Catatan Kritis Usulan “Dialog Nasional” Oleh MUI

Oleh: Muhammad AS Hikam

Pasca aksi demo 411 dan 212 yang diselenggarakan oleh Gerakan Nasional Pembela Fatwa MUI (GNPF-MUI), Ketua Umum MUI KH Ma’ruf Amin melontarkan usulan kepada Presiden Jokowi agar diselenggarakan sebuah dialog nasional dalam rangka rujuk nasional.

KH Ma’ruf Amin beralasan bahwa sebuah dialog nasional diperlukan “untuk memfasilitasi komunikasi seluruh elemen bangsa. Tujuan dialog nasional, kata KH Ma’ruf Amin, adalah ““¦ guna menghindari kecurigaan-kecurigaan, prasangka yang justru bisa membuat salah paham.” Hal ini disebabkan karena “(a)da praduga-praduga yang tidak tepat“¦ (yang) “¦ tidak baik jika terus didiamkan karena berpotensi memecah persatuan seluruh elemen bangsa. Jadi perlu dibangun komunikasi semua pihak.”

KH Ma’ruf Amin merasa perlu untuk menyelenggarakan dialog nasional ini setelah terjadinya aksi-aksi demo yang bermula dari kasus tuduhan penistaan agama (Islam) oleh Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. KH Ma’ruf Amin menganggap “perlu ada konsensus kembali untuk membela NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika.”

Dalam kaitan ini, peran agama sangat penting, sebab “tidak terlepas dari keberadaan Indonesia yang religius.” Bagi Rais Aam PBNU itu, “beragama memang harus dijamin, tetapi kebebasan beragama secara menyimpang tidak dapat dibenarkan-dijamin.” Jika dicermati, maka sejatinya yang menjadi perhatian dan kepedulian KH Ma’ruf Amin untuk melakukan dialog nasional adalah persoalan relasi antara negara dan agama (Islam) di negeri ini, menyusul terjadinya kasus Ahok.

Saya kira usulan tersebut masuk akal jika dilihat dari kepentingan strategis bagi Indonesia saat ini dan yang akan datang menghadapi berbagai ancaman keamanan nasional dalam dunia yang sedang berubah. Bagaimanapun juga, salah satu persepsi terhadap sumber ancaman yang paling utama bagi Indonesia bersumber dari muncul dan berkembang ideologi transnasional dan kekerasan yang memakai kedok agama, konflik horizontal dan bahkan terorisme.

Agama-agama di Indonesia, tak hanya Islam saja, memang perlu lebih intensif dalam komunikasi antar mereka sendiri dan dengan negara. Paradigma bernegara yang kini telah berubah setelah reformasi, khususnya penerapan sistem demokrasi konstitusional, mau tidak mau akan memengaruhi relasi negara dan agama serta pemeluknya. Dan umat Islam sebagai bagian integral bangsa Indonesia tentunya sangat berkepentingan untuk meneguhkan komitmen kebangsaan dalam bingkai NKRI.

Konsensus Elite Internal
Kendati demikian, saya melihat perlunya dibangun lebih dulu konsensus nasional bagi internal elite ormas-ormas Islam, sebelum dialog nasional itu dilaksanakan. Sebab fakta menunjukkan bahwa internal umat Islam di Indonesia juga bervariasi dalam penyikapan mereka terhadap masalah relasi agama dan negara, termasuk masalah yang terkait dengan hak beragama.

Selain itu, apakah MUI memiliki otoritas untuk menjadi representasi dari berbagai ormas Islam yang ada di negeri ini pun masih dipertanyakan. Jika MUI mengklaim sebagai representasi umat dan ormas Islam di Indonesia dan melakukan dialog nasional dengan Pemerintah yang merupakan representasi dari Negara, maka belum tentu hasilnya akan efektif. Belum lagi jika seandainya ormas-ormas yang akan dilibatkan oleh MUI ternyata dipertanyakan validitasnya, seperti, katakanlah, HTI.

Oleh karenanya apakah tidak sebaiknya dialog nasional yang diusulkan oleh Ketua Umum MUI itu diselenggarakan pasca-dialog nasional internal elite ormas-ormas Islam yang memang memiliki komitmen yang sama tentang kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia, lalu hasilnya akan didialogkan dengan Pemerintah.

Jika demikian, maka pertanyaan Presiden Jokowi mengenai “rujuk nasional” tidak perlu ada, karena semangat dialog nasional memang bukan mencari penyelesaian konflik atau dalam rangka rujuk. Presiden Jokowi benar ketika beliau mengatakan buat apa ada rujuk kalau faktanya tidak ada yang berantem.Yang ada adalah peneguhan kembali komitmen kehidupan kebangsaan, Pancasila, Konstitusi, dan kebhinnekaan dari umat beragama khususnya Islam.

Jika ada konsensus-konsensus baru yang akan dibuat, maka bingkainya pun sudah jelas karena pihak-pihak yang menolak Pancasila dan Konstitusi, serta bermaksud membentuk Kekhalifahan dan Negara Islam di Indonesia, otomatis tidak akan menjadi peserta dialog nasional.

Dialog nasional yang akan dilaksanakan jadinya bukanlah terkait dengan masalah-masalah mikro tetapi masalah strategis yang berjangka panjang dan terkait dengan keberlangsungan NKRI sebagaimana dimaksudkan oleh para pendiri negara. Umat Islam di Indonesia, sebagai bagian integral dari NKRI wajib mempertahankan eksistensi bangsa dan negara dari setiap ancaman. Dan ormas-ormas Islam yang memiliki komitmen kebangsaan dan kebernegaraan Indonesia tentu saja merupakan reprentasi-represenstasi mereka. (*)

Terkait

Dirosah Lainnya

SantriNews Network