90 Tahun NU dan Ancaman Radikalisme Islam

Oleh: Mushafi Miftah

PADA dekade ini, organisasi Nahdlatu Ulama (NU) telah memasuki umur sembilan puluh (90) tahun. Sepanjang 90 tahun itu pula berkhidmat dan berdedikasi pada umat, bangsa dan Negara. Bahkan, dalam usia yang terbilang senja itu, NU masih eksis dalam mentranformasikan nilai-niali ajaran ahlussunah wal jamaah (Aswaja).

Namun, pada saat yang sama, upaya untuk melemahkan NU terus dilakukan oleh kelompok-kelompok anti NU. Persoalan ini kian mengkhawatirkan dengan adanya polarisasi di kalangan NU sendiri sepertinya munculnya fenomena “NU Garis Lurus”.

Gerakan yang mengatasnamakan NU Garis Lurus tersebut, belakangan ini intens mengkritik dan menyerang petinggi-petinggi NU mulai dari Rois Am PBNU, Ketum PBNU dan petinggi-petinggi NU lainnya. Kondisi ini tentu sangat mengkhawatirkan bahkan menyedihkan sebab fenomena itu terjadi di tengah banyak aliran-aliran baru yang bermunculan.

Sebagai anak muda NU saya merasa sedih melihat para petinggi NU bertikai satu sama lain, sementara pada saat yang sama gerakan kelompok-kelompok radikal semakin gigih menjalankan aksinya melalui teror di Jl. Tamrin Sarina Jakarta.

Kemudian, di luar lingkaran NU yang teranyar muncul aliran Gafatar (Gerakan Fajar Nusantara). Dalam sebuah fatwanya, aliran ini tidak mengakui islam mainstream yang dibawa Nabi Muhammad, dan menganut ajaran Millah Abraham yang menurut MUI aliran ini mencampur adukkan ajaran agama islam, Nasrani dan Yahudi. Selain itu, ada juga Wahabi dan Syiah. Kedua aliran ini yang sudah sekian lama secara ideologi berseberangan dengan NU.

Atas dasar inilah yang saya khawatirkan adalah warga NU yang masih awam pemahamannya terhadap paham-paham keagamaan yang belakangan mulai marak dan berkembang. Mereka-mereka inilah yang rentan dimasuki dan dipengaruhi oleh mereka.

Selain lemahanya pemahaman terhadap ajaran Islam yang Aswaja, keterdesakan ekonomi juga bisa menjadi faktor mereka menyemberang ke aliran lain. Sebab, sudah bukan rahasia umum, bahwa belakangan ini banyak orang yang berani menggadaikan aqidah karena keterdesakan ekonomi.

Fenomena ini diperparah dengan kebijakan ekonomi pemerintah yang masih timpang dan tidak merata. Sehingga berakibat pada kesenjangan ekonomi terjadi dimana-mana, kemiskinan, pengangguran grafiknya terus naik dalam setiap tahun.

Di tengah kesenjangan ekonomi ini, praktek korupsi di kalangan elit pemerintah semakin marak. Akibatnya, rakyat semakin sengsara di era globalisasi yang sudah pasti menempatkan ekonomi sebagai elemen penting dalam kehidupan manusia. Dalam kondisi ekonomi yang carut marut itulah aliran-aliran keagamaan seperti Gafatar, Radikalisme, Wahabi dan Syiah beraksi mencari massa ke daerah-daerah terpencil seperti pedesaan.

Dakwah Melalui Pemberdayaan Ekonomi
NU adalah organisasi keagamaan dan kemasyarakatan yang getol mengkampanyekan islam moderat dan rahmatan lil alamin. Istilah rahmatan lil alamin ini kemudian diterjemahkan ke dalam program-program kegerakan seperti, sosial keagamaan (dakwa), pendidikan, ekonomi kerakyatan dan politik kebangsaan. Melalui program ini, NU diharapkan mampu menjadi mitra pemerintah dalam menciptakan stabiltas sosial dan kesejahteraan umat serta menjadi benteng kuat Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) melalui transformasi islam moderat dan toleran.

Menurut Yusuf Qardlawi, segala prilaku ekstrem tersebut terjadi disebabkan oleh beberapa hal, antara lain, lemahnya pemahaman dan pandangan terhadap hakikat agama, kecenderungan tekstual dalam memahami nash-nash, sibuk mempertentangkan hal-hal sampingan kemudian melupakan proble-problem pokok, pemahaman keliru terhadap beberapa pengertian, serta mengikuti yang tersamar dan meninggalkan yang jelas. Karena itulah, tidak cukup hanya berdakwah dari mimbar kemimbar, tapi NU juga harus memberikan solusi agar warga NU yang mayoritas ekonominya menengah ke bawah keluar dari desakan ekonomi atau kemiskinan.

Hemat saya, berdakwah untuk mengajak kepada jalan yang benar agar bertaqwa pada Allah, dan melaksanakan amal shaleh harus disinergikan dengan penyelesaian kebutuhan hidup masyarakat. Pesan-pesan taqwa kepada Allah SWT menjadi tidak bermanfaat apabila disampaikan pada masyarakat yang mengalami keterdesakan ekonomi.

Oleh karena itu, pola dakwah NU harus dimodifikasi. Volumi dakwah dari panggung-ke panggung atau mimbar ke mimbar harus dikurangi untuk selanjutnya menggalakkan dakwat melalui pemberdayaan ekonomi masyarakat. Melalui dakwah pemberdayaan ekonomi inilah paling efektif dan efesien dalam memperkuat khazanah ahlussunnah wal Jamaah.

Pemberdayaan ekonomi masyarakat dapat dikatakan sebagai dakwah yang dilakukan melalui tindakan di dalam kehidupan masyarakat. Di samping memperkuat pemahaman ajaran ahlussunnah wal jamaah kepada warganya, mendampingi masyarakat dalam mengembangkan ekonominya.

Dalam konteks ini, NU sebenarnya bisa memanfaatkan peluang ekonomi syariah yang saat ini sedang booming. Dalam mengembangkan ekonomi syariah NU bisa menggunakan instrumen pesantren dan NU mulai di tingkat ranting hingga cabang. Jika NU mampu mengelola peluang ekonomi syariah ini, NU bisa memberikan solusi ekonomi pada umatnya. Sehingga warga NU tidak mudah dicaplok oleh aliran-aliran di luar NU.

Akhirnya, di usianya yang ke-90 tahun semoga NU tetap jaya dalam menebar lentera ahlussunnah wal Jamaah. Kepada Allah jualah kita memohon semoga kita (warga NU) dilindungi dari hal-hal yang negatif. (*)

Mushafi Miftah, Intlektual Muda NU Jawa Timur dan Dosen Tetap IAI Nurul Jadid Paiton Probolinggo.

Terkait

Dirosah Lainnya

SantriNews Network