Perjalanan Lelaki Tua
Lukisan bertajuk 'Lelaki tua dan beban' karya Basoeki Abdullah (dwikisetiyawan.wordpress/santrinews.com)
Oleh: Dhedhe Lotus
Seluruh kulitnya berkeriput, sedang wajahnya nampak begitu tua dan lelah. Ia memakai celana panjang coklat kedodoran, kaos berkerah kumal, sandal jepit swallow pun tak lagi sepasang juga topi koboy using menutupi rambut yang penuh dengan uban. Meski nampak sederhana, namun mataku seolah menangkap bayangan bunga yang tengah menguncup, begitu anggun.
Tiba-tiba ada rasa haru disana, selaksa virus yang dengan cepatnya menyebar ke berbagai arah. Lalu sayup-sayup ketenangan meng-aura kala ia meniup harmonika mengiringi lagu yang ia senandungkan.
“Bengawan Solo
Riwayatmu ini
Sedari dulu jadi…
Perhatian insani”
Dengan mata terpejam serta gesture tubuh yang menghayati, terasa seperti ada timbunan sejarah dan kenangan yang sedang ia jabarkan. Tak pernah ada rasa tergesa-gesa, ia menyenandungkan lagu begitu tenang dan hanyut. Sebuah kehanyutan yang paling hanyut, barangkali.
“Musim kemarau
Tak seberapa airmu
Dimusim hujan air..
Meluap sampai jauh”
Mataku ikut terpejam, mencoba meninabobokan tubuhku yang lelah. Namun suara tua itu semakin merasuk, menghipnotisku untuk bermain kenangan dan rindu. Sesekali, aku membuang pandangan kearah jendela, menikmati desir angin yang menyapaku, memandangi sehamparan sawah hijau dengan sekawanan domba serta sungai kecil yang membelah ditengahnya. Pemandangan di luar jendela sana seakan memulangkanku ke masa kanakku.
Aku mengusap pipiku, mencoba mengusir air mata yang merembesi pori-pori kulit. Tapi gagal, air mata semakin deras mengalir. Lagu yang awalnya ku nikmati, sekian detik kemudian terasa menusuk menyesakkan.
“Mata airmu dari Solo
Terkurung gunung seribu
Air meluap sampai jauh
Dan akhirnya ke laut
Itu perahu
Riwayatnya dulu
Kaum pedagang selalu…
Naik itu perahu”
Tidak hanya aku rupanya, sebagian penumpang sama-sama tercengang. Lelaki tua itu menyanyikannya dengan sangat apik. Di pojok kanan belakang pak supir, aku melihat sesosok ibu tua yang mengusap-usapkan tangannya ke mata, mungkin ia terharu melihat lelaki yang sama renta dengan dirinya masih berjuang menopang hidup, atau bisa jadi ia terngiang dengan sesuatu, mungkin kenangan masa mudanya dulu.
Beberapa menit kemudian lelaki itu menghampiri, menyodorkan topi hitam yang sudah penuh uang receh. Ibu itu tersenyum dan memberikan selembar uang sepuluh ribuan. Nilai yang tidak bisa dibilang kecil untuk seorang pengamen. “Alhamdulillah” terbaca olehku dari gerak bibirnya. Untuk beberapa saat, aku merasa hidup ini penuh dengan ketulusan.
Lelaki tua itu kemudian menghampiri pria dewasa separuh baya dan membiarkan seorang gadis kecil duduk di pangkuannya. Wajah mereka sangat mirip, mungkin mereka sepasang ayah dan anak. Di berikanlah beberapa koin receh lima ratusan kepada anaknya untuk si lelaki tua itu, lelaki tua itu membalasnya dengan sesungging senyum.
Namun entah, aku melihat goresan kesedihan di raut mukanya, semacam rasa kehilangan. Lalu matanya, ada gurat merah yang tak bisa ia sembunyikan. Ia menangis.
Di pandanginya gadis kecil itu, lalu ia belai kepalanya penuh perasaan. Dari sorot matanya, seperti ada segumpal keinginan yang tak tercapai.
Gadis itu tersenyum dan memberinya sebatang coklat yang sedari tadi ia genggam. Aku melihat ketiganya tersenyum bersamaan, penuh kemenangan.
Lelaki tua itu berlalu dan menghampiriku. Ada sedikit keterkejutan di raut mukanya kala mata kita beradu, namun tangannya sudah terlanjur menengadah. Dia tersenyum dalam keragu-raguan, atau ragu-ragu untuk tersenyum? Entah, sebuah ekspresi abu-abu.
