Data BNPT Soal 198 Pesantren Terafiliasi Teroris: Akurasi, Presisi, Validasi

Beberapa hari yang lalu, dalam RDP Komisi III DPR RI, BNPT merilis data 198 pesantren yang terafiliasi dengan jaringan teroris, masing-masing dari faksi JAD (119 pesantren), JI (68 pesantren), dan JAK (11 pesantren). Data BNPT juga menyebut jaringan fund raising yang terafiliasi dengan kelompok teroris.

Seperti selalu, komentar-komentar reaktif datang dari sejumlah tokoh dan pegiat Islam. Kebanyakan defensif. Tanpa tahu rincian datanya, mereka langsung menyanggah. “Ini merugikan Islam dan pesantren,” katanya. Jumlah pesantren ada sekitar 28 ribu. Jika data BNPT valid, berarti ada sekitar 0.7% pesantren yang bermasalah. Mari kita validasi data BNPT, secara snapshot.

Baca juga: Kontroversi UU Pesantren: Kitab Kuning hingga Syarat Kiai

Pertama, kategorisasi yang dibuat BNPT tentang pesantren kurang valid. Apa itu pesantren? Acuannya jelas sekali. Menurut UU No. 18 Tahun 2019, pesantren adalah satuan pendidikan Islam, yang sekurang-kurangnya terdiri dari unsur Kiai, santri mukim, pondok atau asrama, masjid atau musala, dan kitab kuning (Pasal 5 ayat 2).

Sekarang kita periksa data BNPT. Banyak sekali BNPT memasukkan satuan pendidikan semacam rumah tahfidz, majelis taklim, forum liqo’, madin, TKIT/SDIT, kajian masjid/musala yang tidak memenuhi definisi pesantren tetapi dianggap pesantren. Jadinya kelihatan banyak dan bengkak.

Kita lihat, misalnya, afiliasi pesantren JAD/ISIS di Jakarta-Bekasi. Di situ disebutkan Masjid At-Taqwa Tamini Square, Rumah Sobah Pejaten, Masjid As-Sajadah Utami, Radio Dakta, Yayasan Al-Marhamah, Mushola Annuza’ Dama. Semuanya jelas sekali bukan pesantren. Masjid At-Taqwa adalah masjid di roof top mall Tamini Square, Jakarta Timur. Di situ ada kajian Islam, tetapi sama sekali bukan pesantren.

Rumah Sobah adalah rumah pribadi milik Sobah Rahardjo Tjakraningrat alias Ummu Sobah. Alamatnya di Jl. Rambutan Kavling 36 No. 7 Pejaten Barat, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Dia simpatisan JAD/ISIS. Rumah itu telah dijual seharga Rp10.5 Miliar. Dia berangkat ke Suriah, via Turki. Di sana dia dicekal, lalu dideportasi. Dia balik ke Indonesia dan ditangkap di kediamannya yang lain, di Jl. Rambutan 6 No. 6 Pejaten Barat, Pasar Minggu, Jaksel. Aneh sekali disebut pesantren.

Baca juga: Sel-Sel NII (1): Dari Cepu ke Malangbong, Dari PSII ke NII

Masjid Assajadah Utami adalah masjid di Rawa Lumbu, Bekasi. Ini masjid, bukan pesantren, yang menggarap tema ruqyah syar’i untuk fund raising. Tidak layak disebut pesantren. Radio Dakta di Bekasi apalagi. Aneh dimasukkan jaringan pesantren. Yayasan Al-Marhamah, di Mustika Jaya, Bekasi, juga belum bisa digolongkan sebagai pesantren. Di sana ada masjid dan rumah tahfidz, tetapi tidak ada kiai yang mengajarkan kitab kuning.

Ini baru satu daerah. Jika dikuliti satu-satu, data ini tidak valid dalam kategorisasi pesantren. Saran saya, BNPT harus presisi dalam menggolongkan pesantren, sesuai acuan UU Pesantren, sehingga jumlahnya tidak kelihatan bombastis.

Kedua, data BNPT banyak sekali yang redundan. Pesantren Al Mukmin di Jawa Tengah disebut di dua klaster: JAD/ISIS dan JI. Ini pesantrennya Abu Bakar Ba’asyir. Di klaster JI disebut Pondok Pesantren Al Mukmin Ngeruki, di klaster JAD disebut Al Mukmin Desa Ngruki. Ini barangnya sama, disebut di dua tempat sehingga menggandakan jumlah.

Begitu juga jaringan pesantren Ngruki lainnya. Pondok Pesantren Darus Syahada, Boyolali, disebut di klaster JAD. Di klaster JI, disebut dengan nama Darussahada. Ini barangnya sama. Pondok Pesantren Al-Muaddib, Cilacap, juga disebut di dua klaster. Di klaster JI disebut dengan nama Al-Muaddib, di klaster JAD disebut dengan nama Ponpes Putri Al Muaddib. Ini juga barangnya sama. Selain duplikasi, ini juga menunjukkan BNPT kebingungan dalam melakukan klasifikasi.

Baca juga: Sel-Sel NII (4): Suffah, Ajengan Choer, dan Pesantren Miftahul Huda Manonjaya

Ketiga, kebingungan klasifikasi ini juga nampak dalam memasukkan jaringan pesantren Hidayatullah di daerah Sulawesi (Hidayatullah BTP, Hidayatullah Wara Utara, Hidayatullah Belopa, Hidayatullah Sudu, Hidayatullah Palu, Hidayatullah Pasangkayu, Hidayatullah Mamuju) sebagai jaringan pesantren JAD. Ini cukup bermasalah.

