Hawa Politik Kiai Pamekasan Versus Bangkalan

Ilustrasi pasangan capres-cawapres Joko Widodo-KH Maruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno di Pemilu 2019 (santrinews.com/asumsi.co)

Di pulau Madura, saya terhubung dengan para santri di Pamekasan dan di Bangkalan. Kedua kabupaten ini memiliki latar belakang keagamaan yang relatif sama yaitu komunitas Islam Tradisional.

Tetapi sedikit berbeda dengan Bangkalan yang nahdliyin banget, di Pamekasan cenderung tidak terlalu NU banget. Setidaknya jika menilik dari dua pesantren besar paling berpengaruh di sana. Tapi kita tidak akan membahas hal tersebut, di sesi kali ini saya ingin memotret suasana psikologis masyarakat bawah santri mendekati pemilihan presiden 2019 ini.

Para kaum elit lokal di kedua kabupaten ini sama-sama suka politik. Mereka memainkan peran politik mulai dari pemilihan kepala desa, pemilihan bupati, pemilihan legislatif, hingga pemilihan presiden. Lah, kondisi terakhir ini yang terasa di kedua kabupaten.

Tetapi perbedaannya adalah pada nuansa psikologis di mana kalau di Pamekasan ketegangan itu terasa hingga tingkat bawah, sedangkan di Bangkalan suasana ketegangan itu tidak terasa di kalangan masyarakat bawah.

Saya tidak akan bicara ketegangan di tingkat para pemain politik di kedua wilayah kabupaten ini karena biarlah itu urusan mereka. Tapi kenapa Bangkalan relatif lebih santai dibanding Pamekasan dalam menyikapi Pilpres ini. Berikut adalah analisis saya.

Pertama, pilihan bahasa politik para kiai. Terdapat stressing kalimat yang berbeda dalam komunikasi politik antara para kiai di Pamekasan dan di Bangkalan. Di Bangkalan, perbedaan arah politik di Bani Kholil (keturunan Syaikhona Muhammad Kholil) sebagai penguasa Bangkalan menjadikan mereka lebih soft dan terbuka.

Hal yang sama saya lihat pada pesantren yang memiliki banyak kiai dan pilihan politik yang beragam seperti di Tambakberas dan Guluk-guluk.

Sedangkan di Pamekasan, ragam pilihan politik dalam satu pesantren relatif tidak terjadi terutama dalam konteks pemilihan presiden. Hal ini membuat pilihan-pilihan bahasa yang digunakan membuat ngeri-ngeri sedap buat para santri yang banyak taqlid kepada para kiai.

Kedua, konservatisme lebih kental di Pamekasan dibanding Bangkalan. Setidaknya bisa dilihat dari kekuatan organisasi konservatif yang berbeda antara Pamekasan dan Bangkalan. Yang satu sedang giat-giatnya dengan Sholawat dan Tarekat, sedang yang satunya lagi sedang giat-giatnya dengan isu penegakan syariat Islam.

Sebutan dua kabupaten ini juga berbeda. Bangkalan dikenal sebagai kota sholawat dan Pamekasan dikenal sebagai kabupaten formalisasi syariat Islam serambi Madinah.

Itu menurut saya, entah menurut yang lain. Wallahu A’lam. (*)

Dr Ihsan Kamil Sahri, Analis Politik Kaum Sarungan, Alumnus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Terkait

Opini Lainnya

SantriNews Network