“Wahabi Modern” versus “Wahabi Karatan”

Oleh: Sumanto Al Qurtuby

Sudah sering saya posting bahwa kelompok “Wahabi” itu bermacam-macam jenisnya, bukan sebuah komunitas tunggal dan seragam dalam pemikiran maupun tindakan keagamaannya.

Secara literal, kata “Wahabi” berarti merujuk pada sekelompok umat Islam yang mengikuti pemikiran Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab (Ibnu Abdul Wahhab), seorang reformis dan pembaharu Islam pada abad ke-18 di Najd, kawasan Saudi bagian tengah (yang kini wilayahnya meliputi Riyadh, al-Qassim, dan sebagian Ha’il).

Ibnu Abdul Wahhab sendiri dulu berguru pada sejumlah reformis militan India seperti Muhammad Hayat al-Sindi. Dialah guru yang sangat berpengaruh pada diri Syaikh Ibnu Abdul Wahhab dan mempengaruhi pemikiran dan reformasi keislamannya, meskipun tentu saja akar-akar pemikiran dan grakan reformisme Islam bisa dilacak sampai Ibnu Taimiyah (w. 1328) dan Ahmad bin Hanbal (w. 855).

Dua tokoh berpengaruh itu pemikiran-pemikirannya menginsprasi banyak kalangan Salafi dan neo-Salafi modern. Kelak, para ulama pengikut Ibnu Abdul Wahhab juga banyak yang mengikuti jejak beliau: belajar kepada para guru reformis Muslim India.

Ada banyak sekali buku dan tulisan yang membahas tentang sejarah dan perkembangan kelompok “Wahabi” ini (baik yang pro maupun kontra) yang tidak mungkin saya tulis disini. Para keturunan Ibnu Abdul Wahhab sampai sekarang masih ada. Para Mufti Besar Kerajaan Saudi pasti dipilih dari keturunan beliau (sekarang adalah Syaikh Abdulaziz bin Abdullah Al Syaikh).

Gerakan ini pada mulanya bernama “Muwahhidun” karena bertumpu pada gerakan “pemurnian tauhid” dari berbagai unsur dan tindakan keagaaman yang dipandang bisa “mengotori” Tuhan. Menurut Abdul Aziz Qassim (seorang sarjana Saudi), sebutan atau label “Wahabi” atau “Wahabisme” awalnya diberikan oleh Turki Usmani (Ottoman), musuh Arab Saudi.

Setelah Turki Usmani tumbang, Inggris melanjutkan sebutan “Wahabisme” dan turut memopulerkannya seantero Timur Tengah. Di Amerika Serikat, sebutan “Wahabi” baru dikenal pada tahun 1950an. Itupun yang dimaksud adalah kelompok Islam puritan dimana saja.

Di Saudi sendiri dewasa ini, para pengikut “Wahabisme” ini lebih suka disebut “Salafi”. Ada pula yang lebih “sreg” disebut “Hanbali”. Perlu diingat, mazhab resmi Saudi (seperti Qatar) memang bukan Wahabi tetapi Hanbali.

Memang, Ibnu Abdul Wahhab bukan seorang sarjana fiqih yang hebat seperti Ahmad bin Hanbal, Abu Hanifah, Imam Syafii, Malik bin Anas, dlsb. Ia lebih tepat disebut sebagai reformis gerakan pemurnian akidah.

Apakah para pengikut “Wahabisme” di Saudi atau Qatar memiliki pandangan dan pemikiran keagamaan yang seragam? Jelas tidak. Ada banyak sekali varian-varian “Wahabi”: dari yang liberal sampai yang ultra-konservatif semua ada. Ada “Wahabi modern, ada pula “Wahabi karatan”. Ada “Wahabi” yang mengikuti perkembangan zaman, ada pula jenis “Wahabi fosil” yang “membatu” dan “mengerak” seolah-olah hidup di zaman Denosaurus.

Para kolega, teman, dan murid-murid “Wahabi”-ku rata-rata dari kelompok liberal-moderat yang pemikiran-pemikiran sangat fleksibel dan maju, bukan yang kaku-njeku seperti patung Nyonya Meneer sebagaimana para “Wahabi KW” di Indonesia. Lebih jelasnya tentang varian-varian “Wahabi” ini, saya tulis di postingan berikutnya saja. Mohon bersabar, jangan kesusu tapi kalau mau nyusu juga tidak apa-apa. (bersambung).

Jabal Dhahran, Jazirah Arab

Terkait

Dirosah Lainnya

SantriNews Network