Jelang Kongres XIX PMII
Ijtihad PMII Menuju Paradigma Partisipasi Progresif (2)

Oleh: Mulyadin Permana
Babak baru dialektika dan dinamika pemikiran, juga pertarungan gerakan menemukan persimpangannya ketika Gusdur dilantik menjadi presiden 20 Oktober 1999. Setiap jalan menyimpan madu dan racun sekaligus.
Madu karena kelompok NU termasuk PMII yang tadinya adalah kaum pinggiran, naik takhta setelah 30 tahun diperlakukan diskriminatif oleh rezim orde baru. Jadi racun karena paradigma PMII yang membuka jalan kekritisan harus mampu menjaga komitmen dan konsistensi sebagai agent of change dan agent of social control, jika tidak mau disebut hipokrit intelektual.
Jalan tengahnya, A Malik Haramain (Ketua Umum periode 2003-2005) mencoba memperkenalkan paradigma “Membangun Sentrum Gerakan di Era Neo Liberal.” Paradigma baru itu diharapkan menjadi alternatif bagi lahirnya new common enemy sebagai sasaran gerakan kritis PMII. Neo liberalisme diposisikan sebagai musuh baru yang nyatanya sulit diidentifikasi dan dimaterialkan secara praksis, sehingga paradigma ini tidak disahkan sebagai pengganti PKT.
Upaya yang sama pula dilakukan oleh Hery Haryanto Azumi (Ketua Umum Periode 2005-2008) dengan membuat “Paradigma Menggiring Arus” sebagai antitesa dari Paradigma Arus Balik Masyarakat Pinggiran, paling tidak transformasi atau penggeseran dari Paradigma Pergerakan.
PMII dipandang sudah tak perlu melawan arus yang hanya menghabiskan energi tanpa hasil apa-apa, tetapi bagaimana arus itu digiring ke arah yang diinginkan oleh PMII. Namun, lagi-lagi belum diterima secara terbuka oleh seluruh kader PMII yang telanjur memaknai PMII sebagai wadah gerakan mahasiswa kritis anti kemapanan.
Dialektika sejarah perkembangan paradigma PMII menggambarkan betapa alotnya transformasi gagasan kritis ke pandangan moderat, sehingga PKT masih bertahan hingga saat ini. Sebenarnya, kader PMII sudah memposisikan diri dalam percaturan gerakan substansial partisipatif.
Hal itu terbukti dengan adanya diaspora kader ke berbagai posisi di pemerintahan baik legislatif, eksekutif, yudikatif dan berbagai profesi di bidang ekonomi, keuangan, perbankan, media, bisnis, pertambangan, perminyakan dan dunia industri lainnya. PKT sesungguhnya hanyalah wacana diakronik, sudah tidak implementatif.
“Lha, bagaimana mau melawan pemerintah, toh kader PMII menjadi bagian dari kabinet sejak era Gusdur. Era Presiden Jokowi lebih banyak pos menteri dipegang oleh kader PMII. Di berbagai partai pun terdapat kader PMII, bahkan menjadi pucuk pimpinan partai politik yang notabene berorientasi pada kekuasaan,” tegas Rahmat yang biasa nangkring di kementerian.
Lagipula, negara bukan lagi musuh rakyat, tetapi alat untuk mensejahterakan rakyat. Politik dan kekuasaan bukan lagi alat untuk melanggengkan hegemoni, tetapi jembatan untuk memperbaiki dan memajukan bangsa.
Maka, kader PMII harus menjadi bagian di dalam sistem (negara/ pemerintah) untuk berpartisipasi membangun demokrasi dan civil society. Bukan sebaliknya, membangun gerakan perlawanan untuk meruntuhkan kemapanan yang telah dibangun oleh negara. Keruntuhan kekuasaan hanya akan berdampak pada kerusakan dan stagnasi pembangunan.
Lihat berbagai gerakan perlawanan rakyat atau kudeta militer di Timur Tengah, justru membawa kehancuran dan kemunduran yang luar biasa bagi bangsa dan peradabannya.
Soal nasib PKT, PB PMII masa kepemimpinan Aminuddin Ma’ruf (2014-2017) sudah tidak eksplisit memasukkan materi PKT dalam kurikulum kaderisasi. PKT yang tadinya dijelaskan sebagai landasan perjuangan PMII sejak Mapaba dan PKD, kini hanya menghiasi deretan kursi kaderisasi dengan nama Paradigma PMII dalam arti implisit dan general.
Sekali lagi bukan PKT. Artinya, PKT sudah tidak diinginkan, hanya saja namanya masih terpampang di bangku cadangan yang ogah dimainkan. Mau dilego, belum ada pengganti.
Mulyadin Permana, Master Antropologi FISIP Universitas Indonesia, Ketua Umum PKC PMII DKI Jakarta periode 2014-2016, Bakal Calon Ketua PB PMII Periode 2017-2019.