71 Tahun Indonesia Merdeka
Bershalawat, Upacara HUT RI ala Santri Syaichona Kholil
Sekitar seribu santri putra Pondok Pesantren Syaichona Mohammad Kholil Bangkalan melaksanakan upacara HUT RI ke-71 dengan memakai sarung dan baju kokoh (santrinews.com/tempo)
Bangkalan – Sekitar seribu orang santri putra Pondok Pesantren Syaichona Mohammad Kholil, Kelurahan Demangan, Kecamatan Kota, Kabupaten Bangkalan, menggelar upacara kemerdekaan Republik Indonesia di halaman pesantren, Rabu 17 Agustus 2016.
Tak seperti upacara biasa, santri peserta upacara memakai pakaian santri sehari-hari yaitu baju koko, sarung, kopiah hitam dan bakiak. Hanya diseragamkan yaitu baju koko putih dan sarung coklat muda bermotif liris hijau.
Secara umum, pelaksaan upacara di Pesantren yang mashur dengan sebutan ‘pesantren Demangan’ ini sama seperti upacara pada umumnya. Bedanya, saat pembawa acara membacakan susunan acara terakhir yaitu pembubaran pasukan.
Lazimnya, pemimpin masing-masing regu maju ke depan dan mengucapkan pasukan dibubarkan. Namun di Pesantren Demangan, peserta upacara langsung bubar sendiri ketika mendengar seorang santri mengucapkan sholawat nabi.
“Pemimpin regu membubarkan peserta upacara” kata pembawa acara lewat pengeras suara.
Belum sempat pemimpin regu maju ke depan, dari salah satu barisan terdengar pekikan salawat nabi. “Allahumma Sholli Ala Muhammad,” mendengar ini sebagain besar santri pun langsung membubarkan diri.
Bubarnya barisan santri karena mendengar salawat nabi diucapkan tidak lepas dari tradisi di kalangan warga Nahdlatul Ulama. Dalam tradisi NU, baik acara resmi atau tidak, mulai dari perkumpulan biasa hingga acara nikahan, khitanan atau selamat haji, para tamu undangan baru akan membubarkan diri ketika kiai yang memimpin acara mengucapkan salawat nabi.
KH Nasih Aschal, pengasuh Pondok Pesantren Demangan Bangkalan mengatakan tahun ini adalah tahun ke dua pesantrennya menggelar upacara ‘sarungan’. “Formalitas seragam tidak penting, yang penting bagaimana meresapi makna kemerdekaan itu,” kata dia.
Menurut Nasih, lewat upacara sarungan, dirinya ingin mengajak santri merasakan upacara kemerdekaan di zaman awal-awal Indonesia baru merdeka. Dia yakin upacara saat itu tidak seformal sekarang dimana tiap peserta memakai seragam rapi.
Nasih juga ingin mengingatkan bahwa kaum sarungan yaitu kiai dan santri juga banyak yang gugur di medan perang karena ikut berjuang demi Kemerdekaan Indonesia. “Kami upacara pakai sarung karena ingin mengenang jasa-jasa para kiai dan santri dalam merebut kemerdekaan,” kata dia. (rus/tempo)