Muktamar Ke-34 NU 2021
Dawuh Kiai dan Otoritas Kekuasaan NU
Ilustrasi: sumber nursyamcentre.com
Muktamar ke-34 Nahdlatul Ulama di Lampung pada 23-25 Desember 2021 mendatang, merupakan batu uji taji dawuh kiai sepuh Jawa Timur. KH Abdurrahman Al Kautsar atau akrab dipanggil Gus Kautsar mengatakan: “Kami kumpul dalam rangka soliditas derek dawuh KH Anwar Manshur (Rois Syuriah PWNU Jatim) sebagai pimpinan tertinggi sekaligus guru kami”.
Pernyataan ini disampaikan Gus Kautsar setelah pertemuan PWNU dan PCNU di Pondok Pesantren Al Falah Ploso Kediri, Selasa, 14 Desember 2021.
Pertemuan di dhalem almarhum Kiai Djazuli Utsman bertujuan memantapkan suara bulat Jatim untuk memperjuangkan KH Miftachul Akhyar dan KH Yahya Cholil Staquf sebagai Rois Aam dan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Pemantapan dilakukan untuk mencegah pengkhianatan di tengah kampanye dan propaganda menjelang Muktamar NU tiba.
Cara seperti ini khas gaya para kandidat ketua umum partai yang sedang mengkonsolidasikan suara pada kongres atau muktamar. Kecurigaan mereka sangat besar. Ini berdasarkan pengalaman pengkhianatan setiap momen pemilihan. Ingat perkataan satir Charles De Gaulle, “Politisi tidak pernah percaya atas ucapannya sendiri. Mereka justru terkejut bila rakyat mempercayainya.”
Nampaknya, “kiai politisi” banyak dalam struktur kekuasaan NU, yang membuat di antara mereka kurang percaya satu sama lain. Ini bias dari praktek politik praktis yang jamak berlaku di bumi Nusantara. Tak terkecuali di kalangan keluarga besar NU itu sendiri.
Untuk mengamankan suara Jatim tak cukup dengan Surat Keputusan PWNU, tanda tangan dukungan dan deklarasi terhadap publik, akan tetapi harus juga dikawal ketat sampai dawuh kiai benar-benar menjadi kenyataan. Sebelum itu, segala kemungkinan bisa terjadi.
Dawuh itu bahasa Jawa yang artinya kata. Kiai itu bahasa Sansekerta yang berarti sesuatu yang dihormati. Perkataan dari orang yang dihormati itu dinamakan “dawuh kiai”. Dalam tradisi pesantren dan NU, dawuh kiai merupakan petunjuk bagi seseorang atau sekelompok orang dari perhimpunan para santri. Dawuh yang merupakan amanah untuk memenangkan paket pasangan pucuk pimpinan NU tertinggi.
Sebagai petunjuk, dawuh kiai merupakan mitigasi para santri dalam menjalani kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dawuh kiai bukan perkataan dari manusia kebanyakan, ia merupakan kata bertuah yang mengandung keberkahan dari penduduk bumi dan langit.
Dalam banyak hal, posisi dawuh kiai sangat penting dan strategis dalam alam pikiran umat. Para santri biasanya tunduk patuh pada dawuh kiai tanpa reserve, hatta tanggal pernikahan dan nama anaknya sekalipun. Ini bisa dimaklumi, mengingat kiai merupakan tokoh sentral dalam masyarakat muslim.
Kiai persepadanan ulama dalam khazanah Islam klasik merupakan waratsatul ambiya (pewaris para nabi). Sepeninggal Nabi Muhammad Saw, ulama yang meneruskan risalah pada umat. Dawuh kiai merupakan aqwalul ‘ulama yang bisa menjadi tafsir otoritatif terhadap sumber ajaran agama, baik Alquran, hadits, ijmak maupun qiyas.
Namun belakangan, dawuh ulama disakralisasi lantaran agenda liberalisme Islam di kalangan anak muda NU. Almagfurllah KH A Muchith Muzadi mengatakan, semula liberalisasi bertujuan untuk bebas dari dawuh kiai, kemudian teks kitab kuning dan selanjutnya ingin bebas dari teks Al-Qur’an dan Sunnah. Disinilah, Kiai Muchith menunjukkan ketidaksetujuannya pada trend liberalisme kebablasan yang telah mengancam struktur intelektualisme NU.
Kiai merupakan pewaris intelektual para nabi. Yang tak berkata atas dasar hawa nafsu dan semata ajaran keutamaan, hidup sederhana dalam gemerlap dunia, lemah atas kekuasan Tuhan, serta batinnya berisi rasa takut kepada Allah SWT.
Kiai seperti itu dalam istilah Gus Dur disebut “kiai khas” yang terdiri dari kiai sepuh yang telah teruji reputasinya sebagai tokoh bukan toko, serta selaku leader bukan dealer. Mereka ulama panutan umat yang pikirannya jernih, hati bersih, serta tindakannya terjaga dari maksiat. Mereka para ulama yang fana’ filllah yang shalat, ibadah, hidup dan matinya semata-mata karena Allah SWT.
Sekarang ini, kiai dengan kriteria di atas sangatlah langka, untuk tak mengatakan tidak ada. Kebanyakan kiai asyik masyuk dengan kekuasaan yang mengaburkan otentisitas kiai sebagai pembawa misi profetik.
Achmadi Subakir dalam bukunya, “Relasi Kyai dan Kekuasaan: Menguak Relasi Kiai dan Pemerintah Daerah dalam Politik Lokal”, menyebutkan bahwa relasi kiai dan kekuasaan mengalami pasang surut. Hubungan keduanya sangatlah dinamis.
Dalam pergulatan kekuasaan, potret Kiai tak melulu sebagai pendukung atau pengusung kandidat presiden atau kepala daerah atau calon legislatif, tapi juga tergambar sebagai pelaku politik kekuasaan. Dinamika politik kiai, di dalam maupun di luar otoritas kekuasaan NU, melukiskan mozaik pengaruh dawuh kiai.
Untuk membuktikan tajinya, juga dibutuhkan kerja keras. Sebab kemenangan tak turun tiba-tiba dari langit, namun butuh cucuran keringat dan air mata perjuangan dari para penghuni bumi. Wallahu a’lam bisshawab! (*)
Moch Eksan, Pendiri Eksan Institute