Hikam Zain: Kiai Versus Maling

Macam-macam kiai itu banyak sekali. Adakalanya kiai ceret, adakalanya kiai gentong.
Orang yang dinamakan kiai adalah orang yang sungguh-sungguh dalam menekuni ilmu agama dan juga mengamalkannya. Macam-macam kiai itu banyak sekali, adakalanya kiai ceret, adakalanya kiai gentong.
Kalau kiai ceret harus mencari gelas kemana-mana atau mengisi satu persatu dan mendatanginya. Kalau kiai gentong, kita yang harus mendatanginya.
Begitu banyak macam kiai, tetapi kiai yang sebenarnya adalah yang benar-benar bertakwa kepada Allah SWT, sebagaimana firman Allah yang disebutkan dalam Al-Quran:
إن أكرمكم عند الله أتقاكمÂ
Maka seorang kiai itu sifatnya dan juga prilaku serta hatinya (ini yang terpenting) harus jauh dari sifat hedonisme, materialisme dan sebagainya dengan berbagai syarat dan kriteria yang ada. Maka seorang kiai harus benar-benar kiai, bukan sekadar ikiae, bukan sekadar kiai karbitan, kiai musiman, kiai bulanan atau hanya sekadar kya-yalan
Di dalam kitab Ta’limul Muta’allim, etika ketika mencari guru dianjurkan mencari guru yang benar-benar wara’, benar-benar memahami ilmu agama dan juga mengamalkannya serta mempunyai sifat welas asih, rahmatan lil’alamin, bukan laknatan lil’alamin.
Ada sebuah kisah yang indah tentang sosok kiai yang benar-benar kiai. Beliau adalah Romo KH M Badruddin Anwar. Ketika beliau masih awal-awal membangun Pondok Pesantren putri An-Nur 2, di sana ada molen. Molen tersebut ditutupi terpal yang masih baru, sore dipasang oleh para santrinya, diantara santri tersebut adalah Ustadz Tauhid Abror.
Sore kemudian dipasang, malam dilihatnya tidak ada, akhirnya mereka para santri bingung dengan kejadian tersebut. Mereka punya inisiatif untuk mencari dan keesokan harinya ketemu di krebet senggrong dengan warna dan jenis yang sama, kemudian ditanyakan kepada yang bersangkutan “Sampean dapat dari mana terpal niki?”, jawab orangnya “kulo angsal tumbas saking niko”.
Salah satu santri (Ustadz Tauhid) berkata “Dimasa ae, sore sek tas masang, lakok bengi wes ilang.” Sebelum nggrebek para santri sowan ke Romo Kiai guna melaporkan kejadian tersebut. Setelah matur malahan Romo Kiai dawuh “Lha terus opoo lek dicolong?”
Pertanyaan yang membuat para santri yang lagi sowan terdiam seakan bingung dengan dawuh Romo Kiai. “Yo mungkin ae seng nyolong iku ora tau mangan enak, mungkin ae seng jupuk ekonomine kekurangan. Wes awakmu nango pasar kono tukokno 6 sak terong,” dawuh Romo Kiai.
Ustadz Tauhid bergumam dalam hatinya “Waduh iki ono maling kok kok malah dikon nggawakno oleh 6 sak terong.”
Setelah membeli, kemudian 6 sak terong tersebut diantar dengan becak dan diberikan kepada pencuri tadi. Dan apa yang terjadi? Orang tersebut benar-benar minta maaf dan ternyata benar bahwa pencuri tersebut adalah orang yang ekonominya sulit. Mungkin pada waktu itu dia mau makan tidak ada lauk yang enak.
Sebuah kisah yang membuka hati dan jiwa, bahwasannya seseorang itu harus mempunyai hati yang luwes. Sayyidina Umar bin Khatthab tidak menghad (menghukum) seseorang sebab mencuri yang mestinya dipotong tangannya, dikarenakan waktu itu musim paceklik yang semua kesulitan, akhirnya beliau bersikap luwes (tidak kaku, tidak keras, bertoleransi) menggunakan kebijakan yang terbaik.
Begitu banyak kisah tentang Romo KH M Badruddin yang sangat indah diceritakan, yang indah dibaca sejarahnya beliau, meskipun beliau sendiri tidak menulis, tetapi apa yang dilakukan beliau itu sangat pantas dan patut untuk ditulis sehingga dapat dibaca oleh orang-orang sesudahnya dan dapat dijadikan uswatun hasanah.
Semoga saya yang menulis ini dan dan para pembaca yang budiman mendapatkan ilmu yang manfaat. Terkhusus beliau Romo KH M Badruddin semoga panjang umur dan sehat wal afiat. Amin. (*)
Lumajang, 8 Oktober 2016.
Salam Takdzim
Achmad Zain Bad.
An Nur II Bululawang Malang.