***
Sepasang mata hitam yang dengan menatapnya kau akan mendapatkan rasa damai. Ia memang dingin, tapi di balik sikap dinginnya itu tersembunyi permata indah yang siapapun ingin memilikinya. Ia hidup dengan sangat sederhana, mencintai kehidupan apa adanya. Seperti kemudian ia mencintaiku dengan sangat sederhana.
Suatu petang, aku melihatnya di sudut jalan saat bus yang ku tumpangi berhenti. Dengan melihat pakainnya aku langsung bisa menebak apa yang akan dia lakukan-seorang pengamen. Dan benar saja ia terseret masuk dan melakukan rutinitas sesuai tebakanku.
Entah sudah berapa kali bus yang ku tumpangi dimasuki pengamen, membuatku merasa bosan dan muak. “Lagu lagu mereka tak ada yang berkualitas,” umpatku dalam hati.
Namun beberapa detik kemudian, aku benar-benar termakan umpatanku sendiri, pengamen itu menyanyikan lagu asing dengan suara dan alunan gitar yang bikin merinding. Setelah itu, aku selalu merasa ada yang hilang ketika sebuah perjalanan tak tersentuh oleh pengamen, sekalipun itu bukan dia.
Sebagai mahasiswi Ilmu Sosial, aku selalu mendapat tugas hal-hal yang berkaitan dengan masyarakat: pelacuran, anak-anak jalanan, dan kaum-kaum yang termarginalkan. Suatu hari seorang dosen memberiku alamat untuk ku datangi. Katanya, temennya itu mantan aktifis LSM, dan seorang guru.
“Guru yang tak pernah mendapat gaji selain senyum tulus dari murid-muridnya,” begitu kata dosenku.
Benar saja, sehari kemudian aku langsung menemukan alamat yang ku cari. Sebuah gudang bekas dekat stasiun kereta yang oleh dosenku dikatakan sekolah. Dan, untuk kesekian kali aku dikejutkan oleh orang yang sama. Guru itu, mantan aktifis LSM itu, adalah lelaki pengamen pemilik suara emas yang tempo hari ku jumpai dalam bus.
Dari situlah awal mula kita berjabat tangan, kenal dan dekat. Sejak pertama kali aku mendengarkan suara emasnya, sejak itulah aku menyukainya, lama-lama aku ketagihan dan selalu memintanya bernyanyi untukku. Tampilannya boleh berandalan, tapi pembawaannya sungguh santun. Kemudian setelah beberapa bulan mengenalnya, aku baru tahu bahwa dia adalah seorang mahasiswa filsafat di sebuah perguruan tinggi di Yogyakarta.
Setelah itu, semua seperti jalan tol. Dia mulai membuka diri. Aku tahu semua hal tentang dia pun sebaliknya. Pada akhirnya kita sama-sama mengakui ada cinta diantara kita. Segampang itu? Tidak.
Aku harus ekstra bersabar menemuinya, menemui sosok yang tak mimiliki jadwal terbang tetap. Aku harus terjun langsung menjadi pengajar gratisan bagi anak-anak jalanan yang kotor. Bayangkan betapa jijiknya aku, semua ku lakukan untuk kita semakin dekat. Bagiku, ia semacam magnet yang sangat kuat hingga menarik hatiku untuk selalu berada disampingnya.
Tiga bulan, kehadiranku benar-benar tak pernah ia gubris. Namun ketika saatnya aku menyerah dan lama tak menemuinya, tiba-tiba ia hadir, menampakan wajah dalam sosok yang baru. Saat itulah, perlahan ia mulai membuka hati.
Setahun kemudian, dengan sangat tiba-tiba dia mengajakku menikah. Pilihan bodoh untuk saat itu, sebab statusku masih mahasiswa, sedangkan ia tak jelas bagaimana arah hidupnya. Aku tak yakin jika kita bisa hidup normal seperti yang lain.
Bermodal cinta, aku memberanikan diri menghadap ayah. Mengenalkan keduanya dan tanpa prediksi sebelumnya, saat itu juga ia langsung melamarku. Benar-benar nekad dan konyol. Tentu saja ayah dibuatnya sangat berang.
Aku tak tahu apa yang sebenarnya ada di fikirannya, terkadang aku tak bisa mengimbangi. Ia bercerita banyak hal, metafisika, paripatetik, eksistensialis atau apalah aku tak pernah mengerti, semua itu membuatku memilih untuk tidak mau tahu sama sekali.
