Mereset Agama (1): Dramatisasi Beragama
Apa yang terjadi saat ini tidak bisa dipisahkan dengan apa yang terjadi di masa lalu. Karena itulah menengok sejarah masa lalu itu penting untuk masa kini dan masa depan.
Dalam hampir 30 tahun terakhir ini kita dihadapkan pada isu yang berputar-putar di sekitar isu agama. Meskipun hadir dalam beragam bentuk. Tetapi isi dan sumber masalahnya sama. Bukan itu saja, ada dugaan kuat pelakunya juga dari golongan yang sama. Persoalannya apa kita benar-benar tahu siapakah mereka itu?
Dalam tulisan singkat ini saya tidak berpreferensi pada satu golongan semata atau kelompok politik semata. Tetapi saya akan menjelaskan bahwa mereka bisa datang dari semua golongan dan lapisan masyarakat. Karena mereka tidak diikat oleh satu ideologis, tetapi oleh satu “pengalaman” bersama yang menimbulkan rasa “sosial” dan gerakan “masturbasi” politik yang sejalan.
Layu Sebelum Berkembang
Cita-Cita membangun masyarakat yang “agamis” selalu ada di semua bangsa. Baik di Amerika Serikat sebagai ukuran negara “Barat” yang kapitalistik, ataupun China yang dikenal sebagai negara “komunis” yang alergi terhadap agama. Paling tidak gerakan mereka diwakili oleh kelompok kecil yang meyakini satu “ritual”, meskipun mereka menyebutnya bukan agama. Sebagaimana gerakan Falun Gong yang sering merepotkan rezim komunis China. Atau gerakan “sparatis” Uighur yang sering dikaitkan dengan Islam. Bagaimana dengan di negara kita?
Dalam sejarah kita sudah mengenal adanya keterikatan yang kuat antara agama dan politik kekuasaan sejak di era kerajaan Hindu-Buddha, Islam dan Nasrani. Maka dari itu kita bisa dengan mudah menemukan jejak peradaban agama Hindu, Budha, Islam, Nasrani dan Konghucu, yang bermunculan di masyarakat kita. Hampir di semua agama selalu ada pendukung yang sangat fanatik ingin mewujudkan “masyarakat agamis” sesuai keyakinannya.
Namun gerakan itu umumnya layu “sebelum berkembang”. Hindu dan Buddha yang pernah “menguasai” Nusantara juga tidak bisa bertahan, Islam yang sampai sekarang masih menjadi agama mayoritas juga belum “berhasil” mensyar’ikan Indonesia secara formal. Demikian juga dengan “Kristen” yang pernah mencoba membangun kekuatan di Indonesia Timur. Semua kekuatan agama itu gagal. Artinya masyarakat bangsa saat itu belum sepenuhnya menjadikan isu agama sebagai isu “kebudayaan”. Agama hanya berhenti sebatas isu sosial dan politik.
Meskipun demikian isu ini begitu banyak menggangu “kestabilan politik” sejak era Kerajaan, kolonial, kemerdekaan dan pasca kemerdekaan, bahkan hingga sekarang ini.
Salah satu sebab kenapa Hindu, Buddha, Islam, Kristen (Katolik atau Protestan), dan Konghucu gagal “menguasai” Nusantara adalah karena bangsa ini punya orientasi “kultural” yang “eksklusif” di tataran ide, tetapi begitu inklusif, ekspresif dan pragmatis di ranah perilaku. Masyarakat kita adalah masyarakat yang oportunistik. “Dramatisasi” kehidupan dalam beragama, bersosial dan berpolitik terlihat sangat menonjol, dibandingkan dengan aktivitas ekonomi dan keilmuan.
Latar belakang lingkungan alam yang sangat subur menjadi salah satu faktor kenapa bangsa kita tidak memiliki orientasi budaya ekonomi yang aktif dan kreatif. Sebaliknya kita tumbuh menjadi bangsa yang pasif atau “menunggu” berkah alam turun dan bisa dinikmati secara instan. Alih-alih mengolah sumberdaya alam sendiri, kita justru lebih suka menunggu alam berproses sendiri atau diolah orang asing, sementara kita cuma bisa menunggu hasil akhir dan mengkonsumsi secara lahap dan serakah tanpa mau tahu bagaimana prosesnya sehingga Sumber Daya Alam itu bisa dinikmati.
Demikian juga dalam orientasi politik, jika tidak ada “intervensi” kekuatan luar, dinamika politik bangsa ini akan biasa-biasa saja. Lahirnya Mojopahit dan Demak juga tidak terlepas dari gejala ini.
Islamisasi Nusantara
Proses islamisasi Nusantara juga tidak terlepas dari “intervensi” asing. Meskipun proses “politik“nya terhenti sejak era Mataram Islam muncul (sehingga melemahkan “orientasi” budaya Islam pesisir). Namun demikian proses “islamisasi” nominalnya yang terpengaruh budaya “pedalaman” tetap berjalan.
Maka tidak perlu heran meskipun Islam menjadi agama mayoritas di Nusantara, tetapi secara politik tetap menjadi “minoritas”. Dari sinilah akar perseteruan politik identitas itu muncul. Dinamika politik identitas ini terus muncul hingga sekarang ini. (*)
Tawangsari, 19 November 2020
Muhammad Khodafi, Dosen di Fakultas Adab dan Humaniora UIN Sunan Ampel Surabaya.