Meluruskan Paradigma Pesta Tahun Baru

Moment pergantian tahun begitu sangat dinantikan oleh setiap orang di dunia tak terkecuali di Indonesia. Tak jarang diantara mereka yang menyambutnya dengan berpesta ria, hiburan musik dan meniup terompet di detik-detik terakhir pergantian tahun tersebut. Sehingga tak jarang pada momentum tahun tempat wisata dan alun-alun selalu dibanjiri manusia.

Mereka rela berdasak-desakan, demi mengikuti perayaan tahun baru. Dengan sanak familinyapun mereka rela menikmati kejamnya angin malam demi menunggu detik-detik pergantian tahun tersebut.

Melihat antusiasme masyarakat terhadap pergantian tahun ini, seakan tahun baru adalah momen istimewah yang tidak boleh terlewatkan. Secara historis, tahun baru pertama kali dirayakan pada tanggal 1 Januari 45 SM. Tidak lama setelah Julius Caesar dinobatkan sebagai kaisar Roma, ia memutuskan untuk mengganti penanggalan tradisional Romawi yang telah diciptakan sejak abad ketujuh SM.

Dalam mendesain kalender baru ini, Julius Caesar dibantu oleh Sosigenes, seorang ahli astronomi dari Iskandariyah, yang menyarankan agar penanggalan baru itu dibuat dengan mengikuti revolusi matahari, sebagaimana yang dilakukan orang-orang Mesir.

Satu tahun dalam penanggalan baru itu dihitung sebanyak 365 seperempat hari dan Caesar menambahkan 67 hari pada tahun 45 SM sehingga tahun 46 SM dimulai pada 1 Januari. Caesar juga memerintahkan agar setiap empat tahun, satu hari ditambahkan kepada bulan Februari, yang secara teoritis bisa menghindari penyimpangan dalam kalender baru ini.

Tidak lama sebelum Caesar terbunuh di tahun 44 SM, dia mengubah nama bulan Quintilis dengan namanya, yaitu Julius atau Juli. Kemudian, nama bulan Sextilis diganti dengan nama pengganti Julius Caesar, Kaisar Augustus, menjadi bulan Agustus.

Berdasarkan hal tersebut, maka tahun baru 1 Januari telah dijadikan sebagai salah satu hari suci umat Kristen di berbagai belahan negara dunia terutama yang menganut agama Kristen seperti ; Brazil, Jerman, Amerika dan lain-lain. Namun kenyataannya, tahun baru sudah lama menjadi tradisi sekuler yang menjadikannya sebagai hari libur umum nasional untuk semua warga Dunia.

Pada mulanya perayaan ini dirayakan baik oleh orang Yahudi yang dihitung sejak bulan baru pada akhir September. Selanjutnya menurut kalender Julianus, tahun Romawi dimulai pada tanggal 1 Januari. Paus Gregorius XIII mengubahnya menjadi 1 Januari pada tahun 1582 dan hingga kini seluruh dunia merayakannya pada tanggal tersebut. Kini, umat manusia di dunia telah memasuki tahun baru 2016.

Haruskah Bersukaria?
Haruskah kita berpesta menyambut tahun baru 2016 ini? Pesta identik suatu perayaan atas sebuah keberhasilan atau suatu prestasi. Dalam konteks ini, pantaskah kita berprestas sementara kita sepanjang tahun 2015 tidak mempunyai prestasi hidup apa-apa sebagai makhlus sosial.

Lalu apa yang mau kita rayakan pada tahun baru 2016 ini? Menyambut tahun baru dengan sukaria dan pesta menurut hemat saya adalah paradigma yang salah.

Mengapa? Karena berubahnya tahun, semakin menegaskan bahwa waktu kita hidup di dunia akan semakin berkurang. Sehingga semakin sedikit kesempatan kita untuk berbuat baik kepada sesama maupun kepada Sang Pencipta.

