Harmonisasi Agama dan Sains: Kajian Filosofis Teologis

Ilustrasi - Ilmuwan Muslim

Kajian integrasi sains dan agama bukanlah hal baru. Interaksi keduanya adalah isu klasik —menarik dan telah lama menjadi dinamika pemikiran para agamawan, termasuk di kalangan masyarakat muslim sendiri.

Atas dasar itu, setiap kali isu perjumpaan sains dan agama didengungkan kembali, di mata mereka selalu saja memunculkan dua pandagan mendasar yang paradoks.

Pertama, mengingatkan para agamawan postmodern atas sikap traumatika abad pertengahan mengenai relasi dialektis keduanya. Kedua, membukakan kenangan baru terhadap bukti kesuksesan masyarakat muslim era awal atas relasi dinamis keduanya.

Membaca Kenangan
Baik yang pesimis ataupun yang optimis terkait ide-ide integarsi tentu tidak memudarkan semangat untuk mengkaji kembali paradigma integrasi tersebut. Sikap optimistik terintegrasinya dua entitas tersebut semakin menguat ketika para agamawan postmodern mengenang kembali bukti riil pola integrasi yang dilakukan oleh para filsuf muslim beberapa abad silam.

Beberapa filsuf muslim yang dimaksud antara lain Al-Kindi, Al-farabi, Ibnu Sina, Al-Razi, Al-Ghazali, Ibnu Rusyd, Ibnu Khaldun, dll.

Di mana, masing-masing filsuf terkemuka tersebut dalam upayanya membedah hakikat kebenaran selalu menggunakan penalaran rasional-diskursif (filsafat) pada satu sisi dan kesadaran emosional-intuitif (batin) pada sisi yang lain.

Filsafat mewakili dimensi sains, sementara batin mewakili aspek agama pun teologi. Inilah yang menurut al-Jabiri disebut dengan pendekatan bayani (tek), burhani (filsafat), dan irfani (rasa). Meski demikian, secara perlahan relasi keduanya telah mengalami pasang surut dan jatuh terpuruk. Di satu sisi melupakan, di sisi lain abai dan tidak saling bertegur sapa.

Dikotomi sains dan agama terjadi ketika temuan Copernicus yang mendapat dukungan Galileo terkait matahari sebagai pusat tata surya, di mana hal ini berlawanan dengan apa yang disampaikan di dalam kitab suci, Bible kala itu. Sehingga pihak gerejapun kemudian sangat mengutuk penemuan sains tersebut. Tokohnya adalah Ian G. Barbour.

Hal ini berbeda dengan Mabel Sarton yang kemudian menggambarkan adanya proses saling mengisi dan beriringan antara Barat dan Timur, dalam hal ini perjalanan sainsnya. Tentu ada titik temunya.

Kemudian dipicu oleh munculnya Grand Theory tentang perkembangan manusia yang dikenal dengan teori Evolusi. Charles Darwin tokohnya. Munculnya saintis asketis ini kemudian melahirkan pergulatan panjang konflik antar sains dan agama. Sehingga para filosof tidak lagi membicarakan bagaimana apoiron dan kekuasaan tak terbatas di luar manusia yaitu Tuhan.

Abad pencerahan di mana kebanyakan para filosof maupun saintis menganggap bahwa selama ini keterkungkungan atau kemandekan pengetahuan itu adalah keitka tertuju pada kerangka pemikiran agama. Tren Aufklarung ini memunculkan gerakan positivism — kontruktivisme dalam sains pun agama.

Oleh karena itu integrasi hanya memberi nilai-nilai etika terhadap sains, dengan mengaitkan teks-teks keagaman di sampul luarnya. Dengan demikian fungsi teks-teks agama berubah fungsi dari pilar yang kokoh, sumber hukum, petunjuk bagi siapa saja, kemudian menjadi pemanis, hiasan bibir yang bisa dibayangkan kekokohan integrasinya.

Lambat laun pendekatan identitas agama tidak lagi menghadirkan cara kerja ilmiah, tidak lagi menghadirkan metodologi-metodologi. Dan berhenti pada justifikasi dan nalar yang sempit. Akibatnya melahirkan sumbu pendek yang mudah meledak.

