaan, dikuatkan oleh murid dan pengikut-pengikutnya. Sejak saat itu, berjayalah mazhab, dan runtuhlah kebebasan berpikir dalam wilayah keilmuannya.
Tetapi maaf, bukan saya anti mazhab, sebab dalam beberapa hal demi stabilitas dan tujuan yang lebih besar, mazhab dan ideologi itu penting. Layaknya filsafat pancasila menjadi ideologi Pancasila. Selagi kita masih NKRI, maka Pancasila adalah harga mati. Tidak boleh diganggu gugat, apalagi oleh ideologi yang tidak jelas jenis kelamin dan manfaatnya, seperti Khilafah.
Semoga bermanfaat. Tak setuju silahkan! (*)
Achmad Bahrur Rozi, Alumnus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.