Muktamar Ke-34 NU 2021
Kiai Miftachul Akhyar dan Pesantren NU Kecil

KH Miftachul Akhyar (dua dari kanan) saat menyambangi pameran Turots Ulama Nusantara di Arena Muktamar NU di Lampung
Ketua Panitia Pengarah Prof Dr HM Nuh, MA, memimpin Sidang Pleno III dengan Agenda Penetapan Anggota Ahlul Halli wal Aqdi (Ahwa) dan Pengumuman Rais Aam. Agenda Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) ini melakukan tabulasi atas usulan calon anggota Ahwa dari PWNU dan PCNU seluruh Indonesia serta PCINU.
Hasil tabulasi 9 anggota Ahwa yang memperoleh suara peringkat pertama sampai kesembilan terdiri dari: KH Dimyati Rois (503), KH Ahmad Mustofa Bisri (494), KH Ma’ruf Amin (458), KH Anwar Manshur (408), KH TGL LM Turmudzi Badruddin (403), KH Miftachul Akhyar (395), KH Nurul Huda Djazuli (485), KH Ali Akbar Marbun (309), dan Prof Dr KH Zainal Abidin (272).
Kiai-kiai tersebut dapat amanah dari para muktamirin untuk memilih Rais Aam. Musyawarah Ahwa dipimpin oleh Kiai Ma’ruf atas kesepakatan seluruh anggota Ahwa. Setelah mendengar saran dan masukan, semua sepakat memilih Kiai Miftah sebagai Rais Aam masa khidmat 2021-2026. Sembari diminta untuk konsentrasi sebagai Rais Aam dan tak merangkap di organisasi lain. Dan juga diminta untuk merestui semua calon Ketua Umum Pengurusan Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) bila lebih dari satu orang.
Kiai Miftah, kata Prof Zainal sebagai jubir anggota Ahwa, menyatakan sami’na wa atho’na. Kata ini diwasiatkan oleh Kiai Miftah sendiri sebagai Khutbah Iftitah Pembukaan Muktamar ke-34 NU pada Rabu, 22 Desember 2021.
Kata sami’na wa atho’na merupakan istilah yang disebut tak kurang 4 kali dalam Al-Quran. Artinya “kami mendengar dan kami taat”. Lawan kata ini, sami’na wa ashoina yang disebut sedikitnya 5 kali dalam Al-Quran. Artinya “kami mendengar dan kami melanggar”. Analisa kuantitatif Al-Quran ini menunjukkan karakter kebanyakan orang. Bahwasannya orang tunduk patuh lebih sedikit dari orang yang membangkang.
Dalam ruang lingkup ini, wasiat tunduk patuh Kiai Miftah harus ditempatkan. Banyak arahan dan keputusan Syuriah merupakan mitigasi hidup jam’iyah dan jamaah NU. Ulama dalam NU —jajaran syuriah- memiliki kedudukan khusus sebagai pimpinan tertinggi yang mengarah dan mengendalikan perjalanan sejarah organisasi Islam terbesar di dunia ini.
Kiai Miftah adalah ulama yang sangat tawadhu yang menyebutkan diri sebagai Rais Aam KW-3. Pernyataan ini menunjukkan sosok pribadi yang rendah hati sekaligus sindiran keras bagi orang yang selalu merasa lebih dan merendahkan orang lain.
Sikap yang rendah hati dibayar lunas oleh Allah SWT. Kiai kelahiran Surabaya, 30 Juni 1953 ini dipilih kembali oleh anggota Ahwa sebagai Rais Aam. Posisi yang tak dibayangkan saat berkarir pertama sebagai Rais Syuriah PCNU Surabaya masa khidmat 2000-2005.
Kiai Miftah selama dua dekade lebih, selalu berada di jajaran Syuriah NU. Maqom Pengasuh Pondok Pesantren Miftahussunnah Surabaya ini, memang selalu berkutat di bagian Syuriah selaku ulama yang faqih jebolan sejumlah pesantren besar di Tanah Air.
Karir organisasi putra KH Abdul Ghoni, pengasuh Pondok Pesantren Tahsinul Akhlaq Rangkah Tambaksari Surabaya, itu terus naik pesat. Selepas menjadi Rais Syuriah PCNU Surabaya, Kiai Miftah menjadi Rais Syuriah PWNU Jawa Timur masa khidmat 2007-2013 dan 2013-2018.
Di tengah-tengah sebagai Rais Syuriah PWNU Jatim, alumni Pondok Pesantren Sidogiri, Tambak Beras dan Lasem ini mendapatkan amanah tambahan sebagai Wakil Rais Aam PBNU (2015-2018). Berselang tiga tahun, Rais Aam PBNU KH Ma’ruf Amin mencalonkan diri sebagai Wakil Presiden Jokowi, Wakil Rais Aam otomatis naik menjadi Pj.Rais Aam (2018-2021).
Rekam jejak santri Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki Al-Hasani di Indonesia ini, karir organisasinya tergolong linier dari bawah sampai puncak. Ini pertanda Kiai Miftah seorang yang istiqomah dalam berkiprah di NU. Wabilkhusus di kepengurusan Syuriah NU mulai dari PCNU sampai PBNU.
Kiai Miftah merupakan Rais Aam ke-10 dalam sepanjang sejarah NU, yang tegak lurus pada ajaran dan simbol keulamaan Nusantara. Sosok ulama tradisional yang menjalankan amaliyah nahdliyyah dan selalu berpakaian ala santri pesantren. Kopiah atau sorban, baju Koko, dan sarung selalu menempel di tubuhnya dalam setiap penampilan, baik pada acara santai maupun resmi NU.
Menjelang satu abad NU pada 2026 mendatang, muktamirin dan para ulama sepuh dalam Ahwa, menaruh hormat dan kepercayaan kepada Kiai Miftah, agar mengawal NU tetap berada on the right track di atas jalan para muassis NU.
Betapa pun, ulama mengembara dari Sabang sampai Merauke, dan mengarungi samudera demi samudera di dunia, namun tidak lupa pada tempat asal dan kembali untuk mempersembahkan pengabdian yang terbaik bagi manusia dan kemanusiaan. Yaitu pesantren sebagai NU kecil. (*)
Moch Eksan, Pendiri Eksan Institute.