Menakar Idealitas Khilafah

Oleh Syarif Hidayat Santoso

DALAM sebuah riwayat dalam Musnad Imam Ahmad, Mu’jam Al Kabir Imam Thabarani dan Mustadrak Imam Hakim disebutkan bahwa suatu hari Marwan bin Hakam mengunjungi makam Rasulullah SAW di Madinah.

Di makam tersebut, Marwan mendapati seseorang sedang meletakkan wajahnya di makam Rasulullah. Marwan menghardik orang itu seraya berkata “Tahukah kamu, apa yang sedang kamu perbuat?” Lalu orang itu menoleh dan ternyata beliau adalah Sahabat Abu Ayyub Al Anshari. Abu Ayyub lalu menjawab “Ya, aku mendatangi Rasulullah dan aku tidak mendatangi sebongkah batu, aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Jangan tangisi agama ini jika ia dikendalikan oleh ahlinya, tetapi tangisilah agama ini apabila ia dikendalikan oleh yang bukan ahlinya”. Maksudnya, Anda, wahai Marwan tidak layak menjadi khalifah.

Bagi kaum nahdliyyin riwayat diatas sering dijadikan dasar pembolehan ziarah dan tabarruk, namun hadits diatas juga berisi satu kritikan terhadap khalifah Marwan bin Hakam yang dianggap tak layak menjadi khalifah. Kenapa ada kritikan sahabat terhadap khalifah Marwan bin Hakam, karena bisa jadi pada saat itu ada figur-figur lain yang lebih layak untuk diangkat menjadi khalifah, seperti Abdullah bin Umar dan Abdullah bin Zubair.

Marwan bin Hakam adalah khalifah ideal masa Umayyah karena dipilih melalui konferensi Jabiyah yang demokratis, namun Marwan tak dapat disebut pemimpin tunggal kaum muslim. Di Mekkah, berkuasa Abdullah bin Zubair yang juga didukung umat Islam. Abdullah bin Zubair dan pengikutnya dihabisi secara sadis oleh jenderal Umayyah, Hajjaj bin Yusuf Atssaqafi, di masa Abdul Malik bin Marwan. Prestasi sadisme Umayyah memang terletak pada dua tokoh yaitu khalifah Yazid dan Jenderal Hajjaj bin Yusuf. Di masa keduanya, darah umat Islam tertumpah sia-sia.

Riwayat diatas melengkapi banyak riwayat tentang ‘sisi lain’ beberapa khalifah. Menurut Ibnu Hajar Al Asqolani, Abu Hurairah misalnya pernah berdoa agar diwafatkan sebelum masa kepemimpinan anak kecil (maksudnya Yazid bin Muawiyah). Ibnu Hibban juga menyebutkan dalam kitabnya “Al Tsiqat” bahwa Imam Ali Ridha, seorang ulama besar yang diakui baik oleh Sunni maupun Syiah, wafat karena kemungkinan diracun oleh khalifah Al-Makmun.

Dr Dhiyauddin Rais (2001) menjelaskan bahwa perdebatan sosok Sayyid Ali Ridha, dalam pemerintahan Al Makmun boleh jadi karena solidaritas Bani Abbasiyah yang tak menghendaki ‘orang lain’ terlibat dalam kekhalifahan Abbasiyah. Imam Ali Ridha ditolak demi kepentingan primordial Bani Abbasiyah.
Deretan riwayat diatas menunjukkan bahwa khalifah tak terbukti ideal selamanya. Khilafah berdiri diatas perdebatan politik bahkan pertumpahan darah.

Khalifah ideal sebenarnya adalah khilafahnya para Khulafaur Rasyidin dan khilafahnya Umar Bin Abdul Azis. Para ulama hadits menyebut inilah kekhalifahan ala minhaj nubuwwah, tak ada selain itu. Tapi ada pemimpin yang cakap selain lima khalifah diatas. Mereka adalah Harun Al Rasyid, Nurudin Zanki, Salahudin Al Ayyubi dan Muhammad Al Fatih.

Menurut Al Taftazani, selain khulafaur Rasyidin adalah kekhalifahan yang tak sempurna. Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah lebih tegas menyebut sistem kekhalifahan pasca Khulafaur Rasyidin sebagai kekhalifahan yang bercampur dengan kerajaan atau kerajaan bercampur kekhalifahan. Khilafah selain Khulafaur Rasyidin adalah kekhalifahan atas dasar solidaritas kabilah, primordialisme dan loyalitas sepihak.

Kitab-kitab sejarah dengan gamblang menyebutkan bahwa kekhalifahan selain khilafah minhaj nubuwwah adalah kekhalifahan yang bisa jadi menyimpang dari garis Islam. Imam Hasan Bashri terkenal dengan kritikannya terhadap Muawiyah.

Dalam Tarikh Al Khulafa’, Imam Suyuti menjelaskan kritikan Imam Hasan Bashri terhadap Mughirah bin Syu’bah yang telah menasihati Muawiyah agar menjadikan putra Muawiyah, Yazid sebagai khalifah. Muawiyah dianggap melanggar syura karena mengangkat Yazid sebagai khalifah. Imam Thabari juga menyebut wasiat Muawiyah kepada Yazid melalui Muslim bin Uqbah Al Mirri agar bersikap lemah lembut terhadap Husein, namun fakta di lapangan berkata lain. Di masa Yazid, Husein dibantai di Karbala. Yazid bukan saja melanggar konsensus kaum muslim tentang persatuan dengan kelompok pendukung Ali bin Abi Thalib tapi juga melanggar wasiat ayahnya sendiri.

Di masa Umar bin Khatthab, paceklik melanda. Kitab Tarikh Umam Wal Muluk menjelaskan tahun itu sebagai tahun Ramadah, karena kelaparan melanda seluruh negeri bahkan sampai dua pertiga penduduk Madinah mati. Krisis di masa Umar ini adalah krisis moneter dan krisis ekonomi akut yang menyebabkan inflasi dan kenaikan harga sampai 4000 persen. Meski Umar dan kaum muslim mampu menyelesaikannya, tapi tetap menunjukkan bahwa khilafah Minhaj Nubuwwah bukan lantas berarti harmoni ala surga di langit. Di masa Umar bin Khatthab, keadilan begitu sempurna diterapkan, tapi kenapa masih ada paceklik.

Di masa Utsmani, tak ada usaha para pemimpin dinasti Utsmani untuk merebut kembali Spanyol padahal saat yang sama, Dinasti Utsmaniyah melakukan ekspansi ke Eropa Timur dan Tengah. Nusantara kecuali masa awal-awal kesultanan Aceh juga diabaikan oleh Turki Utsmani, padahal di Nusantara ratusan tahun lamanya terjadi peperangan silih berganti dengan Portugis, Belanda dan Inggris. Turki Utsmani tak maksimal dalam membela muslim Nusantara. Turki Usmani juga tak pernah bisa melindungi paham Sunni di Iran, sehingga Iran yang mulanya Sunni dilibas oleh Syiah Safawi.

Di masa Utsmani, kepemimpinan kaum muslim di India dipegang dinasti Mughal tanpa ketundukan mutlak kepada Utsmani. Kesimpulannya, khilafah tak pernah tunggal. Lalu, masihkah ada keinginan untuk menyatukan dunia Islam dalam satu komando?. Wallahu A’lam bi As-shawab. (*)

Syarif Hidayat Santoso, Alumnus Hubungan Internasional FISIP Universitas Jember.

Terkait

Dirosah Lainnya

SantriNews Network