Mereset Agama (2): Dari Islam Kultural Menuju Islam Nominal
Kuatnya orientasi kultural “warga” +62 pada masa depan (pasca kematian), tidak terlepas dari kebergantungan masyarakat pada alam yang sangat subur. Inilah negeri pecahan sorga dimana banyak jenis makanan alaminya yang siap dinikmati tanpa perlu “usaha” keras.
Namun ketika orientasi ekonomi yang awalnya sekedar bisa hidup bergeser pada keserakahan, datanglah era yang saya sebut sebagai matinya “spiritualitas Jawa”, dan munculnya “spirit keputusasaan” duniawi. Muncul pameo Jawa “mangan ora mangan sing penting kumpul”.
Awalnya ajaran ini bermakna positif karena menandaskan spirit ketakwaan dan menjaga keselarasan dengan alam dan sosial. Tetapi menjadi berubah sebagai alat pembenaran terhadap kondisi ketakberdayaan sosial, politik dan ekonomi. Alias pembenar terhadap kemiskinan.
Kuatnya hegemoni kerajaan Mataram Baru (berselingkuh dengan Belanda), kemudian dengan penguasa kolonial Belanda yang begitu lama mencengkeram bangsa ini telah melahirkan cara beragama Nominal. Belanda telah mengindentifikasi model keagamaan pesisir yang lebih “puritan” sangat berbahaya bagi kekuasaan kerajaan dan mereka.
Karena itulah mereka melakukan upaya untuk memperkuat hadirnya “Islam Pedalaman” yang lebih kuat aspek mistiknya ketimbang rasionalitasnya. Kondisi ini semakin menjerumuskan masyarakat dalam ketergantungan ekonomi bukan lagi pada alam, tetapi pada penguasa. Mental mengemis dan menunggu bantuan menjadi “tradisi” dalam semua aspek kehidupan termasuk dalam beragama. Tidak ada lagi otonomi spiritual, otonomi ekonomi, otonomi sosial dan termasuk otonomi politik.
Sua tiba-tiba menjadi terpusat pada elit. Penguasa, pengusaha dan tokoh agama menjadi tempat berpusatnya “modal-modal” kultural, sosial dan ekonomi. Itulah “konon” yang “digugat” oleh partai komunis Indonesia. Meskipun akhirnya mereka gagal karena salah perhitungan dengan kalangan penganut Islam yang sudah menjadi mayoritas meskipun masih Islam Nominal.
Islam nominal bukan berarti Islam pura-pura. Mereka benar-benar Islam dan sangat kuat meyakini Allah sebagai Tuhan Yang Maha Esa dan Muhammad sebagai Rasul-Nya. Hanya saja mereka tidak begitu ekspresif secara formal syar’inya. Namun ketika simbol-simbol keimanan utama keislamannya disinggung, dengan sangat cepat mereka akan bereaksi dan tidak segan menyematkan simbol-simbol keagamaan mereka di depan publik. Bahasa sederhananya preman pun bisa dan mau pakai jubah dan sorban jika simbol utama keimanan keagamaan mereka dihina.
Susahnya sekarang ini, simbol utama keimanan keagamaan itu tidak lagi dilekatkan pada prinsip ajaran (substansi) agama, yakni keadilan. Tetapi malah direduksi dan ditempelkan pada sosok-sosok politis yang justru menjadikan prinsip keadilan itu sebagai dagangan agama. Hebatnya lagi mereka para elit penguasa dan elit agama banyak memanfaatkan umat sebagai tameng keserakahan duniawi mereka tanpa ada rasa malu dengan mengatasnamakan agama.
Di sisi lain menguatnya ekspresi keagamaan kalangan Islam nominal karena “benturan-benturan” peradaban yang semakin intens, telah melahirkan kesadaran filantropis di kalangan mereka. Fenomena ini benar-benar dimanfaatkan oleh kalangan Islam formalis dengan beragam bentuk “layanan jasa kampanye” di kalangan bawah.
Di kota-kota besar kita bisa melihat bagaimana “kekompakan” mereka dalam merangkul kalangan Islam nominal di klas bawah dan menengah untuk mendukung eksistensi “gerakan” fundamentalis. Anehnya negara “diam” dan baru “menyadarinya” ketika mereka sudah besar dan kuat berakar di masyarakat.
Lebih lucu lagi kalangan tradisionalis (yang memang selalu terlambat bereaksi), baru menyadari jika yang terseret ikut dalam arus gerakan fundamentalisme itu sebagian adalah umatnya. Meskipun jumlahnya relatif kecil. Tetapi potensinya begitu kuat dan nyata, dan itu bisa kita lihat dengan apa yang terjadi pada umat di wilayah Banten, Jakarta, Jawa Barat dan Madura. (*)
Muhammad Khodafi, Dosen di Fakultas Adab dan Humaniora UIN Sunan Ampel Surabaya.