Menjerat Pengguna dan Penjual Ijazah Palsu
Oleh: Mushafi Miftah
BEBERAPA minggu terakhir ini kasus ijazah palsu mewarnai beberapa media harian baik cetak, elektronik maupun online. Bahkan diberitakan banyak pejabat di Negeri ini yang juga ditengera kuat menggunakan ijazah palsu. Semua lembaga pendidikan pun tersentak kaget. Sebab lembaga pendidikan yang sejatinya berfungsi untuk mendidikan dan memanusiakan manusia tercoreng dan menyimpan banyak misteri. Salah satunya, penjualan ijazah palsu.
Parahnya, praktek itu didukung oleh pengelola lembaga perguruan tinggi. Terbukti dengan banyaknya perguruan tinggi di Jawa Timur yang dicabut izin operasionalnya oleh Menteri Riset dan Teknologi (Menristek) Moh Nasir, karena dianggap bermasalah dan melakukan praktek penjualan ijazah palsu.
Sebagai akademisi, dan generasi muda saya merasa malu. Pasalnya, kredibilitas pendidikan tinggi yang selama diyakini sebagai tempat memproduksi bibit pemimpin di masa yang akan datang tercoreng oleh ulah beberapa pertinggi yang menjual ijazah palsu. Hal ini diperparah dengan banyaknya pejabat-pejabat publik yang menggunakan ijazah palsu untuk kepentingan kenaikan jabatan maupun kepangkatan.
Kasus tersebut tentu membuat semua pengelola pendidikan sedih. Akan jadi apa negeri ini jika dipimpin oleh orang-orang yang suka membajak ijazah. Karena disamping tidak mempunyai kapasitas keilmuan yang mumpuni, tentu saja praktek pembajakan ijazah yang mereka lakukan merupakan contoh bobroknya mintalitas dan moral seseorang. Logikanya, kalau terhadap ijazah berani membajak, bukan tidak mungkin ia berani membohongi rakyat dan menyalahgunakan wewenangnya sebagai pejabat.
Mahfud MD dalam akun Faceboknya beberapa hari lalu menulis; “orang yang menggunakan ijazah palsu itu kalau menjadi pejabat akan berani melakukan korupsi. Begitu juga orang yang mau mencuri karya ilmiah orang lain (plagiasi) sangat berpotensi menjadi koruptor kalau menduduki jabatan publik”.
Bagi Mahfud, pemalsuan ijazah atau plagiasi itu sendiri sebenarnya sudah merupakan korupsi nonkonvensional. Orang yang berani membohongi dirinya sendiri dengan menggunakan ijazah palsu dan melakukan plagiasi pastilah akan berani menipu rakyat untuk melakukan korupsi.
Menurut pak Mahfud, “Jika kepada diri sendiri saja bohong, tentu saja kepada rakyat pun akan berani menipu. Memang tak bisa dikatakan bahwa hanya orang yang berijazah palsu yang korupsi. Para koruptor yang sekarang meringkuk di penjara itu, nyatanya, sebagian besar berijazah asli. Saya hanya menekankan bahwa pembuat dan pengguna ijazah palsu serta pelaku plagiasi itu sudah melakukan korupsi, minimal korupsi nonkonvensional”.
Harus Dijerat Berat
Wakil Presiden Jusuf Kalla pernah menyatakan keheranannya karena saat berkunjung ke daerah-daerah, banyak kenalannya yang tak pernah diketahui kapan kuliah dan di perguruan mana kuliahnya ternyata sudah memiliki gelar master dan doktor. Pada sekitar tahun 2005-2006 itu kita ribut, tetapi tiba-tiba tak jelas langkah lanjutnya. Bahkan jauh sebelum itu, tepatnya sejak 1990-an, kita juga pernah digegerkan oleh kasus ijazah palsu.
Dirjen Dikti Depdikbud kala itu, Bambang Suhendro yang kemudian dilanjutkan oleh Satrio Sumantri Brojonegoro, berteriak keras karena banyaknya ijazah palsu yang beredar dan dipakai untuk meraih kedudukan di pemerintahan ataupun untuk sekadar gagah-gagahan. Sampais-ampai saat itu ada istilah ijazah three in one, yakni tiga ijazah dalam tiga jenjang (Sarjana/S-1, Master/S-2, Doktor/S-3) yang bisa diperoleh sekaligus asal membayar sejumlah uang tertentu.
Secara yuridis, praktek penjualan dan penggunaan Ijazah palsu masuk tindak pidana penipuan dan pemalsuan dokumen. Di dalam Pasal 264 KUHP dijelaskan, seseorang yang melakukan pemalsuan dokumen secara sengaja diancam dengan pidana penjara paling lama delapan tahun. Oleh karena itulah siapapun yang ketemu menggunakan atau menjual Ijazah palsu harus dijerat seberat-beratnya. Hal ini agar mereka jera dan tidak mengulanginya lagi melakukan pembajakan dan pemalsuan ijazah.
Bahkan, Satjipto Rahardjo menyebutkan bahwa pemalsuan ijazah termasuk tindak pidana korupsi. Karena baginya, korupsi itu ada dua macam, yakni korupsi konvensional dan korupsi nonkonvensional. Korupsi konvensional adalah korupsi dalam arti hukum pidana yang memiliki unsur-unsur tertentu yakni menguntungkan diri sendiri, orang lain, atau korporasi, dengan cara melawan hukum, dan merugikan keuangan negara.
Sedangkan korupsi nonkonvensional adalah semua sikap dan tindakan sewenang-wenang atau pelanggaran-pelanggaran yang secara stipulatif tidak disebut korupsi oleh hukum. Orang yang suka sewenang-wenang, menyalahgunakan jabatan, sok berkuasa, meminta dihormati dan dilayani secara berlebihan, membuat dan menggunakan ijazah palsu serta melakukan plagiasi dalam kegiatan akademis meskipun tidak melakukan korupsi dalam arti hukum pidana, tetapi sejatinya orang itu sudah melakukan korupsi secara nonkonvensional.
Karena itulah menurut hemat saya, seseorang yang terbukti menjual atau menggunakan Ijazah palsu harus dijerat seberat-beratnya. Hukum harus tegak tanpa pandang bulu. Negeri ini harus dibersihkan dari orang-orang seperti itu. Negara Indonesia sudah cukup sakit akibat ulah dan prilaku para pejabat tinggi negara yang korupsi, jual beli keadilan dan krisis ekonomi yang sudah lama menimpa negeri ini dan ditambah lagi kasus pemalsuan ijazah. Paling tidak, dunia pendidikan harus diselamatkan dari praktek-praktek kotor semacam itu, karena ini menyangkut masa depan generasi bangsa. Wallahu A’lam. (*)
Mushafi Miftah, Dosen Fakultas Syariah IAI Nurul Jadid Paiton Probolinggo.