Efeknya adalah tidak sedikit yang kemudian merasa cepat puas dan berhenti pada aspek tertentu, baik dalam rangkaian agama, apalagi sain. Lebih naif lagi ketika kepuasan itu dianggap mampu menjinakkan sains dengan nilai-nilai luar yang dilabelkan oleh agama.

Maka tidak heran setelah masa kejayaan islam kemudian tidak banyak muncul pemikiran-pemikiran baru dari ruang-ruang agama. Baik secara bentuk maupun substansi. Kecuali label-label yang kemudian menjrumbut dari akar-akar sejarah kegemilangan di masa Abbasiyah misalnya.

Adapun temuan baru pada akhirny mendapat tantangan yang berat dari para agamaan pelestarian (konservatif). Sehingga disadari atau tidak hal itu mempengaruhi terhadap kinerja-kinerja ilmiah.

Harapan dan Peluang
Thomas S. Khun mengatakan bahwa ilmu yang sudah ada akan mengalamai normal science. Tentu hal ini akan melewati ruang-ruang revolusi ilmiah. Ketika ilmu tersebut menjadi paradigma baru maka akan merubah bentuk ontologinya. Jika dalam pandangan sekuler ada yaitu Barat dan Marxisme, maka keduanya adalah idealism dan materialism. Maka disadari atau tidak ilmu-ilmu yang lahir hari ini adalah hasil dari modernism pengetahuan.

Ketika agama dan ilmu dibedakan menjadi wahyu dan rasio tentu akan muncul pertanyaan, bagaimana menangkap wahyu kalau tidak diintrgralisasikan oleh rasio? Dengan kata lain titik temu antara sains dan agama adalah pada proses integralisasinya. Pendek kata Islam sebagai agama dan rasio atau logika sebagai perangkat pengetahuan berbaur. Oleh karena itu peran bayani, burhani dan irfani menurut Abed al Jabiri adalah epistimologi yang melahirkan metodologi.

Sayang sekali banyak di antara lembaga pendidikan Islam yang kemudian menonjolkan skeptisnya terhadap perjumpaan wahyu dan rasio ketimbang mencari apa yang kemudian menjadi langkah konkrit dari rasionalitas wahyu atau integralisasi itu.

Mengapa ada tafsir atau interpretasi? Tentu karena ada pembauran rasio dan wahyu. Hal ini yang seharusnya menjadi dasar penguat khususnya bagi lembaga pendidikan islam bahwa kerja-kerja ilmiah perlu digaungan di dalam ruang-ruang keagamaan.

Konflik realitasnya adalah sebuah pertanyaan lebih utama mana antara sains dan agama? Atau pentingkah pertanyaan ini untuk dijawab? Agama memiliki ruang normative-intuitif, sedangkan sains memiliki ruang logis – konstruktif. Hal ini tentu berbeda. Tetapi menjadi profan ketika mengambil pendekatan yang digunakan oleh Kuntowijoyo tentang integralisasi agama. Di sini ada peluang terkait integrasi – interkoneksinya. Agama adalah realitas kemanusiaannya, sedangkan sains adalah alat untuk menuju pada kebenaran atau realitas tersebut.

Lembaga pendidikan Islam memiliki peran yang sangat penting untuk mengantarkan perpaduan antara sains dan agama. Baik secara substantif maupun holistik. Mengapa? Karena lembaga pendidikan Islam memiliki ruang keberagamaan yang luas. Untuk memahami nilai-nilai keberagamaan itu maka perlu alat yang dinamakan sains.

Jika Kuntowijoyo menempatkan agama sebagai faktor penentu, dalam hal ini al-Quran sebagai basis dari lahirnya ilmu-ilmu yang integral, maka kesadaran yang perlu dibangun adalah; a). kesadaran adanya perubahan realitas, b). kesadaran kolektif, bukan hanya satu kelompok saja, c). kesadaran sejarah, artinya membuka kembali sejarah-sejarah sebagai landasan filosofis, pun teologisnya, d). kesadaran akan faktoor-faktor sosial, e). kesadaran adanya masyarakat yang abstrak dan heterogen, bukan sebaliknya, dan f). kesadaran objektifikasi, dengan kata lain Islam menjadi rahmatan lil alamin.