Tibalah akhirnya aku pada pilihan sulit. Memilih ayah dengan kehilangan dia, atau sebaliknya. Tapi aku nekad untuk menengahkan pilihan. Menikah siri tanpa sepengetahuan ayah. Hingga saat perutku membuncit karena benih suamiku. Mau tak mau ayah merestui pernikahan resmi kami dengan syarat sebuah perceraian ketika si jabang bayi lahir. Dan itulah mas kawinku.
Selain itu, total selama aku mengandung aku tak diizinkan kemana-mana begitupun dengan ia, suamiku. Aku memaklumi kekhawatiran ayah sebab akulah satu-satunya keturunan yang ia miliki, ayah tak memiliki siapapun selain aku. Namun campur tangan ayah yang berlebihan, membuatnya merasa terhina dan tak becus menjadi suami. Di mata ayah, suamiku tak lebh dari sampah. Suami dan ayah, dua orang yang sama-sama ku saying kemana aku harus berpihak?
Beberapa bulan setelah anak dalam kandunganku lahir, sebelum ayah menagih janjinya, ia sudah mendahului untuk angkat kaki tanpa sepatah kata pamitan, ataupun sepucuk surat seperti yang biasa ia berikan. Ia benar-benar menghilang.
***
Lama aku meruntunkan kronologis cerita ibu, tentang ayah yang bagiku hanyalah sebatas dongeng. Berulang kali ibu mengulang-ulang cerita yang sama, cerita yang itu-itu juga dan selalu berhenti kala aku menanyakan keberadaan ayah. Ibu seperti tak pernah rela, ada sesuatu yang benar-benar hilang dari kehidupan ibu. Terkadang aku memergoki ibu sedang menangisi sebuah foto yang ia simpan di bawah bantal, foto hitam putih ibu bersama seorang lelaki yang sudah nampak begitu usang.
Aku melihat ada yang sama antara ayah dengan lelaki tua itu. “Benarkah aku merasakan ada kesamaan? Bagaimana mungkin, aku tak pernah tahu sosok ayah yang sebenarnya, bagaimana bisa dengan secepat ini memutuskan bahwa keduanya adalah sosok yang sama, atau hanya sebuah kemiripan?” cetusku dalam hati.
Perasaan itu terus menghantui hingga aku memutuskan untuk berhenti saat itu juga lalu memilih bus berlawanan arah untuk kembali melanjutkan perjalanan, berharap menjumpai lelaki tua itu lagi, mengajak ia ngobrol atau entah apa.
Seperti membohongi diri sendiri, aku gagalkan tujuan awalku pulang ke kampung halaman hanya demi seorang lelaki tua yang aku tak pernah kenal sama sekali, demi karena sedikit cemistri dan ingin membuktikan lelaki tua itu bukanlah orang yang selama ini ibu dongengkan.
Beberapa jam kemudian aku kembali turun dari bus yang ku tumpangi, tempat dimana mataku dipertemukan dengan lelaki tua itu untuk yang pertama kali. Lama aku terbengong dan duduk lemas di sebuah emperan toko, mengutuki kekonyolan sendiri. Aku sadar, mencari lelaki tua itu sama susahnya dengan mencari jarum dalam jerami.
***
Malam semakin larut, sedang aku masih duduk terdiam di emperan. Tak tahu hendak kemana kaki melangkah. Di kejauhan, nampak segerombolan orang beramai-ramai memenuhi jalan, menyeret dan mengikutsertakanku dalam barisan penonton.
Dengan pelan dan hati-hati aku mendekatkan diri. Ada semacam rasa panik yang tak bisa ku uraikan saat aku mulai mengenali tubuh tak berdaya bersimbah darah itu. Dan akhirnya aku menemukannya. Lelaki tua itu kini ada di hadapanku, terkapar dalam keadaan tak lagi bernyawa. Menjadi korban tabrak lari sebuah mobil Avanza.
Jalanan penuh riuh keramaian, sedang dari kejauhan suara sirine polisi menjerit-jerit menambah bising. Beberapa meter dari TKP, aku menemukan sebuah tas hitam kumal. Ada bercak darah di tengahnya. Di dalam tas itu, aku menemukan sebuah harmonica, satu setel baju, beberapa rupiah uang yang tak seberapa, dan sepasang liontin.
Barang-barang itu benar-benar menarik dan memintaku untuk terus diperhatikan. Liontin itu berwarna emas dengan foto hitam putih nan usang di dalamnya.
Lama aku pandangi, hingga aku tersadar bahwa foto hitam putih itu adalah foto yang sama dengan foto yang disimpan ibu di bawah bantal. (met).
Dhedhe Lotus
Mahasiswi jurusan Perbandingan Agama. Kini aktif di LPM ARENA UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.