Mata Desa Gelar Perempuan Membaca-Menulis

Wiwik Afifah memaparkan ihwal pentingnya kaum perempuan turut aktif dan kreatif dalam menyuarakan cita-cita dan persoalan yang dihadapinya melalui gerakan membaca dan menulis (dok/santrinews.com)
Sumenep – Gerakan literasi atau keberaksaraan tidak hanya timbul dalam masyarakat perkotaan. Kesadaran untuk melek informasi menjadi keniscayaan setiap orang. Itu tidak terlepas dari terbukanya akses informasi.
Kesadaran literasi semacam inilah yang melatarbelakangi Komunitas Mata Desa menggelar workshop literasi bertajuk “Perempuan Membaca Perempuan Menulis” pada Ahad, 12 Oktober 2014.
Acara yang dihelat di Perpustakaan Roma Sangkol ini menghadirkan Wiwik Afifah (Aktivis Koalisi Perempuan Indonesia) dan dipandu langsung oleh Salamet Wahedi (Ketua Komunitas Mata Desa).
Komunitas Mata Desa merupakan komunitas anak muda yang bergerak dalam ranah literasi, lingkungan, budaya dan kemandirian ekonomi. Selain perpus “Roma Sangkol” dengan berbagai agenda literasinya, Komunitas Mata Desa juga merintis budi daya jahe merah sebagai gerakan kemandirian ekonomi.
Dalam sambutannya, Salamet Wahedi mengutarakan keinginan Komunitas Mata Desa untuk menjadi alat picu terhadap kesadaran keberaksaraan di desa. “Kami berharap akan timbul kesadaran dari masyarakat terhadap pentingnya informasi,” kata Salamet.
Melalui kesadaran itu, menurutnya, masyarakat dalam membangun cita-citanya diharapkan lebih mandiri. “Dengan keberakasaraan diharapkan masyarakat dapat menyuarakan nasibnya tanpa harus menunggu ‘provokasi’ dari orang lain,” ujarnya.
Mengenai tajuk “Perempuan Membaca Perempuan Menulis”, Salamet menjelaskan bahwa hal itu sebagai komitmen komunitasnya untuk mendorong lahirnya peran aktif semua pihak. “Pilihan dengan topik perempuan bukan berarti karena perempuan jadi korban atau lemah. Tapi kami lebih melihat potensi kaum perempuan selama ini sedikit terabaikan,” papar Salamet.
Alumnus Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta ini juga meminta untuk menggarisbawahi bahwa sinergitas antara kaum laki-laki dan perempuan akan melahirkan tatanan masyarakat harmoni. “Sekali lagi, perempuan membaca perempuan menulis bukan atas dasar paradigma perempuan sebagai korban atau pihak yang lemah yang perlu diberi perhatian lebih. Akan tetapi lebih didasarkan untuk membuka ruang-ruang tertutup yang terkonstruk karena kekuasaan,” tandas Salamet.
Sedangkan Wiwik Afifah dalam paparannya mengajak pada para peserta untuk lebih pro-aktif dan kreatif dalam menyuarakan cita-cita dan persoalan yang dihadapinya. “Saya kira sudah saatnya kita kaum perempuan untuk bisa membaca, menulis dan memperjuangkan cita-citanya,” ujar Afifah.
Dengan membaca dan menulis, kata Afifah, kaum perempuan juga dapat ikut andil dalam menentukan kebijakan-kebijakan publik yang berkaitan dengan dirinya.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Tujuh Belas Agustus (Untag) Surabaya ini mengapresiasi atas antusiasme para peserta mengikuti workshop. “Meski masih siswa-siswa SMA, mereka menunjukkan minat dan antusiasme yang luar biasa. Saya sangat bahagia berada di tengah-tengah mereka,” tandas Afifah dengan senyum sumringah. (mam/ahay)