Di satu sisi agama memiliki wilayahnya sendiri, di sisi lain, sains juga dengan wilayahnya sendiri. Tetapi keduanya saling menopang satu sama lain.

Kembali kepada pendekatan integral, maka agama secara filosofis menyodorkan beragam informasi dari Tuhan yang berupa wahyu, ilham ataupun intuisi-intuisi. Sedangkan sains secara filosofis memiliki metodologi dari hasil-hasil kerja ilmiah, yang mana hal ini menjadi alat untuk menginterpretasikan pun merealisasikan agama. Lebih-lebih menyatakan kehadiran nilai-nilai keberagamaan di ruang-ruang terbuka. Dengan kata lain agamawan ataupun cendekiawan harus memiliki sikap yang terbuka satu sama lain.

Kerangka Filosofis dan Teologis
Pendekatan teologis agaknya akan selalu bersandingan bahkan erat kaitannya dengan apapun yang tampak di muka bumi ini. Bagi manusia memerlukan pola atau cara agar bisa berinteraksi satu dengan yang lain. Menentukan sikap atas apa yang terjadi.

Hal ini menjadi gambaran bahwa Nabi Muhammad diturunkan ke muka bumi ini tidak lain untuk menyempurnakan cara pandang dan pola sikap manusia. salah satu pendekatan untuk sampai kepada kerangka teologi itu adalah fikih. Mengapa? Karena fikih membahas secara yurisprudensi bagaimana segala sesuatu itu bermuatan ibadah kepada Tuhan. Ibadah yang mahdah dan ghairu mahdah.

Sains pun demikian, secara filosofis tentu memiliki nilai yang menjadi acuan dasar ditemu – gunakannya sains tersebut; aspek maslahah dan aspek mafsadah. Kedua aspek filosofis ini tentu berkaitan ketika sains itu dipergunakan atau ditampilkan secara umum.

Ibarat pisau, aspek kebermanfaatannya (maslahah) adalah untuk memotong bumbu, buah-buahan, sayuran dan bahan makanan lainnya. Dan akan bernilai mafsadah ketika pisau itu digunakan untuk memotong tangan atau membunuh. Sehingga jelas, likulli amrin fi maqashidiha, bahwa segala sesuatu tergantung pada kegunaan atau tujuannya. Paradigmanya bagaimana.

Dalam artikel yang ditulis Dr Muhammad Adib yang berjudul Harmonizin SAW and Science based on integration interconetion paradigm menampakkan bahwa fikih secara yurisprudensi tidak hanya berkutat pada ruang-ruang agama. Sehingga menutup pintu sains itu sendiri.

Dijelaskan bahwa, di samping adanya integraslisasi holistik antara agama, filsafat dan sains, agama dalam hal ini diwakili oleh fikih sebagai alat istinbat hukum juga memiliki lima prinsip di antaranya adalah; knowledge, practical, acquired, detailed sources dan human action.

Lima prinsip tersebut lahir dari paradigma agama yang kemudian terejawantahkan oleh pengetahuan, praktis, penerimaan terhadap realitas, sumber yang detail (al-Quran dan Hadits, pun ijma’ dan qiyas nantinya) serta interaksi kemanusiaan. Hal ini cukup menjadi landasan filosofis – teologis yang hasilnya adalah rahmatan lil’alamin.

Dengan kata lain, lima prinsip di atas lahir dengan adanya rasionalitas dari pengetahuan. Sains berfungsi sebagai alat pengurai. Dalam hal ini interpretasi Abed al Jabiri menjadi sangat signifikan terkait bayani, burhani dan irfani. Atau teks dan konteks. Tahapannya adalah agama kemudian menemui ruang teoantroposentrisme lalu lahirlah refleksi atau dediferensiasi sehingga terbentuklah perpaduan atau integralisasi.

Maka agama dapat terlihat perpanjangan tangannya melalui rasionalitas atau ilmu interpretasi. Dengan kata lain alasan dikotomi ilmu bukan lagi menjadi alasan yang relevan untuk memisahkan antara agama dan sains. [*]

Ahmad Dahri, Mahasiswa Pascasarjana IAI Al-Qolam, Malang.

Terkait

Dirosah Lainnya

SantriNews Network