Mengenal Agama Damai Ajaran Walisongo
Oleh: M Rikza Chamami
MENGINGAT kembali jasa para penyebar agama Islam di nusantara menjadi sangat penting. Banyak pihak yang sudah mulai lupa peran strategis Walisongo dalam menanamkan pondasi Islam damai di bumi nusantara. Pola menghapus agama Kapitayan yang dipeluk oleh orang Jawa kuno dilakukan dengan pendekatan budaya yang tetap mengedepankan misi syariah Islam.
Disitu dapat dilihat bahwa agama damai menjadi solusi tepat dalam proses penyebarannya. Lebih dari itu, warna Islam nusantara yang dibawa oleh para wali itu diawali dari benteng istana Majapahit.
Sunan Ampel yang merasakan hidup di istana Hindhu-Buda paham betul bahwa agama Islam harus disebarkan dengan cara nirkekerasan. Maka pengalaman hidup bersama Dwarawati (istri Raja Majapahit/sang bibi Sunan Ampel) dan pengalaman hidup di istana Champa membuat Sunan Ampel berjiwa pluralis.
Maka tugas Sunan Ampel sebagai susuhunan ing Ngampel-Denta handamel pranataning agami Islam kanggenipun ing titiyang Jawi (membuat peraturan yang Islami untuk masyarakat Jawi) selalu membuat aturan yang dekat dengan budaya Jawa. Artinya bahwa syariat Islam yang diajarkan tetap menggunakan pakem sunnah, namun budaya setempat tidak langsung dihapus. Itulah bukti bahwa Islam hadir dengan penuh adaptasi agar tetap disukai orang Jawa.
Apa yang dilakukan oleh Sunan Ampel ini adalah model dakwah dan tarbiyah Rasulullah. Dimana proses islamisasi yang dilakukan selalu diawali dengan cara damai dan penuh kesabaran.
Saat Islam hadir di bumi Makkah sebagai agama sempurna tidak langsung direspon positif secara massal. Hinaan, celaan dan umpatan selalu ditujukan pada Nabi dan ia selalu menghadapi dengan penuh kesabaran.
Begitu juga para Walisongo memperjuangkan agama Islam di bumi nusantara tidak pernah lepas dari perjuangan. Badai dan hambatan apapun selalu dihadapi dengan ilmu pengetahuan dan strategi politik yang cukup handal.
Kehadiran para wali ke tanah Jawa memang dilihat secara fisik sebagai pedagang, namun ada misi dakwah yang dikandung dalam pelayaran ideologis ini.
Setelah perdagangan secara natural itu dilakukan, maka ada misi pengembangan ideologi dengan cara menikah dengan putri tokoh lokal. Sunan Ampel menikah dengan Condrowati anak Aryo Tedjo keturunan Joko Tarub. Maulana Ishaq menikah dengan Dewi Sekardadu putri Blambangan.
Sunan Gunung Jati menikah dengan Dewi Rara Santang putri Padjajaran. Dalam dimensi sederhana bahwa pernikahan politik ini menguatkan posisi dakwah Islam dimana tiga kerajaan sudah dikuasai: Majapahit, Blambangan dan Padjajaran.
Aspek damai lainnya dapat dilihat saat Raden Fatah (Sayyid Hasan) meminta izin Sunan Ampel selalu guru dan mertuanya untuk menyerang kerajaan Majapahit. Sunan Ampel tidak mengizinkan peperangan itu. Sebab Sunan Ampel adalah keponakan Raja Majapahit dan Raden Fatah adalah anak kandung Raja Majapahit. Segala hal perbedaan yang ada perlu diselesaikan secara kekeluargaan, tidak hanya dengan cara perang dan pertumpahan darah.
Dengan pola seperti itu justru Sri Prabu Kertawijaya sebagai Maharaja Majapahit menaruh simpati pada Islam. Sebab dua istri yang dimiliki berasal dari Champa dan China disebutkan memeluk agama Islam.
Selain itu jabatan-jabatan strategis di daerah-daerah ia percayakan kepada saudara-saudaranya yang beragama Islam. Arya Teja keponakannya dikasih jataban Adipati Tuban. Keponakan istrinya Rohmatullah (Sunan Ampel) diangkat sebagai Raja Surabaya. Termasuk Ali Murtadla (Raden Santri) diangkat sebagai Raja Pandhita Gresik dan Raden Suta Maharaja diangkat Adipati Kendal.
Hal yang menarik lagi adalah gelar Sunan yang disandangkan para wali. Kata sunan adalah jama’ dari sunnatun (hadits).
Maka sangat tepat jika para wali ini disebut sebagai ahl sunnah yang menjadi pemimpin agama. Karena kekuatannya memimpin masyarakat, maka ia juga memiliki kemampuan berjamaah (organisasi).
Jadi Sunan itu adalah gelar waliyyul ilmi dan waliyyul amri yang dalam bahasa sederhana sebagai pemimpin ahlus sunnah wal jama’ah. Dan nyatanya sampai hari ini yang peduli dan melestarikan tradisi Walisongo adalah kalangan ahlus sunnah wal jama“˜ah Indonesia lewat jam’iyyah Nahdlatul Ulama.
Maka Nahdlatul Ulama sangat berkonsentrasi menyebarkan Islam damai yaitu Islam yang diajarkan oleh Walisongo di bumi nusantara. Islam khas nusantara ini tidak hanya bergaya lokal saja, tapi hasil transformasi silang budaya leluhur Walisongo yang berasal dari Persia, Samarkand, Gujarat, China, Maroko dan Mongolia.
Jadi Islam nusantara yang damai itu adalah sebuah jawaban nyata bahwa tanah Jawi menjadi saksi bahwa Islam itu diajarkan dengan damai bukan dengan terorisme dan kekerasan. (*)
M Rikza Chamami, Dosen dan Mahasiswa Program Doktor UIN Walisongo Semarang.