Secara subtantif, tidak ada hal yang baru dalam momentum tahun baru. Sehingga tindakan bersukaria hanya akan menciptakan euforia yang miskin makna. Bahkan euforia yang berlebihan justru akan menimbulkan kemafsadatan secara sosial dan geberasi bangsa.

Mengapa? Karena momentum perayaan tahun baru seringkali disalah gunakan salah satunya ialah; pesta miras, trak-trakan, panggung musik yang menampilkan goyang erotis, dan aksi-aksi negatif lainnya. Fenomena ini semacam harus kita fikirkan bersama agar tidak menjadi candu bagi masyarakat. Berpesta dan bersukaria adalah hal yang lumrah dalam kehidupan, tapi harus mengerti batas-batas etik dan moralitasnya.

Karenaya, tahun baru harusnya menjadi titik tolak refleksi kita dalam mengembalikan semangat bakti pada agama, bangsa dan Negara. Prilaku-prilaku negatif yang dilakukan sepanjag tahun sebelumnya harus menjadi cerminan dalam mengarungi hidup lebih lanjut di tahun baru.

Dosa-dosa masa lalu yang terjadi pada tahun-tahun sebelumnya harus diupayakan dihapus dengan bakti yang tulus pada sesama maupun pada Sang Pencipta. Hal ini harus dilakukan oleh semua elemen masyarakat terutama para elit-elit pemerintah yang pada tahun sebelumnya mempunyai kinerja yang kurang baik harus dimulai menata diri untuk menyongsong perbaikan dalam menyelesaikan problematika kebangsaan.

Dengan begitu, momentum tahun baru seharusnya menjadi wahana evaluasi diri dan intropeksi bagi semua elemen masyarakat terhadap prilaku sosial kita selama tahun sebelumnya, bukan justu menjadi momentum untuk berpesta ria yang bertentangan dengan norma agama, norma sosial dan norma asusila.

Ketika kita melakukan intropeksi diri berarti setia dalam menjalani hidup. Karena kesetiaan selalu melibatkan kejujuran. Dan kejujuran adalah moment, ketika kata dan tindakan berjalan searah dan kejujuran adalah jantung hati dari kesetiaan. Tanpa kejujuran tidak akan pernah ada kesetiaan.

Di Indonesia sedang mengalami krisis kejujuran. Praktek manipulatif terjadi dalam berbagai aspek kehidupan. Bahkan, semakin lama kejujuran semakin sulit ditemukan dewasa ini. Politisi yang berbohong. Pengusaha yang menipu konsumen. Suami yang menipu istrinya, atau sebaliknya. Perempuan yang menipu kekasihnya, dan sebagainya.

Jika kejujuran dan kesetiaan telah lenyap, maka kepercayaan juga akan lenyap. Tanpa kepercayaan tidak akan ada persahabatan. Tanpa kepercayaan keluarga pun akan rapuh. Jika keluarga rapuh maka masyarakat secara keseluruhan juga mengalami kerapuhan. Jika ingin membangun suatu bangsa, jadikan kejujuran sebagi pondasinya.

Ala kulli hal, di awal tahun ini, kita perlu mempertegas komitmen kita pada nilai kejujuran dan kesetiaan. Kita perlu menempatkan nilai-nilai ini dalam keseharian hidup kita. Hanya dengan begitu kehidupan kita jadi berkualitas, baik untuk diri kita sendiri, maupun untuk orang lain. Hanya dengan begitu hidup kita jadi bermakna.

Oleh karena itu, momentum tahun baru adalah moment untuk menata hidup baru dari yang tidak baik menjadi baik, dari yang tidak jujur menjadi jujur, dari yang tidak berintegritas menjadi berintegritas, dari yang korupsi menjadi tidak korupsi dan lain sebagainya. Itulah sebenarnya makna tahun baru yakni memulai hidup dan prilaku baru yang lebih baik. Wallahu A’lam. (*)

Mushafi Miftah, Dosen IAI Nurul Jadid Paiton Probolinggo.

Terkait

Opini Lainnya

SantriNews Network