Fatwa MUI Versus Sunan Kudus

Oleh: Muhammad AS Hikam
Saya tidak bisa membayangkan seandainya Sunan Kudus ketika membangun Masjid di Kudus yang tersohor dengan nama Masjid Menara atau Al-Manaar itu membaca fatwa MUI tentang larangan menggunakan atribut keagamaan Non-Muslim.
Seandainya Sunan Kudus patuh dengan fatwa MUI itu, apakah beliau akan berhasil menciptakan mahakarya arsitektural Masjid seperti Menara Kudus itu? Saya kok ragu. Sebab tanpa melakukan ‘hibriditasi’ dan ‘konvergensi’ serta ‘akulturalisasi’ budaya Hindu-Budha-Jawa dengan Islam, rasanya Menara anggun dan indah itu tak akan pernah kita saksikan.
Mengapa ada semacam kebuntuan dan bahkan kemunduran berfikir di kalangan pemimpin Islam padahal ada artefak dan warisan para jenius budaya seperti para Wali termasuk Sunan Kudus itu? Apakah para Ulama, Kiai, cendekiawan Muslim di Tanah Jawa dan Indonesia sekarang mengalami proses pemunduran intelektual dan budaya?
Jelas bahwa dalam konteks masyarakat heterogen dan majemuk seperti Indonesia, soal persinggungan dan akulturasi antar “atribut keagamaan” sulit ditolak dan mungkin malah tidak perlu ditolak. Atribut keagamaan adalah soal budaya, bukan otomatis soal keimanan per se.
Seandainya umat Kristiani di Jawa, dalam memeringati Natalan lalu bikin ornamen khas budaya Jawa, misalnya ada ketupat, ada janur kuning, ada tumpeng, apakah itu nanti juga akan dianggap sebagai “atribut keagamaan?” Daftar pertanyaan seperti itu bisa panjang.
Beberapa hari lalu, saya menghadiri acara seni kejadian “Kebo Ketan” di daerah Ngawi. Acara kolosal yang digagas dan dimotori seniman Bramantyo Prijosusilo itu, bertujuan menghidupkan kembali tradisi sedekah bumi, pelestarian lingkungan, festival kesenian (gamelan, musik pop, reog, jathilan, Tayub, resital puisi, dll) yang juga dibarengi dengan ekspresi religiusitas.
Karena itu, ada ritual Islam, yaitu pembacaan doa dan juga ritual tradisional Kejawen. Lalu apakah seni ini termasuk “kena” fatwa MUI tersebut? Kalau membaca fatwa MUI secara tuntas, jelas kena. Mengapa? Karena acara Kebo Ketan ini juga memakai “atribut keagamaan Non-Muslim”, padahal nyaris 90 persen pemrakarsa dan panitia dan para partisipannya adalah penganut agama Islam.
Konsep “atribut keagamaan Non-Muslim” yang digunakan dalam fatwa MUI, hemat saya, masih menimbulkan berbagai pertanyaan. Salah satu yang paling mendasar adalah pemahaman “atribut keagamaan” dan relasinya dengan budaya.
Selain itu, siapa target fatwa itu? Apakah fatwa tersebut hanya khusus dialamatkan kepada umat Islam terkait dengan perayaan Natal saja? Saya rasa tidak. Judul dari fatwa itu sendiri sangat jelas, yaitu “Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor 56 Tahun 2016 Tentang Hukum Menggunakan Atribut Keagamaan Non-Muslim.”
Jadi, fatwa ini bersifat umum bukan hanya untuk Natalan atau agama Kristen saja. Bahwa kemudian dipahami dan digunakan dalam kaitan Natalan, itu soal lain. Sebab bisa jadi lain kali digunakan juga untuk keperluan yang terkait agama Non Islam lainnya.
Walhasil, saya jadi sangat terenyuh dan ngungun mencermati kualitas para pemimpin Islam Indonesia di abad 21 ini, jika dibanding dengan kualitas para Wali pada abad 16. Seandainya para Wali Jawa kembali sugeng (hidup) dan membaca fatwa MUI tentang larangan menggunakan atribut keagamaan Non-Muslim ini, kira-kira apa yang akan mereka katakan? Silakan para sahabat menebaknya. (*)