Kodrat Perempuan, Iradat Lelaki
Ilustrasi perempaun di rumah (santrinews.com/voxpop)
Kita sering mendengar di masyarakat, baik laki maupun perempuan, yang mengatakan: “Perempuan tidak boleh melakukan ini-itu karena bukan kodrat mereka” atau “Perempuan harus begini dan begitu karena sudah menjadi kodrat mereka”.
Makhluk apa sih kodrat itu? Kalau kita cek di Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata kodrat bisa berarti kekuasaan (Tuhan); hukum alam (sunatulllah); sifat asli, bawaan lahir (sejak orok), atau karakter dasar.
Perempuan yang sering dijadikan sebagai “obyek” penggunaan kata “kodrat” ini, baik oleh lelaki maupun perempuan itu sendiri. Ungkapan melegenda di masyarakat, misalnya: “Kodat perempuan itu adalah urusan sumur, dapur, kasur.” Sumur maksudnya urusan cuci-mencuci atau menimba air, dapur maksudnya masak-memasak, dan kasur maksude urusan dunia perkenthuan atau memproduksi generasi masa depan.
Dengan kata lain, kodrat perempuan dihubungkan hanya dengan “persoalan domestik” sajo. Maka, dalam masyarakat tradisional, kalau ada perempuan yang berkecimpung di arena publik dianggap sebagai “menyalahi kodrat”.
Oleh sebagian umat agama (misalnya Muslim), kodrat perempuan dikaitkan dengan “ketaatan” terhadap lelaki: patuh terhadap segala perintah suami, ayah, atau saudara lelaki. Haram hukumnya bagi perempuan kalau melawan perintah laki. Kaum perempuan bisa ngerak berabad-abad di nerakah jahinem kalau membangkang kemauan laki. Enak bener jadi si otong.
Anda boleh berbeda pendapat denganku. Tapi bagiku, kodrat perempuan itu ya hanya sebatas urusan menstruasi, mengandung, atau melahirkan. Itu doang. Selebihnya adalah “irodat” (kehendak, kemauan) lelaki.
Gender roles adalah “konstruksi sosial”, dan kebanyakan dalam sejarahnya lelakilah yang mengonstruksi sistem, aturan, hukum, institusi, atau wacana keagamaan & kebudayaan. Kaum lelakilah yang membuat atau mengonstruksi teks (keagamaan maupun bukan).
Karena kaum lelaki sebagai produser teks, sistem, ajaran, tradisi, norma, atau diskursus keagamaan dan kebudayaan, maka tak heran kalau mereka yang lebih banyak diuntungkan.
Tetapi menariknya atau ironisnya, banyak kaum perempuan yang menikmati, ikhlas, dan riang-gembira dengan segala tetek-bengek yang “bias gender” itu, meskipun semua itu merugikan mereka. Meskipun mereka hanya dijadikan sebagai “obyek” semata oleh jamaah otongna. Fenomenol apa ini gerangan Mario? (*)
Jabal Dhahran, Jazirah Arabia.