Merayakan Keindonesiaan (10): Merajut Pilar Kultural Pemersatu Bangsa
Berbagai fakta dan data dari unsur kebudayaan Indonesia pada tulisan edisi-edisi sebelumnya, merupakan portofolio kebudayaan nusantara. Sebuah kumpulan catatan dokumentatif yang menginformasikan capaian prestasi kebudayaan dalam merajut keindonesiaan.
Terbukti secara empiris, semua suku, agama, budaya dan adat istiadat yang tumbuh dan berkembang di bumi nusantara, berkontribusi dalam menguatkan kebudayaan. Pertama, identitas bangsa. Sebuah paham tentang siapa kita dan siapa orang Indonesia. Kita adalah bangsa yang bersumpah bahwa bertanah air satu, tanah air Indonesia, berbangsa satu, bangsa Indonesia, dan berbahasa satu, bahasa Indonesia.
Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 ini, adalah tekad anak bangsa untuk hidup bersama dalam satu wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Baca juga: Catatan Saksi di Balik Dekrit Presiden Gus Dur
Tekad ini tak berarti mengingkari identitas kebudayaan Indonesia yang beranekaragam. Bangsa ini bangsa yang majemuk. Secara fakta kemajemukan nampak dilihat dari segi historis, sosiologis dan antropologis. Siapa pun tak bisa membantah. Namun, kemajemukan suku, agama, budaya dan adat istiadat merupakan lahan subur bagi persatuan dan kesatuan bangsa.
Dalam perspektif solidaritas Emile Durkhaim, persatuan dan kesatuan Indonesia bukan termasuk solidaritas mekanik karena kesamaan, tetapi merupakan tergolong pada solidaritas organik sebab perbedaan. Prof Buya Ahmad Syafii Maarif acapkali menyebut identitas keindonesiaan dengan “unity in diversity”, bersatu dalam perbedaan, dan berbeda dalam persatuan.
Ungkapan tersebut seakan terasa sangat klise, namun sesungguhnya itu praktek aktual kehidupan berbangsa dan bernegara. Bahwa Bhineka Tunggal Ika (berbeda-beda tetap satu jua) merupakan pilar kultural Indonesia. Seluruh anak bangsa menyadari perbedaan tak menjadi penghalang persatuan dan persatuan. Pun demikian pula sebaliknya, tak menghilangkan perbedaan.
Keanekaragaman budaya merupakan kekayaan bangsa. Unsur budaya yang tetap bertahan telah melewati seleksi alam yang sarat pertentangan kelas sosial ala teori Karl Marx. Dan, unsur budaya yang musnah telah kehilangan manfaat bagi anak bangsa itu sendiri.
Semua unsur kebudayaan itu diajarkan, dibagikan dan diwariskan dari satu generasi pada generasi lain. Sebab, kebudayaan sejatinya way of life (jalan hidup) dan habitus yang berlaku di tengah-tengah kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kedua, alat pemersatu bangsa. Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika merupakan produk kebudayaan adiluhur. Empat pilar keindonesiaan itu state of mind (keadaan pemikiran) yang menjadi landasan ideal dan operasional dalam menata, mengelola dan mewujudkan cita-cita nasional. Yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Empat pilar di atas merupakan perjanjian luhur seluruh anak bangsa dalam memajukan kehidupan kebangsaan berdasarkan pada Pancasila, UUD 1945, NKRi dan Bhineka Tunggal Ika. Selain itu, untuk menanggalkan ideologi sektarian, hukum bernuansa SARA, gerakan sparatisme dan politik identitas, demi keutuhan dan kelanjutan nation state (negara bangsa) Indonesia.
Baca juga: Kiai Madura, Poligami dan Orkestra Maskulinitas
Indonesia satu kesatuan otoritas, satu kesatuan wilayah, satu kesatuan cita-cita, satu kesatuan nasib, meski keindonesiaan itu sendiri merupakan rajutan kebhinekaan suku, agama, budaya dan adat istiadat. Kebudayaan nasional merupakan hybrid culture sebagai titik persamaan dari persoalan agung budaya bangsa satu atau lebih. Persamaan itu yang membentuk budaya nasional yang menjadi alat pemersatu bangsa.
Jelaslah, Indonesia bukan masalah Jakarta semata, tapi juga Banda Aceh, Medan, Padang, Pekanbaru, Tanjung Pinang, Jambi, Palembang, Pangkal Pinang, Bengkulu, Bandar Lampung, Jakarta, Serang, Bandung, Semarang, Surabaya, Denpasar, Mataram, Kupang, Pontianak, Palangkaraya, Banjarmasin, Samarinda, Tanjung Selor, Manado, Gorontalo, Palu, Mamuju, Makassar, Kendari, Ambon, Sofifi, Manokwari, Jayapura dan seluruh wilayah Indonesia lainnya.
Indonesia bukan soal suku Jawa belaka, tapi juga Jawa, Betawi, Sunda, Dayak, Batak, Bugis, Madura, Banjar, Ambon, Minang, dan seluruh 1.340 suku bangsa lainnya.
Indonesia bukan perihal agama Islam saja, tapi juga Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu, Budha, Konghucu, dan seluruh 187 aliran kepercayaan yang yang tumbuh di rahim Ibu Pertiwi. Dan seterusnya.
Ketiga, proyeksi budaya (cultural projection) dari masa depan Indonesia. Rachel Mason memotret pendidikan di Britania Raya sebagai ikhtiar proyeksi budaya untuk menghindari rasialitas dan diskriminasi antar warga kulit hitam, putih dan berwarna.
Pendidikan dalam keluarga, sekolah dan masyarakat berorientasi pada pembangunan kebudayaan nasional tanpa menafikan proses pelestarian budaya lokal, pengembangan multikulturalisme, serta partisipasi kultural warga bangsa.
Esensi pembangunan kebudayaan menurut Koentjaraningrat dalam bukunya, Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan, adalah pembangunan mentalitas. Maju mundurnya bangsa ini bergantung pada mentalitas bangsa itu sendiri.
Mentalitas menyangkut cara berfikir, berinteraksi dan berhubungan dengan dunia global. Bangsa ini mendapat pembelajaran sejarah dari para leluhur bangsa ini lebih dari cukup untuk dihayati dan diamalkan dalam membangun kehidupan berbangsa dan bernegara.
Seperti belajar kejujuran pada Ratu Shima (648-674 M) dari Kerajaan Kalingga, etos kerja pada Raja Samaratungga (792-835 M) dari Mataram Kuno, patrotisme dan bela tanah Air pada Sultan Agung (1613-1645) dari Mataram Islam, dan lain sebagainya.
Pada hakikatnya, pembangunan kebudayaan adalah pembangunan mentalitas adiluhur dan menjauhi mentalitas rendah bangsa, seperti kritik Mochtar Lubis pada Pidato Kebudayaan di Taman Ismail Marzuki (TIM) pada 1977.
Dalam buku Manusia Indonesia, Lubis mengemukakan 6 sifat buruk manusia Indonesia. Antara lain: munafik, enggan dan segan bertanggungjawab atas perbuatannya, bersifat dan berperilaku feodal, percaya takhayul, artistik atau berbakat seni, lemah watak atau karakternya.
Jadi, sosialisasi dan inkulturasi dalam bingkai pendidikan sebagai ujung tombak pembangunan kebudayaan, merupakan proyek budaya adiluhur bangsa bagi masa depan Indonesia. Tanpa itu, Indonesia akan tercerabut dari jati dirinya, dan akan menjadi bangsa besar tapi dengan pikiran yang kecil. (*)
Moch Eksan, Pendiri Eksan Institute.