Jelang Kongres XIX PMII

Ijtihad PMII Menuju Paradigma Partisipasi Progresif (3)

Oleh: Mulyadin Permana

PMII sebagai organisasi berhaluan Islam Ahlussunnah wal jama’ah (Aswaja) sejak berdirinya 17 April 1960 sejatinya bukanlah gerakan perlawanan, tetapi perkumpulan ideologis yang hendak memperjuangkan nilai-nilai yang moderat, toleran, adil dan seimbang, mengukuhkan Islam rahmatan lil’alamin dan perjuangan menjaga cita-cita kemerdekaan Indonesia.

PMII harus kembali ke khittahnya, yaitu sebagai pergerakan mahasiswa yang berjuang untuk Islam dan Indonesia. Islam yang ditanam, disebar dan diperjuangkan terus-menerus oleh PMII sekali lagi adalah Islam ramah, bukan Islam marah, sebagai representasi Aswaja. Indonesia yang diidam-idamkan oleh PMII adalah Indonesia yang maju dan merdeka, bukan Indonesia yang selalu disandera oleh perlawanan kelompok intelektualnya, tetapi dibangun dengan keringat dan kemapanan generasinya.

Maka, mahasiswa khususnya kader PMII sudah seharusnya partisipatif membangun bangsa di berbagai sektor kehidupan. Partisipasi PMII bukan partisipasi oportunis, tetapi partisipasi progresif. Saya menawarkan Paradigma Partisipasi Progresif sebagai pengganti PKT.

Apa itu Partisipasi Progresif?

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), partisipasi adalah perihal turut berperan serta dalam suatu kegiatan, keikutsertaan, peran serta. Dalam ilmu sosial, partisipasi dimaknai sebagai mekanisme bagi masyarakat untuk mengekspresikan diri dengan menggunakan pengaruhnya dalam persoalan politik, ekonomi, budaya, manajemen dan berbagai keputusan sosial lainnya.

Merujuk pada pemikiran klasik, esensi partisipasi individu sudah menjadi kajian para ilmuan. Misalnya, ketika Hegel melihat dialektika manusia (serta rohnya) dalam sejarah. Menurutnya, sejarah adalah dialektika roh dengan alam untuk mengaktualisasikan dirinya atau self-realization.

Roh manusia atau manusia itu sendiri merealisasikan diri ke alam. Roh saya merealisasikan diri melalui kerja saya, hasil tangan saya. Hutan menjadi desa karena kerja saya atau roh saya merealisasikan diri dengan kerja saya. Jika dimaknai secara kontemporer, bahwa apa yang hadir di dunia ini berupa pembangunan, keadilan, kebahagiaan, kesejahteraan, good governence, demokrasi dan sebagainnya merupakan hasil partisipasi saya di alam. Antara manusia dengan alam sudah menyatu, man part of nature.

Maka, baik dan buruknya alam, negara, pemerintahan, kekuasaan dan kehidupan rakyat suatu bangsa tergantung partisipasi rakyatnya itu sendiri.

Bagi Talcott Parsons, dunia fisik itu bersifat mekanistik dan deterministik, tetapi juga ada partisipasi spirit yang bebas, sehingga ada ruang untuk pilihan (volunteristik). Artinya, dunia yang diatur (berjalan seperti) mesin pun masih ada partisipasi manusia yang ikut serta menentukan arah geraknya.

Radcliffe Brown yang memperkenalkan teori structural functionalism melihat masyarakat sebagai representasi kolektif, yaitu individu berpartisipasi dalam masyarakat untuk memenuhi kebutuhan kolektif.

Dalam representasi kolektif itu ada struktur yang merupakan suatu pola berdasarkan status dan peran dalam masyarakat. Status dan peran itu merupakan partisipasi setiap individu untuk membangun masyarakatnya. Partisipasi itu merupakan keniscayaan bagi manusia sebagai zoon politicon menurut Aristoteles, khususnya mahasiswa yang mampu mempertautkan teori dengan kehidupan seperti konsep intelektual organik Gramsci.

Pun, fakta sosial Durkheim yang bersifat eksternal, membujuk dan mempangaruhi (coercive), membatasi dan mengontrol (constrain) merupakan hasil representasi kolektif individu. Fakta sosial merupakan gejala sosial yang abstrak, misalnya hukum, struktur sosial, adat kebiasan, nilai, norma, bahasa, agama, dan tatanan kehidupan lainnya. Ada partisipasi individu dalam pembentukan fakta sosial yang sui generis itu.

Sementara, progresif adalah sesuatu yang bersifat ke arah kemajuan, berhaluan ke arah perbaikan keadaan dan selalu bertingkat-tingkat naik (semakin baik). Dalam kamus bahasa Inggris, “progressive is favoring or advocating progress, change, improvement, or reform, as opposed to wishing to maintain things as they are,” artinya perubahan pada kemajuan, peningkatan atau perbaikan kondisi yang lebih baik atau terus-menerus (continous improvement).

Partisipasi progresif adalah sebuah paradigma berfikir dan bertindak dalam melakukan perubahan terus-menerus ke arah yang lebih baik atau making progress di mana kader PMII terlibat aktif dalam perubahan itu.

Partisipasi bukan berarti memaksakan perubahan, tetapi terlibat dalam setiap proses kehidupan, turut serta bagi terbentuk dan berjalannya fakta sosial atau proses sosial, politik, ekonomi dan sebagainya yang lebih baik dalam masyarakat.

Mengapa PMII harus terlibat? Karena PMII memiliki nilai luhur Aswaja, Islam rahmatan lil’alamin dan punya komitmen memperjuangkan cita-cita kemerdekaan Indonesia. Jika memang PMII punya nilai, tujuan dan cita-cita adiluhung, lantas mengapa harus melawan di luar sistem.

Justru PMII harus merebut sistem itu dan berparsipasi aktif di dalamnya. Termasuk soal modernisasi dan kapitalisme, PMII harus mengambil bagian dan menguasainya untuk diarahkan atau dibelokkan bagi kemaslahatan bangsa dan negara.

Maka, dengan Paradigma Partisipasi Progresif ini, PMII bisa menjalankan fungsinya dengan baik dalam rangka memberikan ilmu dan bakti untuk bangsa dan memperjuangkan keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia (selesai)

Mulyadin Permana, Master Antropologi FISIP Universitas Indonesia, Ketua Umum PKC PMII DKI Jakarta periode 2014-2016, Bakal Calon Ketua PB PMII Periode 2017-2019.

Terkait

Dirosah Lainnya

SantriNews Network