Politik Klaim, Identitas dan Simbol

Akhir-akhir ini angka dan huruf atau simbol menjadi ngehit, seakan menjadi hal yang sangat penting melebihi esensi dan isi.

Di pihak yang satu mengklaim tanpa kira-kira dari massa yang terkumpul di lapangan X. Di pihak lain, di waktu dan tempat yang berbeda mengklaim telah mengumpulkan massa dengan angka-angka yang fantastis.

Headline media-media lebih memunculkan angka-angka daripada isi dari kegiatan tersebut. Issue dan program dari kegiatan tersebut tak lagi penting.

Politik kita masih berkutat pada angka-angka, masih belum pada maqom makna-makna. Orang perorang dihitung hanya sebagai nominal jumlah segumpal daging yang bernyawa (kuantitatif), masih belum pada tataran nilai-nilai makhluk Illahi yang Mulia (kualitatif).

Sekumpulan orang masih dilihat dalam kata “berapa” masih belum “siapa”.

“Politik angka-angka” ini masih merasa perlu dilakukan bisa jadi karena pendekatan politik identitas saja masih belum dirasa kuat dalam mengagregasi kepentingannya terlebih setelah mengeksploitasi simbol-simbol menjadi bahan jualannya.

Politik kita memang masih belum pada tataran gagasan dan ide-ide yang menyegarkan, entah karena para elitnya yang enggan melakukan atau karena para elit sedang mengikuti selera pasar?.

Setahu saya politik itu perlu “siasat” mengambil dari bahasa Arab “assiyasah” yang artinya politik. Setahu saya berpolitik itu harus menggunakan siasat dan siasat itu butuh strategi. Politisi “profesional” biasanya tidak pernah memverbalkan maksud atau goal utamanya, tetapi goalnya tercapai.

Para ulama terdahulu adalah politisi ulung yang negarawan, mereka rela mereduksi ego untuk tidak mengutamakan simbol-simbol tapi lebih pada esensi, maka lahirlah PANCASILA bukan PIAGAM JAKARTA.

Entah ada apa dengan kualitas para politisi akhir-akhir ini yang tak lagi berpikir untuk terbangunnya bangsa yang majemuk ini tetapi lebih sibuk dengan golongannya tanpa mau memikirkan golongan yang lainnya. Lebih parah lagi mereka sibuk dengan permasalahan yang remeh temeh, yaitu: simbol. Kalau pinjam istilah warung sebelah: mungkin ini tanda akhir zaman, hehee.

Energi kita akan terkuras sia-sia jika kita masih disibukkan dengan perilaku politik amatir seperti ini. Turunan yang dihasilkan dari perilaku elit seperti ini adalah cacian hujatan di tataran akar rumput.

Rasanya perlu ada pemutusan generasi dalam kancah perpolitikan di Indonesia. Semoga umur saya dipanjangkan oleh Allah SWT sehingga dapat menyaksikan generasi baru sebagai pelaku-pelaku politik di negeri ini yang lebih mengutamakan gagasan-gagasan daripada sekadar angka, simbol dan identitas. (*)

Terkait

Dirosah Lainnya

SantriNews Network