Meluruskan Sejarah Kiai Yang Tertukar

Judul Buku : Biografi Kiai Ahmad Dahlan Aktivis Pergerakan dan Pembela Ajaran Aswaja
Penulis : Wasid Mansyur
Penerbit : Pustaka Idea, Surabaya
Tahun Terbit : 2015
Peresensi : Rangga Sa’adillah S.A.P.
SUDAH mafhum nama KH Abdul Wahab Chasbullah dan KH Dahlan sebagai pendiri Taswirul Afkar (embrio Nahdlatul Ulama). Namun yang menjadi pertanyaan khalayak adalah siapa sebenarnya Kiai Dahlan yang dimaksud disini? Hingga memunculkan anggapan Kiai Dahlan pendiri Taswirul Afkar adalah Beliau yang mendirikan Muhammadiyah. Inilah sejarah yang tertukar selama ini.
Di kalangan NU sendiri nama Kiai Dahlan cukup banyak dijumpai. Terdapat tiga tokoh yang memiliki nama Dahlan. Pertama, KH Ahmad Dahlan Kebondalem Surabaya, pernah menjabat Wakil Rais PBNU (HBNO) periode 1926 dan salah satu pendiri MIAI. Kedua, KH Dahlan Abdul Qahar dari Kertosono, yang pernah mendampingi KH A Wahab Hasbullah dan Syaikh Ghanaim al-Misri menghadap Raja Ibnu Saud dalam misi komite Hijaz.
Ketiga, KH Mohammad Dahlan asal Pasuruan, ketua Cabang NU Bangil (Pasuruan) tahun 1935. Minimnya sumber sejarah dan nama-nama tokoh yang identik mengakibatkan distorsi cerita sejarah. Manakah Kiai Dahlan yang sebagai pendiri Taswirul Afkar, Kiai Dahlan milik Muhammadiyah atau Kiai Dahlan milik NU ?
Oleh karena itu, kejelian mengetahui nama tokoh ini penting sebab cerita-cerita tentang tentang Kiai Dahlan (yang dimaksud disini) dalam referensi sejarah masih ditemukan beberapa data yang kurang akurat -untuk tidak mengatakan salah””sehingga bila dibiarkan dapat berdampak pada kaburnya peran strategis yang pernah ia kiprahkan.
Perlu diketahui, nama kecil yang diberikan keluarga untuk Kiai Dahlan adalah Ahmad Dahlan, bukan Muhammad Dahlan sebagaimana ditulis oleh sejarawan Deliar Noer. Selanjutnya, melalui ikhtiar sejarawan NU Choirul Anam menambahkan nama akhir Kiai Dahlan dengan nama ayahnya (Ahyad) menjadi Kiai Ahmad Dahlan Ahyad; untuk membedakan dengan KH Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah.
Sekilas Biografi
Kiai Dahlan lahir tanggal 13 Muharram 1303 H bertepatan dengan tanggal 30 Oktober 1885 M di Kebondalem Surabaya. Yakni sebuah wilayah strategis yang terletak di timur makam Sunan Ampel. Ia adalah putra keempat dari enam bersaudara, yang terlahir dari pasangan KH Muhammad Ahyad dan Hj. Nyai Mardliyah.
Nasab melalui ayahnya Kiai Ahyad adalah turunan ketujuh bersambung dengan Sayyid Sulaiman yang dimakamkan di Mojoagung Jombang. Dengan begitu, ayah Kiai Dahlan masih rintisan darah dari keturuan Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati Cirebon. Sedangkan ibu Nyai Mardliyah (ibu Kiai Dahlan) adalah adik KH. Abdul Kahar saudagar kaya nan terkenal dari Kawatan Surabaya juga cukup dekat dengan Kiai-Kiai NU.
Perpaduan latar belakang kedua orang tuanya tersebut, ayah sebagai agamawan dan ibu sebagai saudagar kelak menjadikannya mewarisi karakter-karakter agamawan nan entrepreneur. Meskipun demikian,
Dahlan muda tidak mendulang kesuksesan secara tiba-tiba, melainkan melalui jalan terjal. Mula-mula ia belajar agama pada ayahnya sendiri. Melalui restu orangtuanya nyantri ke Syaikhona Kholil Kademangan Bangkalan. Kemudian melanjutkan pengembaraan ilmu ke Kiai Mas Bahar Sidogiri Pasuruan. Rantai geneologi keilmuan tersebut menjadikan Kiai Dahlan memiliki pandangan agama yang luas nan moderat ala Islam ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah.
Data dari Gunseikanbu Tjabang I Jakarta, Regno A 305, pantas dijadikan rujukan awal bagaimana kiprah Kiai Dahlan. Data kemiliteran Jepang itu menyebutkan bahwa Kiai Dahlan adalah pengasuh Pesantren Kebondalem, menjadi biro konsultan perjalanan Haji, pengajar di Masjid Sunan Ampel Surabaya, dan terlibat dalam proses berdirinya Taswirul Afkar, NU dan MIAI.
Aktivitas-aktivitas tersebut menggambarkan betapa Kiai Dahlan begitu berinteraksi dalam dunia pergerakan, sekalipun dalam perjalanan kehidupannya lebih banyak berkecimpung pada dunia keagamaan. Salah satu karyanya Tadzkirat al-Naf’ah diterbitkan tahun 1353 H/ 1935 merefleksikan tanggapannya terhadap isu-isu keagamaan pada jamannya.
Meskipun hanya 26 halaman, kitab ini banyak berisi ghazw al-Fikr antara Aswaja dengan Wahabi. Untuk mengatakan kelompok Wahabi ini Kiai Dahlan menggunakan bahasa kiasan “yaitu pelajar yang berlagak seperti iblis dengan mengaku sebagai Mujtahid”. Bahasa kiasan tersebut adalah potret betapa angkuhnya paham Wahabi yang menolak tradisi bermadzhab, tradisi tasawwuf serta auliya’ yang mencapa tahap ma’rifatullah.
Dalam Tadzkirat al-Naf’ah Kiai Dahlan membuat pernyataan yang cukup tegas bahwa mereka yang menuduh “bahwa semua praktik keagamaan yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad bagian dari bid’ah” adalah orang-orang bodoh dan tidak memiliki pendirian yang kuat (al-Juhhal al-Mutahawwirun).
Pasalnya kategori ini yang dimaksud ini adalah kelompok Wahabi yang selalu berteriak bid’ah dan syirik kepada penganut Aswaja, khususnya secara local adalah kalangan pesantren dan NU. Maka, bahasan kitab ini sebenarnya didasari oleh keterpanggilan Kiai Dahlan menyelamatkan ideologi Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah pada jamannya.
Akhirnya dengan membaca buku ini, pembaca akan merasakan betapa Kiai Dahlan banyak menjumpai jalan terjal sebagai pendiri Taswirul Afkar (embrio NU). Juga betapa angkuhnya pelajar yang mengaku sebagai Mujtahid menolak tradisi tawadhu’ ulama-ulama NU yang begitu teguh memegang tradisi salafiyun. [*]
Rangga Sa’adillah S.A.P, Dosen STAI Taswirul Akfar Surabaya.