Hidayatullah, yang kini telah bermetamorfosa menjadi Ormas, didirikan Muhsin Kahar alias Abdullah Said. Dia asli Sinjai, Sulsel. Dia hijrah ke Kalimantan dan mendirikan pesantren Hidayatullah di Gunung Tembak, Balikpapan, Kalimantan Timur. Konon, jaringan pesantren Hidayatullah mencapai 600 buah, tersebar di seluruh Indonesia. Sebagian pesantren itu dikelola dan diasuh oleh putra Kahar Muzakkar, tokoh DI/TII Sulses.

Tidak ada kecukupan data yang menghubungan sanad pesantren Hidayatullah dengan JAD. Para peneliti umumnya mengaitkan jaringan pesantren Hidayatullah dengan DI/NII. DI/NII tidak sama dan sebangun dengan JAD.

Baca juga: Tutup Rakernas Hidayatullah 2021, Dr Nashirul Haq Tekankan 4 Kekuatan

Kasus serupa dalam penggolongan Miftahul Huda. Di klaster JAD, Miftahul Huda disebut dua kali di jaringan pesantren JAD Jawa Barat. Ini membingungkan. Miftahul Huda induknya di Manonjaya, Tasikmalaya. Jaringan filialnya cukup banyak, didirikan oleh para alumni.

Miftahul Huda induk telah sangat berubah. Tetapi, sebagian alumninya ada yang masih radikal. Mereka terafilasi dengan faksi-faksi pendukung NII, bukan JAD. NII Jawa Barat berangkat dari Islam tradisional. JAD lahir dari rahim dari ideologi pemurnian. Sekali lagi, klasifikasi BNPT harus lebih presisi.

Keempat, data BNPT belum menunjukkan keberhasilan program deradikalisasi. Pemerintah, melalui berbagai instansi, telah berupaya menengahkan kembali kelompok-kelompok ekstremis. Caranya melalui berbagai media, termasuk fasilitasi program deradikaliasi dan bantuan Pemerintah.

Contohnya pesantren Al-Islam di Lamongan milik keluarga trio bomber Tenggulun, Bali: Ali Ghufron, Ali Amrozi, dan Ali Imron. Selain diasuh oleh Muhamad Chozin, di pesantren ini ada Ali Fauzi, pendiri Yayasan Lingkar Perdamaian. Dia bersungguh-sungguh membantu Pemerintah melakukan program deradikalisasi kepada eks-napiter dan keluarganya.

Data BNPT memasukkan Al Islam sebagai jaringan pesantren JI, tanpa rincian proses moderasi dan deradikalisasi yang sedang berlangsung di dalamnya. Contoh lainnya Ponpes Islam Amanah, Poso, Sulteng. Ini pesantren yang dipimpin oleh eks kombatan konflik Poso, Muhammad Adnan Arsal. Dia terhubung dengan jaringan MIT, yang berafiliasi dengan JAD. Tetapi, kini dia telah ‘tobat.’ Pemerintah, melalui Kementerian PUPR, membantu pesantren ini dengan mendirikan Rusun, berupa satu tower setinggi dua lantai. Peresmiannya dilakukan oleh Kepala BNPT pada Agustus 2020 silam.

Kisah perjuangan Adnan Arsal ditulis oleh Khoirul Anam dalam buku berjudul ‘Muhammad Adnan Arsal: Panglima Damai Poso.’ Melalui berbagai forum bedah buku ini, Adnan Arsal menjadi salah satu jubir deradikalisasi. Namun, nama pesantren Amanah masih dimasukkan dalam jaringan pesantren JAD Sulawesi, tanpa rincian proses moderatisasi yang sedang berlangsung di dalamnya.

Baca juga: BNPT Resmikan Pesantren Rehabilitasi Eks Teroris

Kelima, terkait dengan jaringan fund raising. Saya memeriksa satu per satu data BNPT. Umumnya valid. Hanya ada satu nama yang masih menimbulkan tanda tanya: Yayasan Jendela Kemanusiaan Lestari (JKL). Ini disebutkan terafiliasi dengan JAD. Kalau tidak keliru, yayasan ini didirikan Alumni IPB angkatan 31.

Tahun 2020, berkolaborasi dengan instansi pemerintah dan swasta, JKL membuat program Kampoeng Merdeka di Bogor. Wujudnya memberikan fasilitas pendidikan seperti laptop dan beasiswa belajar. Peresmiannya dilakukan oleh Walikota Bogor, Bima Arya. Mereka juga memberikan bansos dan masker dalam rangka pandemi, disponsori oleh Perum Bulog dan PT Zoom Infotek Telesindo.

Rektor IPB menyambut baik inisiatif alumni IPB angkatan 31 yang mendirikan Yayasan JKL, dengan iringan doa ‘Semoga dilancarkan rezeki sehat selalu dan barokah.’ Apa betul JKL terafiliasi dengan JAD? Kalau betul, berarti Wali Kota Bogor, Rektor IPB, dan para sponsor kecolongan. Kalau tidak, sebaiknya JKL menyampaikan surat keberatan dan klarifikasi.

Selamat merayakan Imlek, bagi yang merayakannya. (*)

M Kholid Syeirazi, Sekretaris Umum PP ISNU.

Terkait

Fikrah Lainnya

SantriNews Network